Kesaksian Korban Rezim Lee Kuan Yew
Suara dari mereka yang dibungkam rezim Lee Kuan Yew. Menilai kematian Lee sebagai jalan untuk membebaskan diri dari tirani.
LEE Kuan Yew, sosok yang mentransformasi Singapura, negara kecil bersumber daya alam nyaris nol menjadi pemain besar ekonomi dunia tersebut, meninggal dunia pada usia 91 tahun. Perdana menteri Singapura, yang berkuasa dari tahun 1959 sampai 1990 tersebut meninggal karena penyakit pneumonia.
Namun bagi sebagian orang, kematian Lee Kuan Yew adalah jalan menuju kebebasan dari tirani. Beberapa bersuara mengomentari kepemimpinan pragmatis, atau dalam istilah yang lebih keras, ‘kediktatoran terselubung’ Lee Kuan Yew selama dirinya berkuasa. Di balik menara pencakar langit dan kekuatan finansial Singapura, bentuk-bentuk otoriterianisme mewujud.
“Dia akan selalu diingat sebagai diktator yang berhasil mempertahankan lapisan tipis demokrasi dan khayalan besar akan pemerintahan hukum sampai akhir hayatnya,” tulis Tan Wah Piow, seorang eksil Singapura sejak tahun 1976 yang bermukim di London kepada freemalaysiatoday.com (23/3).
Sebelum jadi eksil di London, Tan adalah Presiden Serikat Mahasiswa Universitas Singapura (sekarang Universitas Nasional Singapura, NUS). Pada 1974, dia ditangkap dan diadili karena aktivitasnya menuntut demokrasi dan keadilan sosial yang transparan bagi kaum buruh dianggap mengganggu keamanan nasional. Kasusnya diyakini penuh rekayasa. Sempat dijatuhi hukuman setahun penjara, dia lalu pergi ke Inggris pada 1976 dan menjalani hidup dalam pengasingan.
Pada 1987, Tan kembali jadi sosok antagonis ketika dia dituduh pemerintah sebagai otak konspirasi gerakan Marxis di Singapura melalui gereja Katolik. Sekali lagi, pemerintah Singapura melaksanakan operasi pengamanan dengan nama Operation Spectrum.
"Operation Spectrum menangkap 22 orang di antara para pengacara, mahasiswa, dan para pekerja Gereja Katolik. Mereka dipenjarakan di bawah Internal Security Act (ISA) yang melenyapkan proses hukum dan hak mereka untuk membela diri di depan pengadilan," tulis Clement Mesenas dalam Dissident Voices: Personalities in Singapore’s Political History.
Melalui ISA, pemerintah Singapura telah melakukan pembersihan terhadap kekuatan-kekuatan penentang pemerintahan yang telah dikuasai oleh partai yang didirikan Lee, People′s Action Party (PAP). Hak-hak sipil dan kebebasan pers kerap ditekan. ISA di Singapura awalnya diperkenalkan oleh Malaysia ketika Singapura bergabung pada 1963.
Sejarawan Singapura dari Universitas Oxford, P.J. Thum, merujuk pada dokumen yang dikeluarkan pemerintah Inggris, mengemukakan bahwa alasan merger Malaya dan Singapura tahun 1963 adalah sebuah trik politik yang dirancang oleh Inggris, PAP, dan pemerintah Malaya untuk memberangus kaum komunis Singapura melalui ISA.
Pada 2 Februari 1963, ISA diteken dan Operation Coldstore dilaksanakan. Targetnya adalah menangkapi orang-orang kiri Singapura, terutama rival dari PAP yang juga partai oposisi, Barisan Sosialis. Total 133 orang ditahan, beberapa menjalani hidup di pengasingan.
Setelah Singapura berhasil dikuasai PAP dan Lee Kuan Yew berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara ‘bersih’, maka merger menjadi tidak ada artinya lagi. Singapura berpisah, dan laju politik Lee Kuan Yew tidak terhadang lagi sampai beberapa dekade setelahnya.
“Jika alasan pembentukan Malaysia melalui merger antara Federasi Malaya dan PAP adalah untuk menetralkan oposisi politik di Singapura, lalu ketika oposisi itu sudah tidak ada, apa lagi alasan rasional bagi keduanya untuk tetap meneruskan merger tersebut?” ujar Thum mengomentari keluarnya Singapura dari Malaysia pada tahun 1965, sebagaimana dikutip dari theonlinecitizen.com (23/3).
Selama berkuasa, Lee Kuan Yew memang pragmatis. Kematian di hari tua yang tenang mungkin adalah salam terakhir dan hadiah yang pantas untuk sosok yang telah memberikan begitu banyak untuk negaranya. Setelah Lee Kuan Yew tiada, dunia kini bisa menilai warisan besarnya untuk Singapura dengan beragam sudut pandang.
“Dengan kematian, kebenaran tentang dirinya akan terungkap. Beruntung orang yang sudah tiada tidak bisa lagi menuntut atas dasar pencemaran nama baik untuk membungkam kritik, seperti yang kerap dengan cepat dia lakukan semasa hidupnya,” tambah Tan yang saat ini tinggal di London, masih dalam statusnya sebagai eksil.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar