Mencari Jejak Hari Anak
Ribetnya memutuskan tanggal untuk memperingati Hari Anak Nasional. Bolak-balik diusulkan dan diganti.
SEJAK 1986, Hari Anak Nasional rutin diperingati setiap tanggal 23 Juli. Sebelumnya, peringatan digelar pada tanggal yang berbeda-beda. Betapa rumit menentukan Hari Anak Nasional.
Menentukan Hari Anak Nasional –dulu masih menggunakan kata “Kanak-kanak”– sudah diupayakan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), federasi dari organisasi-organisasi perempuan. Pada 1951, dalam salah satu sidangnya, Kowani sepakat untuk menyelenggarakan peringatan Hari Kanak-kanak Indonesia. Namun kesepakatan ini hanya secara prinsip, tanpa keputusan penentuan hari dan tanggalnya.
Menurut majalah Rona terbitan 1988, usulan yang masuk waktu itu: tanggal 3 Juli bertepatan dengan Hari Taman Siswa dan 25 November (Rona menyebut 24 November) sebagai hari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Kendati tanpa keputusan, tahun berikutnya digelar Pekan Kanak-kanak pada 18 Mei 1952. Dalam foto-foto koleksi Perpustakaan Nasional terlihat kemeriahan acara tersebut. Anak-anak berpawai di depan Istana Merdeka dan disambut Presiden Sukarno.
Baru pada sidang Kowani di Bandung tahun 1953 disetujui penyelenggaraan Pekan Kanak-kanak Indonesia setiap minggu kedua bulan Juli, saat luang menjelang kenaikan kelas anak-anak sekolah. Keputusan Kowani disetujui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Karena berpatokan pada libur sekolah, penyelenggaraan Pekan Kanak-kanak pun berubah-ubah. Menurut mingguan Djaja terbitan 1965, sejak 1956 Pekan Kanak-kanak diadakan tanggal 1-3 Juli sesuai keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tanpa nilai historis yang terkandung di dalamnya, penyelenggaraan Pekan Kanak-kanak terasa hambar. Maka, usulan tanggal kembali bermunculan seperti 2 Mei (hari lahir Ki Hajar Dewantara) dan 4 Desember (hari lahir Dewi Sartika). Kowani lagi-lagi tak bisa memutuskan dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Menurut Buku Peringatan 30: i.e. tiga puluh tahun Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, terbit 1958, ini berarti bahwa usul Jajasan Dewi Sartika untuk menjadikan tanggal 4 Desember sebagai Hari Kanak-kanak tidak dapat diterima Kowani.
Pada 1959, pemerintah akhirnya menetapkan tanggal 1-3 Juni. Artinya, Pekan Kanak-kanak diadakan berbarengan dengan Hari Kanak-kanak Internasional, yang sebelumnya digelar Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerwani sendiri merupakan anggota Kowani. Bahkan punya pengaruh kuat.
Melihat kemeriahan Hari Kanak-kanak Internasional 1 Juni, yang seringkali dihadiri Presiden Sukarno, Kowani akhirnya menemukan tanggal yang selama ini dicari. Dalam Kongres ke-13 di Jakarta pada 24-28 Juli 1964, Kowani mengusulkan tanggal 6 Juni, hari lahir Sukarno, sebagai Hari Kanak-kanak Nasional.
Maka, pada 1965, peringatan Hari Kanak-kanak Internasional disatukan dengan Hari Kanak-kanak Nasional pada 1-6 Juni.
Ketika Orde Baru mulai berkuasa, semua hal yang berbau Sukarno disingkirkan. Termasuk Hari Kanak-kanak Nasional setiap tanggal 6 Juni. Tapi memilih gantinya ternyata tak mudah.
Gonta-Ganti Lagi
Untuk mencari gantinya, Kowani kembali mencari tanggal Hari Anak Nasional. Menurut majalah Rona, Kowani mendiskusikan masalah itu dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasilnya, tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Kanak-kanak Indonesia. Ketetapan ini mengambil nilai historis ketika UUD 1945 dinyatakan berlaku pada 18 Agustus 1945.
“Namun dalam pelaksanaannya hari-hari tersebut kurang praktis. Karena hari itu juga akan disibukkan dengan peringatan Hari Kemerdekaan,” tulis Rona.
Dalam Kongres Kowani ke-15 di Jakarta pada 18-20 Februari 1970, penentuan tanggal Hari Anak Nasional kembali dibahas. Kongres memutuskan penetapan Hari Kanak-kanak Nasional harus didiskusikan dengan tiga komponen pendidikan prasekolah, yakni Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI), Gabungan Taman Kanak-kanak Indonesia (GTKI) –kini, Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPTKI)– dan Dinas Pendidikan Prasekolah (Dipras).
Kesempatan itu datang ketika digelar lokakarya mengenai pendidikan prasekolah dalam rangka Kongres GTKI pada 26-28 Maret 1970. Setelah dibahas, disepakati untuk mengusulkan kepada pemerintah agar tanggal 17 Juni ditetapkan sebagai Hari Kanak-kanak Nasional.
“Pertimbangannya, tanggal tersebut merupakan hari keramat,” tulis Rona tanpa menyebutkan seberapa keramat.
Bisa jadi dikaitkan dengan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) IV pada 17 Juni 1966. Sidang MPRS itu menghasilkan beberapa ketetapan yang menjadi landasan Orde Baru: pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, serta larangan ajaran marxisme-komunisme.
“Lagi pula di bulan Juni adalah saat yang tidak terlalu sibuk untuk anak-anak sekolah,” tulis Rona.
Kowani memperkuat usulan tersebut dengan mengirim surat kepada menteri pendidikan dan kebudayaan. Usulan itu mendapat respon. Keluarlah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 15 Juni 1971 No. 0115/1971 yang mengesahkan penetapan tanggal 17 Juni sebagai Hari Kanak-kanak Indonesia, menggantikan Hari Kanak-kanak tanggal 18 Agustus.
Maka resmilah Hari Kanak-kanak Nasional diperingati setiap 17 Juni. Pada 1983, misalnya, peringatan dipusatkan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Menurut Rona, karena namanya Hari Kanak-kanak Indonesia, penyelenggaraannya terbatas pada tiga komponen pendidikan prasekolah. Pesertanya juga hanya murid TK dan maksimal siswa kelas 2 sekolah dasar.
“Sekali lagi persoalan yang mendasar tetap belum terpecahkan. Tanggal tersebut dianggap kurang memiliki makna historis,” tulis Rona. Terlebih jika dikaitkan dengan anak-anak.
Momen Historis
Momen historis akhirnya didapat setelah Undang-Undang No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak disahkan pada 23 Juli 1979. Tanggal itulah yang diusulkan GOPTKI untuk mengganti tanggal 17 Juni. Usulan itu merupakan hasil kongres GOPTKI ke-5 pada 1980.
“Alasannya, tanggal itu memiliki nilai historis dan simbolis, serta bersifat nasional, serta untuk menghindar dari subyektivitas kelompok,” tulis Rona.
Usulan itu juga dilengkapi saran mengganti istilah Hari Kanak-kanak Nasional menjadi Hari Anak-anak Nasional. Pertimbangannya, untuk menghilangkan anggapan bahwa peringatan itu hanya diperuntukkan untuk murid TK.
Empat tahun kemudian keluarlah Keputusan Presiden (Keppres) No. 44/1984 yang menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak-anak Nasional. Dan, seperti disebutkan pada pasal 5 Keppres tersebut, “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka semua yang mengatur Hari Anak Nasional yang telah ada dinyatakan tidak berlaku.”
Kapanpun tanggalnya, yang terpenting jangan lupakan makna di balik peringatan Hari Anak Nasional.
Baca juga:
Bung Karno dan Hari Anak
Gerwani dan Hak Anak
Pulau untuk Anak Terlantar
Pengasuh Anak di Masa Kolonial
Tambahkan komentar
Belum ada komentar