top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan

Selokan Mataram menyelamatkan banyak nyawa warga Yogyakarta.

Oleh :
25 Des 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942.

  • Aryono
  • 26 Des 2012
  • 2 menit membaca

Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. (Repro Buku Takhta Untuk Rakyat).


Di musim hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan


Pada 1940, Dorodjatun dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa).


Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.



Sultan dengan segala cara berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasis Jepang. Hasilnya, rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding rakyat di daerah lain.

“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengkubuwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.


Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.



Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja 10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja 18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan. Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.


Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.



Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan kepada Jepang.


Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha. Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page