Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua
Eks komandan RPKAD itu memulai kiprah militernya lagi di bumi Cendrawasih. Selain operasi tempur dia pun terlibat aktif dalam penggalangan teritorial dan misi intelijen.
BRIGJEN TNI Sarwo Edhie Wibowo sempat ketar-ketir mendengar kabar dirinya akan ditugaskan ke Moskow sebagai duta besar untuk Uni Soviet. Karier militernya seakan sudah tamat.
Namun, rasa suram di benak mantan komandan RPKAD (kini Kopassus) ini mendadak sirna. Presiden Soeharto menugaskannya ke Irian Barat sebagai Panglima Kodam XVII/Cenderawasih. Semangat militer terbetik lagi dalam diri Sarwo. (Baca juga: Sarwo Edhie Wibowo Kecewa Kepada Soeharto)
“Papi terlihat sangat bersemangat, berbanding terbalik dengan saat ia mendengar akan dikirim ke Moskow,” kenang putri ketiga Sarwo, Kristiani Herawati, dalam biografinya Kepak Sayap Putri Prajurit (ditulis Alberthiene Endah). Menurut perempuan yang lebih dikenal sebagai Ani Yudhoyono tersebut, tugas di Irian sebetulnya lebih berat daripada di Moskow. Resikonya pun lebih besar.
Saat itu, di Irian Barat sedang dalam masa peralihan pemerintahan. Kondisi keamanan kurang kondusif. Pasalnya, menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) gencar melakukan perlawanan. Keselamatan Sarwo bisa saja terancam.
“Ini tantangan untuk mendukung NKRI,” kata Sarwo bersemangat sebagaimana ditirukan Ani.
Operasi Wibawa
Bulan Juni 1968, Sarwo Edhie resmi menjabat Panglima Cenderawasih. Penunjukan Sarwo dipersiapkan untuk memperkuat jangkauan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) terhadap wilayah Irian Barat. Hal ini juga mengantisipasi kedatangan utusan khusus PBB, Fernando Ortiz Sanz di bulan Agustus yang akan meninjau penyelenggaraan Pepera.
Di Irian Barat, Sarwo mengadakan peningkatan pasukan ABRI ke sasaran langsung basis pemberontak. Serangkaian operasi militer digelar meliputi operasi tempur, teritorial, dan intelijen. Operasi tempur bertujuan menghancurkan kekuatan fisik musuh. Operasi teritorial dipakai untuk menyerukan pemberontak supaya turun gunung dan tunduk pada pemerintah. Sementara operasi intelijen diarahkan untuk membongkar sekaligus menetralisasi organ-organ pendukung gerakan separatis. Sebanyak 6000 personel dari berbagai kesatuan di luar Irian Barat dikerahkan.
Hasilnya, pada akhir November sebanyak 1869 pembangkang menyerah (257 di antaranya adalah petempur dengan 99 pucuk senjata). Keamanan di Irian Barat semakin mantap setelah Lodewick Mandatjan bersedia turun gunung dan menyerahkan diri. Lodewick adalah Kepala Suku Arfak yang berpengaruh. Dia kecewa dengan pemerintah Indonesia dan menjadi salah satu pentolan pemberontak.
“Gerakan Lodewick ini ternyata memang membawa inspirasi bagi sejumlah penduduk Irian Barat di berbagai tempat untuk menyatakan dukungannya kepada Organisasi Papua Merdeka,” tulis Peter Kasenda dalam “Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer” termuat di majalah Prisma edisi khusus 20 tahun (1971—1991).
Tinggal satu gerombolan lagi di bawah Ferry Awom yang masih meresahkan. Mereka belum menyerah dan masih bergerilya di hutan pedalaman Papua. Sementara waktu pelaksanaan Pepera kian dekat.
Pada Februari 1969, Sarwo Edhie menggelar operasi militer bersandi “Wibawa”. Tugas pokok operasi ini bertujuan mengamankan Pepera, menghancurkan pemberontak OPM di bawah Ferry Awom, serta menumbuhkan dan memelihara kewibawaan pemerintah. “Kalau Pepera gagal, kegagalan itu terletak di pundak saya. Sebaliknya, kalau nanti Pepera berhasil, akan banyak pihak yang mengaku bahwa keberhasilan itu hasil jerih payah mereka,” kata Sarwo kepada Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Pesan Soeharto
Karena telah menjadi kewajiban internasional, Indonesia tak bisa mangkir mewujudkan Pepera. Rakyat Papua dihadapkan pada pilihan bebas untuk bergabung dengan Indonesia atau merdeka. Namun Jakarta hanya mengenal satu pilihan: Irian Barat harus menjadi bagian integral Republik.
Presiden Soeharto merumuskan tujuan Pepera sedangkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud merancang strategi pemenangan. Kepada Amir Machmud, Soeharto berpesan agar Pepera jangan sampai gagal. “Artinya, harus diusahakan jangan sampai wilayah Irian Barat terlepas lagi dari kekuasaan Republik Indonesia,” kata Amir Machmud dalam otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang.
Di lapangan, Sarwo Edhie didapuk sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah bersama Ali Murtopo spesialis operasi khusus. Sebagai Panglima Kodam, Sarwo adalah penguasa tertinggi di Irian Barat dalam menjalankan pemerintahan. Dia bertanggung jawab penuh atas gagal atau suksesnya Pepera. “Sarwo Edhie segera tampil secara publik sebagai pelaksana yang supel dari garis yang sudah ditunjukan Soeharto,” kata sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
“Kegiatan Pemilihan Bebas itu akan datang, tetapi orang-orang Papua jangan mengisi benaknya dengan hal-hal gila,” demikian pesan Sarwo Edhie yang kerap disampaikannya berulang-ulang kepada masyarakat Papua dikutip Drooglever.
Darah Tertumpah
Menurut Amir Machmud, peranan Sarwo Edhie begitu besar dalam pelaksanaan Pepera. Sarwo, kata Amir, mengerahkan jajaran Kodam Cenderawasih, sehingga memperlancar persiapan. Drooglever mencatat, dalam bulan-bulan pertama 1969, tentara Indonesia yang dikerahkan sebesar 10.000 personel. Jumlah itu ditingkatkan di pertengahan bulan Juli saat penyelenggaraan Pepera menjadi 16.000 pasukan.
Selama berjalan kurang lebih sebulan, referendum berakhir dengan kemenangan bagi Indonesia. Kendati demikian, sukses Sarwo Edhie menggalang Pepera bukan tanpa noda. Pepera cacat secara hukum karena tak menerapkan prinsip satu orang satu suara melainkan perwakilan. Sebanyak 1026 orang Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili 800.000 rakyat Papua.
Selain itu, Pepera juga sarat terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Ada amis dan bau darah di dalamnya. Sejumlah kesaksian dan penelitian sejarah menguak laku intimidatif tentara terhadap rakyat Papua yang menolak integrasi. Korban yang tak sedikit jumlahnya berjatuhan.
Jurnalis The Wall Street Journal, Peter Kann pada 12 Agustus 1969 memberitakan seruan bernada ancaman dari pihak Indonesia. Dalam berita itu disebutkan, Sarwo Edhie bercerita kepada siapa saja bahwa apabila orang-orang Papua akan memilih berpisah dari Indonesia, mereka akan menghadapi 115 juta orang Indonesia.
Di Enarotali ibukota Kabupaten Paniai, Amiruddin al Rahab dalam Heboh Papua mencatat sekira 634 orang penduduk terbunuh. Operasi yang dipimpin Mayor Mochtar Jahja dan Mayor Sitompul –atas perintas Sarwo Edhie– ini tidak mudah dilupakan rakyat Paniai. ABRI bertindak secara kasar dan membabi buta. Sementara di Wamena perlawanan rakyat terjadi di Piramid, Wamena. Sebanyak dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk.
“Selama persiapan dan pelaksanaan Pepera terjadi banyak intimidasi. Tentara sering memukul rakyat dan ada rakyat yang ditembak sampai mati di pedalaman,” ungkap Joel Boray dalam “Koteka Lebih Baik dari Celana” termuat di kumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey. Joel bekerja sebagai staf kantor Bupati Biak semasa Pepera.
Menurut Joel, rakyat Papua yang mati di tangan tentara paling banyak terjadi di Paniai, Tembagapura, dan Wamena. Itulah yang menyebabkan kebanyakan rakyat Papua marah dan sakit hati sampai hari ini. “Satu-satunya resep untuk mengobatinya bukanlah otonomi, bukan federasi. Rakyat tidak suka itu. Mereka mau bebas, merdeka,” kata Joel.
Baca juga:
Papua di Tangan Soeharto
Kemenangan yang Ternoda di Papua
Setengah Abad Papua Bersama Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar