Alasan Sarwo Edhie Memimpin Operasi Pembunuhan Massal PKI
Sarwo Edhie Wibowo marah karena teman dan pelindungnya, Jenderal TNI Ahmad Yani menjadi korban Gerakan 30 September 1965.
PASCA peristiwa Gerakan 30 September 1965, terjadi pembantaian massal terhadap anggota, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh PKI. Bahkan, orang-orang yang tidak terkait dengan PKI pun, seperti kaum nasionalis atau Sukarnois, juga menjadi korbannya. Jumlah korban yang diumumkan oleh tim penyelidik Fact Finding Commision, sebanyak 78.000 orang.
Namun, Rum Aly, redaktur mingguan Mahasiswa Indonesia, menyebutkan perkiraan moderat korban sekitar 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satu sampai dua juta.”Tetapi Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pascaperistiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun di Bali, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966.
Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), menunjuk orang yang tepat untuk memimpin penumpasan PKI: Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Karena salah satu korban Gerakan 30 September 1965 adalah Jenderal Ahmad Yani, teman dan pelindungnya di Angkatan Darat.
“Sarwo dengan tegap menyatakan siap. Ini merupakan awal kerja sama Soeharto-Sarwo, yang kemudian menjadi duet yang sangat klop selama aksi pemberantasan PKI,” kata Probosutedjo, adik Soeharto, dalam memoarnya Saya dan Mas Harto karya Alberthiene Endah.
Baca juga: Sarwo Edhie Wibowo Kecewa Kepada Soeharto
Dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, Jusuf Wanandi, aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang anti-PKI, mengungkapkan bahwa Yani dan Sarwo Edhie sama-sama berasal dari Purworejo. Yani menunjuk Sarwo Edhie untuk memimpin pasukan elite Angkatan Darat sekembalinya dari pelatihan di Australia. Di tubuh RPKAD ada yang keberatan atas pengangkatan Sarwo Edhie karena sebenarnya ada perwira yang lebih senior dan berpengalaman yang lebih layak mendapatkan jabatan tersebut, seperti Letkol Widjojo Soejono.
“Benny Moerdani yang merasa bahwa dia dekat dengan Yani, segera menemuinya dan mempersoalkan pengangkatan Sarwo Edhie. Yani murka dan meminta Benny keluar dari RPKAD dan melapor kepada Jenderal Soeharto. Begitulah akhirnya Benny Moerdani bergabung dengan Kostrad,” kata Jusuf Wanandi.
Baca juga: Kritik Sarwo Edhie Wibowo kepada Soeharto
Menurut Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan, Yani pernah bertanya kepada Benny soal pengganti Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimuljo. Benny memilih Letkol Widjojo Soejono, Kepala Staf RPKAD, daripada Letkol Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat.
“Benny tidak sempat menyadari, antara Yani dengan Sarwo Edhie, sudah terjalin hubungan akrab selama bertahun-tahun. Mereka berdua merupakan sahabat erat, teman satu daerah asal, dan malahan teman satu kompi sejak masih dalam kesatuan Pembela Tanah Air (Peta) di zaman pendudukan Jepang,” tulis Julius Pour. Selain itu, yang membuat Benny dikeluarkan dari RPKAD dan dipindahkan ke Kostrad, karena dia menentang kebijakan pimpinan RPKAD yang akan memberhentikan anak buahnya, Agus Hernoto karena cacad akibat operasi Trikora.
Menurut Jusuf, Sarwo Edhie adalah protege (orang yang disenangi atau dilindungi) Jenderal Ahmad Yani. Dia sangat marah ketika Jenderal Yani tewas dibunuh. “Karena itu, misinya pada bulan Oktober 1965 itu adalah sebuah amukan dendam.”
“Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat sama sekali angka jumlah korban tiga juta yang telah disebutkannya,” tulis Rum Aly.
Karier Sarwo Edhie berakhir sebagai Kepala BP7, lembaga indoktrinasi bikinan Orde Baru setelah sebelumnya “didubeskan” ke Korea Selatan. Sarwo yang sempat jadi orang penting pada masa awal kekuasaan Soeharto, namun perlahan disingkirkan. “Sarwo Edhie dan Soeharto memang tidak pernah dekat dan dia tidak pernah percaya kepada Sarwo Edhie,” kata Jusuf Wanandi.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar