Nyai Tak Pernah Diakui
Meski diuntungkan fenomena pergundikan, Belanda tak mengakuinya. Para nyai jadi korban, statusnya tak diakui tapi hidupnya dieksplotasi.
MENGENAKAN kebaya putih berhias renda, seorang perempuan berjalan sambil membawa kunci rumah. Sepasang kakinya memakai terompah atau selop. Di sela jarinya terselip sapu tangan putih. Jika tuannya orang cukup kaya, perempuan itu akan memakai beberapa perhiasan seperti anting atau kalung.
Itu merupakan gambaran nyai, perempuan pribumi yang dijadikan teman hidup tuan berkulit putih tanpa ikatan resmi. Ada beragam cara seorang perempuan bisa diangkat menjadi nyai. Beberapa diambil dari salah satu pelayan rumah. Ada juga yang dimakcomblangi jongos si tuan. Begitu si tuan Belanda memerintahkan “cari perempuan” pada seorang jongos, tak lama kemudian disodorkanlah seorang gadis pribumi. Cara paling menyakitkan adalah “dijual” oleh keluarga atau suaminya. Si perempuan yang semula orang bebas langsung terikat untuk menghamba pada tuan Belanda. Sementara, suami atau keluarganya menikmati uang hasil menjual istri atau kerabat sendiri.
Nasib si perempuan memang berubah begitu dijadikan nyai oleh lelaki Belanda. Statusnya lebih tinggi dari pelayan-pelayan lain di rumah orang Belanda. Kebaya sederhananya tak pernah lagi dipakainya. Namun, status nyai tak pernah diakui masyarakat kolonial, bahkan dianggap aib atau setara dengan pelacur.
Meskipun fenomena umum di kalangan lelaki Eropa, hubungan nyai-tuan selalu disembunyikan. Pada 1620-an, gereja melarang pegundikan. Dengan ancaman tak boleh kembali ke negaranya, VOC pun melarang pegawainya menikahi perempuan pribumi. Namun, larangan yang terus dikeluarkan tak sanggup menghentikan fenomena itu. Hingga akhir abad ke-19, hampir separuh lelaki Eropa di Hindia Belanda masih tinggal dengan nyai.
Awetnya fenomena pergundikan ini, menurut Ann Stoler dalam “Making Empire Respectable”, terjadi lantaran ambivalensi masyarakat kolonial dalam memandang nyai. Mereka tak ingin mengakui pergundikan karena dianggap nista, tapi mereka merasa diuntungkan karena menimbulkan stabilitas politik dan kesehatan kolonial. Nyai membuat mereka tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil.
Tak ada yang menyenangkan dari hubungan nyai-tuan: status tak jelas, hak pun tak ada. Nyai tak punya hak resmi hingga tak bisa menuntut ke mana pun bila tertimpa hal buruk. Ketiadaan pengakuan secara hukum oleh pemerintah itu menimbulkan perlakuan semena-mena.
Bataviaach Nieuwsblad, 9 Maret 1898, sepeti dikutip Reegie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, memberitakan tentang seorang nyai yang dipukuli tuannya. Nyai yang tak tahan sikap kasar si tuan itu lantas mengadu pada tetangganya. Alih-alih mendapatkan permintaan maaf, nyai yang ketahuan mengadu itu justru dapat makian dan pukulan yang makin keras, bukan hanya oleh si tuan tetapi juga ayah si tuan. Tak sampai di situ, si nyai diminta mencuci sendiri bajunya yang berlumur darah dan membersihkan sisa-sisa penganiayaan pada dirinya. Yang lebih buruk lagi, tak ada ganjaran hukum yang diterima si penganiaya.
Lelaki Eropa membenarkan diri untuk berlaku kasar dan tidak beradab karena superioritas kulit putih, uang, dan keinginan menunjukkan maskulinitasnya. Jika menyangkut perilaku seksual, tulis Baay, mereka berlaku sangat buruk, bahkan kotor. Lelaki Eropa menganggap perempuan pribumi hanya objek untuk dinikmati secara seksual dan diperlakukan semena-mena.
Jika sudah diusir, para nyai tak bisa menolak. Pun hak atas anak dari hasil hubungannya dengan si tuan. Hal itu diatur pemerintah kolonial lewat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848 pasal 40 dan 354. Legislasi itu berbunyi hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekalipun si tuan meninggal.
Celakanya, pemerintah kolonial juga menganggap anak hasil hubungan nyai-tuan tidak sah secara hukum. Baru pada awal abad ke-19 pemerintah menerima pendaftaran kelahiran anak di luar nikah. Lelaki Belanda yang enggan mengakui anak hasil pergundikannya bisa mendaftarkan kelahiran anak mereka namun dengan nama belakang dibalik. Misal, pegawai kehakiman Belanda, JTL Rhemrev yang lahir dari seorang gundik dan tuannya, bernama belakang Vermehr. Status anak yang tak diakui pun sama tak jelas dengan ibunya, tak diterima sebagai orang Eropa karena mengancam prestise kulit putih tapi tidak juga masuk golongan pribumi.
Pada abad ke-19, si tuan bisa mengakui anak hasil hubungan pergundikan. Namun berapa pria Eropa yang secara sah mengakui keturunan mereka, banyak yang dipulangkan ke Belanda, Inggris, atau Prancis. Hal itu memutus hubungan sekaligus menelantarkan nyai dan anak-anaknya, meninggalkan si nyai dan jabang bayi tanpa bekal hidup. Ann menyebut buruknya perlakukan Belanda kepada para nyai sebagai eksploitasi seksual dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar