Mempertanyakan Pengakuan Nyak Sandang
Sejarawan meragukan pengakuan Nyak Sandang yang menyumbang untuk pembelian pesawat pertama Republik Indonesia. Tahun obligasi dan pembelian pesawat berbeda.
NYAK Sandang, lelaki berusia 91 tahun, menjadi perhatian dan pemberitaan luas karena mengaku sebagai penyumbang pembelian pesawat pertama Republik Indonesia, Seulawah RI-001. Dia menunjukkan buktinya berupa obligasi tahun 1950. Presiden Joko Widodo mengundangnya ke Istana Negara pada Rabu malam, 21 Maret 2018. Jokowi menawarinya umrah sebelum naik haji. Direktur Utama Garuda Pahala N. Mansyuri juga menjenguknya di RSPAD Gatot Subroto karena Seulawah RI-001 merupakan cikal bakal Garuda.
Namun, sejarawan Asvi Warman Adam, mempertanyakan pengakuan Nyak Sandang sebagai penyumbang pembelian Seulawah RI-001. Dengan membeli obligasi, Nyak Sandang memang telah menyumbang untuk pemerintah, namun bukan untuk membeli pesawat.
“Pesawat pertama itu dibeli tahun 1948 dengan sumbangan rakyat Aceh,” kata Asvi. Sedangkan obligasi yang dimiliki Nyak Sandang dikeluarkan tahun 1950.
Pada saat pengumpulan dana, Mayor Udara Wiweko Supono, membawa 25 miniatur pesawat dari kayu yang diserahkan sebagai tanda bukti dan tanda terima kasih kepada penyumbang. “Apakah Nyak Sandang punya miniatur pesawat dari kayu itu? Dia hanya punya tanda bukti membeli obligasi tahun 1950. Ini tidak ada hubungannya dengan pesawat pertama RI, Seulawah,” kata Asvi.
Pembelian pesawat itu permintaan dari Presiden Sukarno ketika berkunjung ke Aceh pada 16 Juni 1948. Sukarno dan rombongan tiba di Aceh dengan pesawat RI-002 milik Bobby Earl Freeberg, mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat, yang disewa pemerintah Indonesia. Sukarno menghadiri jamuan makan malam di Hotel Aceh yang diadakan pemerintah daerah dan pimpinan Gasida (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Undangan yang hadir antara lain pejabat sipil dan militer, ulama, tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin organisasi politik, perjuangan dan pemuda.
Dalam sambutannya, Sukarno menyarankan agar masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat kepada pemerintah. “Alangkah baiknya apabila kaum saudagar dan rakyat Aceh berusaha membuat ‘jembatan udara’ antara satu pulau dengan pulau lain di Indonesia. Untuk itu, saya anjurkan rakyat mengumpulkan dana untuk membeli kapal udara, umpamanya pesawat Dakota yang harganya hanya 25 kilogram emas,” kata Sukarno.
Hadirin terutama para saudagar menyambut hangat anjuran Sukarno tersebut. Bahkan, Residen Aceh Teuku M. Daudsyah mengumumkan bahwa Aceh sanggup menyumbang sekurang-kurangnya dua buah pesawat Dakota.
Pada 20 Juni 1948, Teuku Panglima Polem Muhammad Ali, ketua panitia pembeli pesawat udara sumbangan rakyat Aceh, disaksikan Residen Aceh Teuku M. Daudsyah menyerahkan cek sebesar ratusan ribu Strait Dollar kepada Sukarno sebelum kembali ke Yogyakarta. Uang tersebut cukup untuk membeli sebuah pesawat Dakota. Sementara dana untuk satu pesawat lagi akan menyusul paling lambat dua minggu.
Pada awal Juli 1948, panitia pembeli pesawat udara sumbangan rakyat Aceh telah dapat mengumpulkan dana untuk membeli satu lagi pesawat. Pada 2 Agustus 1948, Gasida menyerahkan 120.000 Strait Dollar kepada residen Aceh untuk disampaikan kepada pemerintah Indonesia di Yogyakarta.
Menurut A. Hasjmy, pelaku sejarah yang saat bertemu Sukarno menjabat pemimpin umum Divisi Rencong dan kepala jawatan sosial Aceh, pesawat pertama sumbangan rakyat Aceh dengan registrasi RI-001 dan bernama Seulawah tiba di pangkalan udara Yogyakarta pada awal Oktober 1948.
“Pada tanggal 20 November 1948, pesawat Seulawah RI-001, sumbangan rakyat Aceh, mendarat di pangkalan udara Lhoknga, Banda Aceh, yang diterbangkan oleh Komodor Udara Suryadarma. Pesawat membawa Wakil Presiden Mohammad Hatta,” kata Hasjmy dalam Semangat Merdeka. “Setelah beberapa hari di Banda Aceh, Suryadarma dan Seulawah RI-001 terbang meninggalkan Tanah Aceh.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar