Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI
Ratusan mahasiswa IPB dan UI dikeluarkan karena dituduh terlibat gerakan komunis.
PASCA Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai partai terlarang hingga sekarang. Pembersihan pun dilakukan baik kepada anggota maupun simpatisan PKI, termasuk mahasiswa.
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Syarif Thayeb mengeluarkan Surat Keputusan Menteri PTIP No. 01/dar Tahun 1965.
“Suasana politik yang disebabkan G30S/PKI memang sangat tidak menentu. Untuk pengamanan perguruan tinggi, yang oleh PKI justru dianggap sebagai benteng terakhir, maka tindakan yang cepat harus saya ambil. Sebagai menteri PTIP, saya menerbitkan serangkaian kebijakan,” kata Sjarif Thayeb, “Tegas, Konsisten, tetapi Luwes,” termuat dalam Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Thayeb melakukan tiga tindakan besar. Pertama, membubarkan 14 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang diselenggarakan PKI atau organisasi massa di bawahnya, yang terdiri dari empat universitas, satu institut, dan sembilan akademi.
Ke-14 PTS tersebut antara lain Universitas Res Publika, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Rakyat, Universitas Pemerintah Kotapraja Surakarta, Institut Pertanian EGOM, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), Akademi Ilmu Politik Bachtaruddin, Akademi Teknik Ir. Anwari, Akademi Jurnalistik Dr. Rivai, Akademi Musik W.R. Supratman, Akademi Jurnalistik dan Publisistik Taruna Patria, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Sam Ratulangi, Akademi Sastra Multatuli, dan Akademi Sejarah Ronggowarsito.
Kedua, membekukan dan melarang kegiatan-kegiatan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi).
Ketiga, menginstruksikan kepada segenap pimpinan PTN dan PTS untuk mengamankan kebijakan tersebut serta melanjutkan pembersihan.
“Khusus mengenai Universitas Res Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia), kemudian diganti dengan Universitas Trisakti sampai sekarang. Rektornya saat itu Ny. Utami Suryadarma terpaksa saya berhentikan karena tidak mampu menguasai dan mengendalikan kampus,” ujar Thayeb.
Toyib Hadiwidjaya, rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 1 Oktober 1966, melaksanakan kebijakan tersebut. Dia melakukan pembersihan kampusnya sampai dijuluki “tukang sapu” dari IPB.
“Dalam usaha rehabilitasi, saya bertindak drastis. Dari sejumlah 2.300 mahasiswa IPB, sebanyak 600 saya pecat. Kemungkinan mereka terlibat dalam G30S/PKI, sebab mereka tidak memenuhi panggilan untuk kembali ke kampus. Oleh karena itulah saya mendapat predikat ‘tukang sapu’ dari IPB,” kata Toyib, “Penyuluh Pertanian dan Peternakan yang Tiada Bandingan,” termuat dalam Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Selain IPB, Universitas Indonesia (UI) juga membersihkan diri dari mahasiswa yang diduga terlibat gerakan komunis. Sejak Juni 1966, UI mewajibkan setiap mahasiswa mengisi formulir screening yang disediakan masing-masing fakultas.
“Jika mereka tidak mengindahkan aturan screening ini maka konsekuensinya adalah keluar dari fakultas,” tulis Kompas, 7 Juni 1966.
Tiga bulan kemudian, Agustus 1966, hasil screening keluar dan dikuatkan dengan SK Rektor UI No. 18/SK/BR/66 tentang hasil screening terhadap mahasiswa yang menentang aksi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).
“Berdasarkan hasil screening, pihak UI memecat 13 mahasiswa, 264 mahasiswa terkena larangan mengikuti kuliah hingga awal tahun 1967, dan 760 mahasiswa terkena wajib lapor dan indoktrinasi,” tulis Kompas, 4 Agustus 1966.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar