Melawan Korupsi dengan Malam Tirakatan
Gerakan antikorupsi tumbuh pada awal Orde Baru. W.S. Rendra melawan korupsi dengan tirakatan.
SUDAH hampir pukul 22.00. Lalu lintas di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, mulai lengang. Sebelas lelaki menyeberang jalan ke jalur hijau. Seorang di antaranya W.S. Rendra, sastrawan sohor. Kemudian mereka duduk di jalur hijau. Beberapa memejamkan mata, mulutnya komat-kamit merapal do’a, dan tangan menengadah ke atas.
Malam itu, 15 Agustus 1970, Rendra dan sepuluh temannya bertirakat. Simbol perlawanan terhadap korupsi. Tapi tirakat tak berlangsung lama. Sebuah jip Polisi Militer mendekati mereka. Petugas keluar dari jip, lalu memerintahkan kerumunan di jalur hijau bubar. Petugas juga menanyakan siapa pemimpin tirakat.
Rendra berdiri dan berdialog sebentar dengan petugas. Dia bilang tidak ada pemimpin tirakat. Tiap orang datang atas keinginan dan kesadarannya sendiri. Petugas melihat Rendra tampak paling tua di antara kerumunan. Mereka menggiringnya masuk ke dalam jip.
Baca juga: Kisah WS Rendra, Si Burung Merak masuk Islam
Jip bergerak ke sebuah gedung militer di Jalan Budi Kemuliaan, tak jauh dari Jalan M.H. Thamrin. Petugas menahan dan menginterogasi Rendra selama 15 jam. Kawan-kawan Rendra dan anggota gerakan antikorupsi mendatangi gedung itu.
Petugas mengatakan bahwa Rendra baik-baik saja. Malah dia sempat minta petugas menyediakan sop ular untuk makan malam. Demikian cerita Kompas 19 Agustus 1970 tentang penangkapan Rendra pada Malam Tirakatan Melawan Korupsi. Istilah Malam Tirakatan berasal dari anggota Komite Anti Korupsi (KAK).
Komite Anti Korupsi
KAK terbentuk di Jakarta pada 9 Juli 1970. Sebagian besar pendiri KAK berstatus mahasiswa. Mereka dari bermacam universitas dan organisasi mahasiswa seperti Universitas Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Djakarta, dan Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.
KAK merupakan gerakan antikorupsi kedua bikinan mahasiswa pada awal Orde Baru. Sebelumnya ada Mahasiswa Menggugat (MM) pada Januari 1970. Salah satu tokoh penting MM adalah Arief Budiman —kelak menjadi guru besar kajian Indonesia di University of Melbourne, Australia.
MM hanya berumur sebulan. Mereka membubarkan diri begitu Presiden Soeharto membentuk Komisi Empat, komisi ad-hoc untuk memberikan ulasan dan pertimbangan mengenai kebijaksanaan pemberantasan korupsi kepada pemerintah.
KAK sedikit meniru MM dalam sistem kepemimpinan. “KAK sebagaimana MM tidaklah dipimpin oleh satu orang, tapi bersifat kolegial. Hanya saja, pada KAK terjadi pengorganisasian yang lebih formal berupa adanya 11 sekretaris,” tulis Sjahrir dalam “Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi” termuat di Prisma No. 3, 1986.
Keanggotaan KAK bersifat terbuka dan bebas. Siapa pun boleh jadi anggota dan aktif di KAK. Terpenting, orang itu punya keprihatinan terhadap masalah korupsi di Indonesia.
KAK memandang korupsi sebagai penghambat pembangunan. Sudah begitu mewabah dan mengakar. Francois Raillon dalam Poltiik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia menyebut Indonesia saat itu sebagai ‘Kerajaan Korupsi’ sebagai gambaran wabah korupsi pada masa awal Orde Baru. KAK hadir untuk menekankan pentingnya pemberantasan korupsi dan ketegasan pemerintah.
Baca juga: Jatuh bangun lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Kompas, 22 Juli 1970 mencatat bahwa KAK bertujuan “memberikan suppport moril kepada pemerintah dan tokoh-tokoh nasional untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela.” Dukungan itu berbentuk masukan untuk pemerintah dalam memberantas korupsi. Masukan berasal dari hasil diskusi dan workshop bikinan KAK tentang pemberantasan korupsi.
Selain mengadakan diskusi dan workshop pemberantasan korupsi, KAK mengusulkan pembuatan daftar isian kekayaan pribadi pejabat sipil dan militer. Daftar itu harus diisi oleh pejabat secara berkala. Dengan demikian, daftar itu berfungsi sebagai alat pantau kekayaan pejabat sehingga masyarakat bisa mengetahui jika ada kekayaan tak wajar pada pejabat.
Mematikan Lampu
KAK berencana menggelar klimaks gerakan mereka. Klimaks itu bernama Malam Tirakatan. Mereka mengajak warga Jakarta untuk tirakat bersama di Jalan M.H. Thamrin pada 15 Agustus 1970.
Dua orang anggota KAK kemudian menyebar pamflet di dinding bangunan kota pada awal Agustus 1970. “Warga Djakarta jang anti-korupsi!! Datanglah beramai-ramai pada Malam Tirakatan tanggal 15 Agustus 1970 di Djalan Thamrin jam 20.00” Begitu seruan dalam pamflet KAK.
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) tak sepakat dengan rencana Malam Tirakatan KAK. Kopkamtib menangkap dua penyebar pamflet dan meminta KAK membatalkan rencana tersebut. Kalau KAK ngotot, Kopkambtib siap ambil tindakan.
Menurut Kopkamtib, Malam Tirakatan akan mengganggu stabilitas dan kelancaran lalu lintas. Suara senada juga datang dari Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Kepolisian.
Baca juga: Benarkah Adam Malik agen CIA?
KAK pergi menemui Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966—1977, untuk mencari dukungan. Dia memuji gerakan antikorupsi KAK. “Kegiatan-kegiatan antikorupsi telah menyadarkan masyarakat akan bahaya korupsi,” kata Ali dalam Kompas, 4 Agustus 1970. Tapi dia ternyata keberatan juga dengan rencana Malam Tirakatan.
Ali menyarankan sebaiknya rencana Malam Tirakatan diganti dengan aksi mematikan lampu bersama di dalam rumah selama 15 menit pada 15 Agustus 1970. Saran Ali beroleh tanggapan hangat dari KAK.
KAK mengurungkan niat bertirakat dan memilih diam di rumah pada 15 Agustus. Hasilnya memuaskan. Ribuan rumah di Jakarta gelap gulita selama 15 menit. “Ini menunjukkan bahwa gerakan anti korupsi memang mendapat dukungan yang meluas, paling sedikit dari penduduk Jakarta,” kata Arief Budiman dalam Prisma, No 4, 1986.
Menghindari Konflik Terbuka
Tapi mengapa ada orang yang tetap melakukan Malam Tirakatan?
Arief Budiman menuturkan seperti ini. Dia memang bukan anggota KAK, tapi biasa berdiskusi dengan anggota KAK di Balai Budaya, Jakarta. Dia mengetahui rencana Malam Tirakatan dari diskusi di Balai Budaya. Dia menyatakan kesediaannya untuk ikut Malam Tirakatan bersama KAK.
Tetapi KAK kemudian membatalkan Malam Tirakatan untuk menghindari konflik dengan Kopkamtib. Sedangkan Arief Budiman berpikiran lain.
“Buat kami ketika itu, mundur dari Malam Tirakatan akan sangat memalukan, karena artinya begitu ‘digertak’ oleh Kopkamtib kami mundur. Karena itu, kami ingin melaksanakan terus Malam Tirakatan di Jalan Thamrin itu, dengan memperketat pengamanan supaya tidak disusupi oleh unsur luar untuk menjaga perjuangan kami,” ungkap Arief. Lengkap dengan mengusung poster dan pamflet.
Sikap Arief Budiman ini mendapat tentangan dari beberapa orang. Rendra termasuk di antaranya. Dia mengaku baru datang ke Jakarta pada 10 Agustus 1970 dan baru mengetahui rencana Malam Tirakatan pada 13 Agustus ketika bertemu kawan-kawannya di Balai Budaya.
Rendra melihat situasi head-to-head kelompok Arief Budiman dengan Kopkamtib. Satunya ngotot gelar Malam Tirakatan, pihak lainnya memerintahkan pembatalan. Dalam Kompas, 10 September 1970, Rendra menyebut dua pihak sama-sama ekstrem.
Bagi Rendra, konflik frontal semacam ini hanya akan menciptakan situasi tak kondusif bagi gerakan antikorupsi. “Mahasiswa tidak sedang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soeharto, sedangkan penguasa bukan sedang menghadapi pemberontakan. Jadi kenapa harus frontal?” tanya Rendra.
Untuk menghindari konflik terbuka antara gerakan antikorupsi dengan Kopkamtib, Rendra memohon Arief membatalkan rencananya. Dia bersedia melanjutkan Malam Tirakatan menggantikan Arief dan teman-temannya. Dia mengatakan tirakatan tak perlu terlalu banyak orang dan tak usah mengusung poster segala.
Rendra menyebut hanya perlu mengajak beberapa temannya untuk ikut Malam Tirakatan. Mereka berasal dari dunia seni dan intelektual. Jumlahnya sebelas orang. Jauh lebih kecil dari jumlah teman-teman Arief Budiman yang puluhan.
Arief menerima usulan Rendra. “Saya mundur sedikit, yakni dengan menjadikan Malam Tirakatan gerakan simbolistis belaka,” kata Arief. Yang malam itu bertirakat adalah orang-orang yang dianggap murni dan tak membawa kepentingan politik apapun kecuali keinginan melihat korupsi diberantas.
Tetapi petugas di lapangan tidak peduli dengan soal murni atau tidak murni orang yang bertirakat; tidak juga mau toleran terhadap berapa jumlah orang yang ikut Malam Tirakatan. Mereka kukuh bahwa Malam Tirakatan mengganggu stabilitas keamanan sehingga harus tetap membubarkan kegiatan itu dan menangkap beberapa orang terkait kegiatan tersebut.
Untunglah pada akhirnya segala sesuatunya selesai dengan selamat. “Dan yang penting, Malam Tirakatan tetap dilangsungkan. Bagi saya ini sebuah kemenangan moral bagi gerakan, karena kami tidak menyerah pada ancaman kekuatan,” kata Arief.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar