Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional
Setiap tahun pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional. Sekadar kebanggaan?
TAHUN 2015, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Mayor Isman atau akrab dipanggil Mas Isman. Gelar itu memang layak diberikan mengingat Mas Isman, lelaki asal Malang, adalah salah satu tokoh pendiri Tentara Pelajar di masa revolusi.
Namun, tak banyak orang tahu jika Mas Isman menolak dirinya disebut pahlawan. Dia mengatakannya dalam suatu pidato saat merayakan kepergian tentara Belanda di alun-alun kota Malang tahun 1950.
“Jangan sebut kami pahlawan atau kesuma bangsa... Kami bukan pahlawan! Yang menjadi pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami,” ujar Isman.
Pidato Isman dikisahkan kembali oleh budayawan (almarhum) Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya. Romo Mangun kala itu hadir dalam perayaan itu mewakili Pemuda Katholik. Dia juga mantan anggota Tentara Pelajar.
Bisa jadi para pahlawan yang benar-benar berjuang untuk negeri ini berpikir sama seperti Isman. Tapi banyak orang dan pemerintah daerah justru berlomba-lomba menyodorkan nama untuk dijadikan Pahlawan Nasional. Tak jarang ada kepentingan politik di dalamnya. Termasuk dari penguasa. Pro-kontra pun kerap mewarnai usulan dan penetapan Pahlawan Nasional.
Saat ini, sebanyak 173 tokoh menghiasi album Pahlawan Nasional. Jumlahnya masih akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.
Sejarawan Rushdy Hoesein menyebut jumlah Pahlawan Nasional mengalami surplus. Sejak lama dia menyarankan agar seleksi diperketat dan melibatkan banyak pihak yang betul-betul kompeten. “Artinya, orang-orang ini tidak hanya sebagai ahli sejarah tapi juga harus paham betul siapa calon tokoh yang diajukan sebagai Pahlawan Nasional,” ujarnya.
Menurut Hartono Laras, direktur jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional masih wajar-wajar saja. Soal jumlahnya yang dianggap sebagian orang terlalu banyak menurutnya relatif.
“Kalau melihat posisi negara kita yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 261 juta penduduk, saya pikir jumlah itu belum seberapa,” ujarnya.
A.B. Kusuma, sejarawan-cum-ahli tata negara dari Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan pemberian gelar Pahlawan Nasional masih diperlukan tapi jangan diumbar. Seorang Pahlawan Nasional harus dihasilkan dari suatu riset yang ketat dan komprehensif secara akademis.
“Jangan sampai orang yang sebetulnya berjuang di sekitar wilayahnya saja mau disebut sebagai Pahlawan Nasional,” ujarnya.
Persoalannya bukan soal jumlah tapi sosialisasi nilai kepahlawanan mereka kepada masyarakat. Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berkali-kali mengingatkan, dari ratusan nama itu, berapa yang dikenal masyarakat? “Yang ada saja belum sempat disosialisasikan, apa perlu ditambah terus dan dalam jumlah banyak?”
Di luar kontroversi yang kerap muncul terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional, kita sepakat bahwa bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawan, yang menyandang gelar Pahlawan Nasional maupun “tanpa tanda jasa”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar