Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Kehidupan akademis di kampus kuning tak bisa lepas dari kungkungan muatan politis. Warna kelam di balik buku, pesta, dan cinta.
Aksi kartu kuning Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, menjadi perbincangan. Pasalnya, protes simbolik itu dilayangkan kepada Presiden Jokowi ketika menghadiri sidang Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68, (2/2). Meski mendapat dukungan karena dianggap berani, tak sedikit pula yang mengecam perbuatan mahasiswa jurusan Fisika fakultas MIPA tersebut.
Cercaan bahkan datang dari sesama almamater. Tersiar kabar bahwa Zadit membawa muatan kepentingan dari partai politik tertentu dalam sepak terjangnya di kampus. Cuitan dari Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit-nya, Saifulloh membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama.
Kepentingan politik tertentu yang dibawa oknum-oknum mahasiswa UI memang telah berlangsung lama. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan ’66 tak tutup mata akan masalah itu. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar prilaku tersebut.
“Sebagai aktivis mahasiswa saya ‘kenyang’ dengan pengalaman ini. Di ‘republik kecil’ saya (UI), saya pernah menjadi ‘gubernur’ (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di ‘republik kecil’ yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Gie.
Gie tak mengetahui persis ada berapa ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Istilahnya: “menggarap UI”. Namun tak dimungkiri, beberapa tokoh mahasiswa telah “dititipkan” membawakan misi organisasi.
Melawan Tiran di Kampus
Pada pertengahan 1968, Gie masih mengingat bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam –red) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie.
HMI diduga kuat mempunyai kaitan erat dengan Masjumi, partai politik Islam yang dilarang pada 1960. Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa.
Pihak yang paling dirugikan adalah golongan mahasiswa independen yang berorientasi intra kampus. Kelompok ini banyak terkonsentrasi di Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga fakultas tersebut memiliki sentimen anti ormas yang sangat kuat.
Para ketua senat ketiga fakultas, pada Juni 1969 kemudian membentuk Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (KKK) untuk menarik diri dari manipulasi ormas yang menjangkiti kampus. Pertemuan antara ketiga ketua senat yang membangkang itu dengan Rektor Sumantri Brodjonegoro gagal mencapai penyelesaian tentang komposisi Dewan Mahasiswa. Seminggu setelah pertemuan itu, Dewan Mahasiswa malah melarang KKK-UI berikut program kegiatannya.
“Ormas-ormas sering berpretensi bahwa mereka adalah ‘pemilik’ dari UI. Soal ini amat menyakitkan hati orang yang tidak berormas,” tulis Gie dalam Indonesia Raya.
Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun. Gie mengilustrasikan, jika ada yang bilang tak ada korupsi di UI, maka ada dua kemungkinan: ia bodoh sekali sehingga tak dapat mencium bau korupsi atau apatis karena menganggapnya sebagai urusan internal UI.
Dalam berbagai media massa, beberapa kali Gie mengangkat persoalan dan carut-marut yang terjadi di UI. Artikel Gie ditulis dengan kemarahan bercampur muak. Dia menyalahkan ormas-ekstra atas kebuntuan dalam masalah kemahasiswaan di UI.
Khawatir kritiknya bisa menjadi batu sandungan, Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda di Fakultas Sastra. Namun pengajuan itu ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Secara tersirat, Harsja tak melarang Gie untuk bersuara.
“Sekali-kali mereka juga harus digituin agar mereka juga giat memperbaiki situasi keuangan,” kata Harsja Bachtiar sebagaimana dikutip Gie dalam catatan hariannya tertanggal 22 Oktober 1969 yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran.
“Saya merasa hormat atas sikap Harsja yang begitu etis dan jujur,” tulis Gie.
Menurut John Maxwell, Soe Hok Gie telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an, tetapi ia merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling menyedihkan.
“Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga menjadi lawan para pemimpin senior universitas,” ujar Maxwell dalam disertasinya yang dibukukan Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. “Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memancing opini publik terhadap masalah ini.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar