Kisah Menegangkan Kala Yogyakarta Diserang Belanda
Bagaimana suasana di Istana Negara Yogyakarta saat detik-detik agresi militer Belanda terjadi?
YOGYAKARTA, 19 Desember 1948. Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo baru saja selesai mengurus tawanan-tawanan komunis di Benteng Fort Vredeburg, saat beberapa pesawat pemburu militer Belanda menembaki Istana Negara subuh itu. Dalam keremangan pagi, Sukotjo masih sempat melihat parasut-parasut pasukan lintas udara militer Belanda bergelayutan di langit Maguwo.
Sadar Belanda telah menyerang, ia lantas melepas kembali puluhan tawanan yang baru saja ditangkap, “Tawanan-tawanan itu kami suruh pulang,” ujar anggota Kompi II Yon Mobil B Corps Polisi Militer (CPM) tersebut kepada Historia.
Usai melakukan koordinasi secara cepat dengan rekan-rekannya, Sukotjo bergerak ke Istana Negara. Mereka bersiap menghadapi datangnya serbuan militer Belanda. Memasuki senja, sepasukan prajurit lintas udara Belanda sudah mengambil posisi di depan Kantor Pos. Terjadilah tembak menembak antara pasukan Belanda dengan satu kompi CPM pimpinan Letnan Satu Susetio yang bertahan di halaman Istana Negara.
“ Harus diakui, saat itu kekuatan kita tidak seimbang dibanding pasukan lawan,” kenang lelaki kelahiran Jawa Timur 88 tahun lalu itu.
Tak ingin Presiden tertangkap, Sukotjo lantas mengusulkan agar Susetio menyelamatkan Presiden dan jajarannya sedangkan ia sendiri akan memimpin 30 prajurit CPM untuk menghadang serbuan militer Belanda. Namun sebagai komandan kompi, Susetio sendiri tak bisa membuat keputusan. Ia kemudian membawa Sukotjo menghadap Mayor Gandi, yang tak lain adalah ajudan pribadi Presiden Sukarno. Alih-alih mendapat instruksi, Mayor Gandi malah membawa Sukotjo ke hadapan Presiden Sukarno di serambi belakang Istana Negara.
Melihat ajudannya datang bersama Sukotjo, Presiden Sukarno yang saat itu tengah berdiskusi dengan Haji Agus Salim, Komodor Suryadarma dan Sekretaris Negara Mochamad Ichsan, langsung melontarkan pertanyaan: “ Ada apa, Co?”
Sukotjo dengan bersemangat menyampaikan rencananya kepada Presiden Sukarno: mulai dari A sampai Z. Usai mendengar usulan Sukotjo, presiden terdiam sejenak. Sambil memandang Sukotjo, ia lalu berkata. Pelan namun terdengar tegas.
“Begini ya Co, Merah Putih, tidak akan menyerah (seraya mengacungkan tangan kanan nya ke atas), tetapi kita harus menyerahkan tempat ini kepada Belanda (dalam nada datar),” ujar Presiden Sukarno.
Mendengar kata-kata itu, Sukotjo merasa tubuhnya lemah lunglai. Dalam posisi tegak, diam-diam air matanya meleleh. Susana pun menjadi tak karuan. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba Sukotjo melepas pistol dan klewang yang ada di pinggang lalu menjatuhkannya tepat di depan Sukarno. “Sudah empat tahun berperang kok kita menyerah?!” katanya sambil berlalu.
Sejarah kemudian mencatat, tentara Belanda menawan Presiden Sukarno beserta jajarannya dan membawa mereka ke tanah pengasingan di Sumatera. Menurut Himawan Soetanto, proses penangkapan ini dinilai pihak Belanda merupakan bagian yang paling mendebarkan dalam Operasi Gagak. “Itu merupakan saat yang paling dramatis dari pertikaian Indonesia-Belanda,” tulis Himawan dalam buku Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Tetapi penangkapan dan pengasingan Sukarno beserta jajarannya disambut dingin oleh Komandan Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Spoor. Alih-alih merasa senang, saat dilapori soal itu oleh Komandan Operasi Jawa Tengah, Jenderal Meier, Spoor justru menyambutnya dengan teriakan: “ Kita kalah!”. Mengapa demikian?
Rupanya, dalam skenario besar Spoor, ia berharap Sukarno justru melawan dan terbunuh. Atau setidaknya ikut pergi ke hutan untuk memimpin gerilya. “Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kemerdekaan kita,” demikian menurut buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan yang diterbitkan oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) itu.
Sukutjo sendiri bernasib baik dalam peristiwa tersebut. Setelah sempat ditawan beberapa jam oleh KST (Korps Pasukan Khusus militer Belanda), ia berhasil melarikan diri dan bergabung kembali dengan induk pasukannya. “Ternyata saya masih ditakdirkan untuk ikut terus bertempur dengan militer Belanda sampai perang selesai,” ungkap tentara yang mengakhiri karirnya sebagai Mayor Jenderal itu.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar