Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan
Kisah perkelahian berdarah yang mengawali perang kemerdekaan di Sumatera Utara.
TAK jauh dari pusat kota Medan, tepatnya di Jalan Veteran (dulu Jalan Bali), berdiri sebuah gedung tua yang menyimpan cerita masa lalu. Di pinggir gedung, terukir prasasti epos zaman revolusi. Isinya:
“Markas NICA di Gedung Pension Wilhelmina Jalan Bali ini, tanggal 13 Oktober 1945, digempur pemuda pejuang Kota Medan karena seorang tentara NICA mencopot lencana Merah Putih dari baju seorang anak remaja yang liwat di muka markas tersebut dan menginjak-injaknya. 7 orang pemuda gugur, 7 orang NICA tewas, dan 96 orang NICA lainnya luka-luka”
“Itulah starting point perang kemerdekaan di Sumatera Utara,” kata Muhammad Tok Wan Hari (82 tahun), eks Tentara Pelajar Indonesia yang disambangi Historia di kediamannya (23/10/2015).
Tentara Sekutu dalam kontingen Alied Forcers Netherlands East Indies (AFNEI) tiba di Medan sejak 9 Oktober 1945. Di bawah pimpinan Brigadir Jendral T.E.D. Kelly dari Inggris, misi AFNEI adalah melucuti dan memulangkan pasukan Jepang. Selain itu, mereka juga bertugas membebaskan tentara Sekutu yang tertawan saat Perang Dunia II.
Dalam AFNEI, ikut pula tentara sipil Belanda dalam kesatuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Di Medan, tentara NICA membentuk Medan Batalion yang bermarkas di Pension (penginapan) Wilhelmina di Jalan Bali, dekat pusat pasar. Letnan Raymond Westerling menjadi komandan batalion ini.
“Mereka itu (tentara NICA) anak buahnya Westerling yang mau mengembalikan kekuasaan Belanda di Sumatera Utara,” ujar Muhammad Tok Wan Hari, mantan wartawan senior kota Medan.
Kejadian bermula ketika seorang anak remaja tengah melintas di depan Pension Wilhelmina. Anak itu hanya seorang pedagang pakaian bekas namun dia mengenakan lencana Merah Putih di dadanya. Tentara penjaga markas memanggil anak itu, melucuti lencana dari bajunya. Setelah menginjak-injak lencana Merah Putih, tentara NICA memaksa anak itu menelan lencananya. Anak itu melawan tapi kena gampar tentara NICA.
Anak yang teraniaya itu melarikan diri dan memberitahu masyarakat akan perlakuan tentara NICA. Berita langsung menyeruak ke penjuru kota. Kemarahan rakyat Medan membuncah. Para pemuda berbondong-bondong ke Jalan Bali. Selain anak-anak muda nasionalis, turut pula bandit atau para jago kota Medan. Selamat Ginting dan Timur Pane adalah pimpinan laskar-laskar pemuda.
Penyerbuan ke markas NICA terjadi pada 13 Oktober 1945. “Senjata yang paling banyak digunakan dalam perkelahian disana adalah parang sehingga bacok-membacok sangat ramai,” dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera (1979).
Korban jatuh di kedua belah pihak. Masing-masing tujuh orang meninggal. Gedung Pension Wilhelmina berhasil diambilalih para pemuda. Sebanyak 132 tentara NICA mengalami luka-luka. Mereka diangkut ke markas pemuda pimpinan Selamat Ginting, tak jauh dari Jalan Bali. Setelah dipukuli, mereka dikirim ke rumah sakit, ada juga yang dibunuh.
Pada 18 Oktober 1945, Inggris mengumumkan agar orang-orang Indonesia menyerahkan senjatanya. Tuntutan itu dijawab dengan giatnya pembentukan laskar-laskar di Medan dan sekitarnya, seperti Berastagi dan Pematang Siantar. Anggota laskar bahkan mencari senjata yang dibuang Jepang ke dasar laut, dekat pelabuhan Belawan.
Pertempuran demi pertempuran meluas, menandai dimulainya perang kemerdekaan di Sumatera Utara.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar