Jala Polisi Susila
Pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk polisi susila untuk mengawasi dan menegakkan moral warganya.
Jika Aceh memiliki polisi syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan moral masyarakat, pemerintah kolonial Belanda punya polisi susila (zedenpolitie).
Pemerintah Hindia Belanda menganggap mengadabkan dan mengontrol masyarakat, tidak terkecuali masalah moral, merupakan tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda mendirikan polisi susila untuk mengawasi kesusilaan umum dan menegakkan moral masyarakat. Tujuannya menjaga rust en orde (ketentraman dan ketertiban).
Menurut Marieke Bloembergen, mengingat tugas kepolisian di bidang penjagaan kesusilaan umum serta sebagai ikhtiar mewujudkan kepolisian modern, di sejumlah kota dibentuklah unit-unit khusus polisi susila yang menjadi bagian dari reserse dan bertanggungjawab kepada kepala polisi kota (stadspolitie).
“Prakarsa pembentukan polisi susila datang dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang menganggap bahwa kesusilaan umum adalah ciri masyarakat modern,” tulis Marieke dalam Polisi Zaman Hindia Belanda.
Pada 1920-an dan 1930-an operasi pemberantasan pelacuran serta perdagangan perempuan dewasa dan anak-anak menjadi bagian penting dari strategi lobi kesusilaan internasional. Demikian juga yang terjadi di Hindia Belanda. Karenanya, polisi susila tidak saja bekerjasama dengan biro pemerintah untuk pemberantasan perdagangan perempuan dewasa dan anak-anak (Regeringsbureau ter bestrijding va de handel in vrouwen en meisjes) yang didirikan pada 1913 dan biro pengawasan pengeluaran ilegal (ontuchtige uitgaven), namun juga dengan sejumlah lembaga swadaya Eropa maupun bumiputera.
Polisi susila kemudian tidak hanya memberantas pelacuran dan perdagangan perempuan, tetapi juga homoseksualitas. Ini dilakukan setelah terkuak kasus homoseksualitas, kerap disebut skandal asusila (zedenschandaal), yang melibatkan para pejabat tinggi di Batavia.
Antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi susila di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran dan menjaring lebih dari 200 pria, kebanyakan warga Eropa, termasuk di dalamnya sejumlah pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan pedofilia tersebut, baik di Hindia Belanda maupun Belanda, diancam dengan pidana, dan larangan tersebut sudah berlaku sejak 1918. Dari 223 orang yang ditahan, 171 dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
Kasus homoseksualitas juga terjadi di tubuh polisi sendiri. Setidaknya empat pejabat polisi jadi terdakwa dan ditahan. Tiga di antaranya dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Namun, noda dalam tubuh kepolisian ini tenggelam dalam keriuhan pemberitaan pers atas kasus yang menimpa para pejabat tinggi pemerintahan.
“Bagi kepolisian,” tulis Marieke, “skandal kesusilaan tersebut membuka peluang untuk menunjukkan bukan kelemahan-kelemahannya, namun justru kekuatan dan akhlak mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan akhlak mulia dari negara.”
Kenyatanya, sejak masa kolonial hingga sekarang, negara selalu merasa bertanggungjawab terhadap moral warga negaranya.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar