Saat Kali Bekasi Berwarna Merah
Sembilan puluh tawanan perang berkebangsaan Jepang tewas dalam sebuah pembantaian di tepi Kali Bekasi. Laksamana Muda Maeda sempat berang dan melayangkan protes keras kepada Pemerintah Republik Indonesia.
BEKASI, 19 Oktober 1945. Senja baru saja akan mencapai ujungnya, ketika Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api memuat 90 anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi.
“Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang.
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar.
Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit Kaigun melepaskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut. Tembakan itu ibarat komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian, massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai. “Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,” demikian dilukiskan oleh Dullah (89), salah seorang penduduk Bekasi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut.
Demi mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI. Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana.
“Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!” ujar Maeda.
Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI. “ Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius. “ Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana,” ungkap Maeda.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api.
Sementara itu, beberapa hari usai insiden penyembelihan tentara Jepang tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu berkeliarannya arwah penasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat mempengaruhi rakyat Bekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu memasuki malam, Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah.
Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949. Ia menyebutkan pasca kematian menggenaskan para serdadu Jepang itu, hampir tiap malam Bekasi dihantui terror isu arwah penasaran. Diyakini, hantu para prajurit yang terbunuh di Bekasi bangkit kembali menghantui sekitar tempat mereka meregang nyawa.
“Mereka disebutkan berbaris dalam formasi dan melintasi jembatan sementara kepala disembunyikan di balik lengan para hantu tersebut…” tulis Cribb.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar