Dirgahayu, Poncke!
Tentang seorang manusia yang memandang kemanusiaan melebihi semua ideologi.
Hari ini, H.J.C. Princen berulang tahun. Dia lahir pada 21 November 1925 di Den Haag, Belanda. Jika dia masih ada di tengah kita, usia lelaki yang akrab dipanggil Poncke itu sudah mencapai angka 94. Namun nyatanya Poncke sudah pergi sejak 22 Februari 2002 dan sekarang jasadnya bersemayam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tempat yang dia pilih sendiri untuk beristirahat panjang.
Poncke sebenarnya sangat bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tahun 1949, Presiden Sukarno telah menganugerahinya Bintang Gerilya dan itu memberinya hak untuk dimakakamkan di “tempat yang terhormat” tersebut. Tapi sejak awal, Poncke telah menolaknya.
“Papah pernah bilang ingin dimakamkan sebagai orang biasa saja dan tidak di TMP Kalibata yang dia bilang banyak koruptornya,” ungkap Wilanda Princen suatu hari kepada saya.
Saya percaya Poncke pernah mengatakan itu. Sebagai pejuang kemanusiaan yang hampir tiap waktu bertempur melawan kesewenang-wenangan, hal-hal yang terkait dengan heroisme baginya sudah selesai. Tak ada sikap pamrih seperti dimiliki sebagian besar para politisi kita hari ini. Karakter dan prinsipnya sangat jelas. “Dia orang yang setia kepada hatinurani dan rakyat tertindas,” ujar Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam Gerilya yang Tak Pernah Selesai.
Baca juga: Aksi Poncke Princen di Hardjasari
Romo Mangun tentunya tidak sembarang meyebut Poncke seperti itu. Tapi saya yakin, dia tidak memiliki kalimat lain untuk melukiskan seorang lelaki Belanda yang “nekad” berpihak kepada “kaum ekstrimis” yang dimusuhi negaranya hanya karena soal kemanusiaan. Padahal bila mau, (seperti puluhan ribu serdadu Belanda lainnya saat itu) bisa saja Poncke berdalih bahwa dia hanya eksekutor dari para jenderal semata. Tapi toh itu tidak dilakukannya.
“Aku pernah menjadi bagian suatu negara yang ditindas oleh para fasis Jerman, apakah aku harus berlaku sama seperti para penindas itu kala berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang ingin merdeka?” kata Poncke saat saya wawancarai pada 1996.
Desember 1948, Poncke secara resmi membelot ke kubu Republik. Ia lantas bergabung dengan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi dan ikut melakukan long march dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Bersama sekira seribu prajurit (ditambah para perempuan dan anak-anak), dia berjalan dari hari ke hari hampir dalam waktu dua bulan lamanya menyusuri kaki gunung, hutan, sawah dan sungai.
Baca juga: Perburuan Desersi Poncke Princen
Masih segar dalam ingatan Poncke, saat mereka tengah berjalan tertatih-tatih dalam suatu barisan panjang, kerap kali pesawat-pesawat tempur militer Belanda menghujani mereka dengan peluru dan bom. Dia harus menjadi saksi semua hal buruk yang ditimbulkan oleh saudara-saudara sebangsanya: orang-orang terluka karena bom, anak-anak stres karena ketakutan dan para istri yang menangis karena kehilangan suami.
“Omong kosong, kalau itu semua tidak membuatku semakin terikat dalam satu nasib dan satu penderitaan dengan mereka!” ujarnya seperti dikutip oleh penulis Joyce van Fenema dalam Kemerdekaan Memilih. Bisa jadi, pengalaman itu pula yang menjadikan Poncke selalu memilih posisi bersama rakyat tertindas dan bersebrangan dengan pihak penguasa. Baginya kemanusiaan melebihi semua ideologi yang dimiliki manusia termasuk nasionalisme.
Setelah keluar masuk penjara karena kerap berbeda pendapat dengan pemerintah Sukarno, pada awal 1969, Poncke lagi-lagi memerahkan kuping penguasa. Kali ini rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang menjadi sasarannya. Saat itu, di hadapan pers, Poncke membongkar pembunuhan ratusan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Purwodadi.
Rezim Orde Baru murka. Mereka menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat ngawur.
Sudah pasti Poncke tak pernah peduli dengan semua tuduhan tersebut. Bahkan saat dia dikecam sebagai “sekali pengkhianat tetap pengkhianat” oleh Ali Said (Ketua Komnas HAM) karena pembelaanya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, Poncke tetap setia dengan jalan oposisi-nya.
Poncke memang manusia yang jarang dilahirkan oleh zaman. Saya pikir, hingga kini tak banyak orang seperti dia lagi. Kendati begitu banyak hal yang bisa diteladani darinya, orang-orang hari ini agaknya tidak akan seberani dia lagi ketika harus memilih jalan. Dirgahayu, Poncke!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar