Cerita Lama Soal Kudeta di Indonesia
Beberapa presiden Indonesia terpaksa berhenti di tengah jalan. Kudeta pernah dilakukan oleh militer maupun sipil.
DI Bandara Halim Perdanakusuma, sesaat sebelum terbang menuju Jerman dan Hungaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan berdasarkan laporan intelijen akan ada gerakan kudeta. Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) yang didirikan ratusan tokoh di Cisarua, Bogor pada Januari 2013, akan turun ke jalan secara besar-besaran pada 24-25 Maret menuntut SBY turun karena dianggap gagal.
SBY menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Sepulang dari lawatan, SBY mengadakan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, tujuh purnawirawan jenderal, 20 pemimpin redaksi media massa, dan petinggi 13 organisasi masyarakat Islam. Kepada mereka, SBY membagi cerita kudeta.
Bukan kali ini SBY mengungkapkan adanya rencana kudeta. Pada 2009, dia menggelar jumpa pers untuk memaparkan sejumlah potret hasil kerja intel yang menunjukkan bahwa dia menjadi target teroris. Pada 2010, organisasi Petisi 28 menggulirkan isu kudeta saat umur jabatan presiden SBY genap setahun. Salah satu tokoh yang mendengungkan revolusi perebutan kekuasaan adalah Rizal Ramli, mantan menteri koordinator perekonomian era Abdurrahman Wahid. Tahun berikutnya, sejumlah purnawirawan jenderal berencana mengkudeta melalui gerakan Dewan Revolusi Islam. Semua gerakan itu tak terjadi.
Kudeta, menurut Edward Luttwak dalam Kudeta Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan, selain oleh militer bisa pula melibatkan orang sipil. Kudeta membutuhkan bantuan intervensi massa atau kekuatan bersenjata yang besar.
Luttwak menjelaskan bahwa keadaan yang cocok bagi terjadinya kudeta antara lain krisis ekonomi berkepanjangan diikuti pengangguran besar-besaran, perang yang lama atau kekalahan besar dalam bidang militer/diplomatik, dan instabilitas kronis di bawah sistem multipartai.
Teori dan praktik kudeta ala Luttwak tersebut pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Dari Sukarno Sampai Gus Dur
Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, kekuasaan Presiden Sukarno perlahan melemah. G30S adalah gerakan kolaborasi antara militer: Letkol Untung dan Kolonel Latief (Divisi Diponegoro), Supardjo (Divisi Siliwangi), dan Mayor Udara Sujono; dengan PKI (Sjam Kamaruzaman, Pono dan DN Aidit di latar belakang), untuk menghadapkan jenderal terkemuka Angkatan Darat yang dianggap akan mengkudeta Sukarno. Lima jenderal disebut Dewan Jenderal, yaitu AH Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Sukendro, dan S. Parman. Sedangkan MT Haryono, Sutojo, dan DI Pandjaitan dianggap tidak loyal kepada Sukarno dan anti-PKI. Namun, dalam aksinya menewaskan enam jenderal.
Jenderal Soeharto, yang berteman dekat dengan Untung terlebih bertemu Latief pada malam nahas itu, menjadi orang yang paling siap dan mengambil keuntungan dari peristiwa G30S. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Soeharto adalah seorang yang tenang mencermati keadaan dan kemudian mengambil tindakan yang paling menguntungkan baginya. Dia segera mengumumkan bahwa PKI berada di balik pembunuhan para jenderal, dan dijadikan dalih untuk memberangus PKI sampai ke akarnya.
Soeharto kemudian mengambil-alih kekuasaan dengan Surat Perintah 11 Maret 1966. Padahal, bagi Sukarno Supersemar bukan transfer kekuasaan, tetapi perintah mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan jalannya pemerintahan. Selain menggunakan kekuatan Angkatan Darat, Soeharto juga menggunakan kekuatan massa sipil. Krisis ekonomi yang parah pada saat itu menjadi kondisi yang menggerakkan massa, terutama mahasiswa, untuk mendesak Sukarno.
Pidato pertanggungjawaban Sukarno mengenai peristiwa G30S yang diberi judul Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara pada Sidang Umum ditolak MPRS. Sidang Istimewa MPRS kemudian mengeluarkan TAP No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Sukarno.
“Dengan melihat proses pengambil-alihan kekuasaan sejak 1 Oktober 1965, 11 Maret 1966 sampai Soeharto menjadi presiden penuh tahun 1968, ada pengamat yang menilai bahwa telah terjadi kudeta secara bertahap atau kudeta merangkak (creeping coup),” tulis Asvi dalam Menguak Misteri Sejarah.
Menyadari kekuasaan yang diraihnya berkat dukungan militer, Soeharto menjalankan kekuasaannya selama tiga dekade lebih dengan tangan besi. Dia membungkam kebebasan karena dapat mengancam kekuasaannya. Naik dengan “kudeta merangkak”, Soeharto lengser keprabon juga dijatuhkan. Krisis ekonomi 1997-1998 menjadi puncak gunung es ketidakpuasan terhadap pemerintah yang mendorong demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto mundur.
Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakilnya, BJ Habibie. Menurut Sintong Pandjaitan, penasihat presiden Habibie bidang pertahanan dan keamanan, pada 22 Mei, Jenderal Wiranto, melaporkan kepada Presiden Habibie bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jawa menuju Jakarta tanpa sepengetahuan dirinya sebagai Panglima ABRI. Selain itu, juga terdapat konsentrasi pasukan Prabowo di Patra Jasa Kuningan, di sekitar kediaman Habibie.
Habibie memutuskan bahwa hal itu tidak bisa ditoleransi. Dia meminta Wiranto agar jabatan Panglima Kostrad diserahterimakan sebelum matahari tenggelam. Mengetahui dicopot, Prabowo bersenjata lengkap dengan pengawal selusin orang datang ke Istana untuk menghadap Habibie. Sintong teringat berita tewasnya Presiden Korea Selatan Park Chung-hee (menjabat 1963-1979) karena ditembak dari jarak dekat oleh Jenderal Kim Jae-gyu dalam satu pertemuan di Istana Kepresidenan.
Sintong memerintahkan seorang pengawal presiden untuk meminta Prabowo menyerahkan senjatanya. “Kau ambil senjata Prabowo dengan cara sopan dan hormat,” kata Sintong dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto. Prabowo menyerahkan pistol, magasen peluru, sebilah pisau rimba, dan peralatan lain.
“Saya letnan jenderal purnawirawan, mantan Panglima Kostrad yang hampir kudeta. Tapi, kudeta enggak jadi, nyesel juga saya sekarang,” kata Prabowo sambil tertawa, saat memberikan public lecture di Four Seasons Hotel Jakarta, 18 Desember 2012.
Prabowo tidak jadi melakukan kudeta lantaran, “Saya takut sama buku kecil yang berisi UUD 1945, yang di dalamnya ada satu ayat yang menyebutkan presiden pegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang,” kata Prabowo. Habibie hanya menjadi presiden selama setahun lima bulan karena pertanggungjawabannya ditolak MPR. Pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih sebagai presiden dalam pemilihan di MPR.
Juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi, mengakui banyak mendengar rencana kudeta dari tentara karena Gus Dur berusaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari politik dan bisnis. Gus Dur memecat Jenderal Wiranto dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Gus Dur juga memecat Jusuf Kalla sebagai Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan dan Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara BUMN. Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada akhir tahun 2000, banyak elite politik yang kecewa dengan Gus Dur. Pada akhir November 2000, 151 anggota DPR menandatangani petisi meminta pemakzulan Gus Dur. Gus Dur membalas oposisi dengan mencopot Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail. Pada 30 April 2001, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR.
Menurut Adhie, pada Juni 2001 ketua-ketua partai politik mengadakan pertemuan di rumah Megawati di Kebagusan dengan agenda merancang kepemimpinan nasional. “Padahal tujuannya untuk melengserkan Gus Dur,” kata Adhie.
Sidang Istimewa MPR dimajukan menjadi 23 Juli 2001 dan memutuskan memakzulkan Gus Dur. “Gus Dur melawan dengan mengeluarkan dekrit,” kata Adhie. Dekrit tersebut yakni pembubaran MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu, dan membekukan Partai Golkar. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan.
Pengganti Gus Dur, Megawati Sukarnoputri menjabat presiden hingga selesai masa jabatannya. Presiden terpilih 2004 SBY juga menuntaskan jabatan presiden sampai selesai. Namun, pada jabatan presiden periode kedua (2009-2014), SBY berulangkali risau akan gerakan kudeta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar