Sersan Murtala Tak Kebal Peluru
Pejuang sok jagoan dalam revolusi 1945-1949 ini gugur ketika mendarat di Sulawesi Selatan.
Letnan Kolonel Kahar Muzakkar akhirnya mendapat pasukan tambahan setelah meninggalkan laskar Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Pasukannya itu sekelompok bekas narapidana Nusakambangan, Jawa Tengah.
“Beberapa di antaranya mungkin adalah tahanan politik (sekalipun nasionalisme lebih merupakan kejahatan bagi Belanda daripada bagi Jepang yang lebih baru menguasai penjara), tetapi beberapa lagi adalah bandit dan penjahat biasa –pencopet, pencuri, pembunuh,” catat Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII.
Selain Kahar sendiri, pelatihan para bandit itu ditangani anak buah Kahar asal Sulawesi yang ikut berjuang di Jawa. Maulwi Saelan salah satunya.
“Saya diminta Kahar ikut melatih para bekas tahanan itu di Jawa Timur. Mereka kan semangatnya sudah hebat, tinggal kita latih tekniknya,” ujar mendiang Maulwi kepada Historia.
Bekas narapidana itu lalu dikumpulkan di dalam sebuah pasukan bernama Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI). Pasukan ini kemudian menjadi bagian dari Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).
Dari Jawa Tengah, BKI dibawa ke Jawa Timur. Mereka ditempatkan di daerah Tutul, Jember. Di Jember, Kahar mengangkat Kapten Nurdin Marlin sebagai komandan sementara BKI. Sehari-hari Nurdin dibantu Letnan Muda Syamsuddin DL.
Suatu kali, pasukan BKI ditinggal Kahar mudik ke rumah istrinya di Solo. Saat itulah Letnan Syamsudin terlibat cekcok dengan Sersan Murtala, anggota BKI, di asrama mereka.
“Murtala, kalau engkau memang jagoan dan kebal, mari kita bertempur untuk membuktikan kejagoanmu?” tantang Syamsuddin.
“Mana mau saya berkelahi dengan anak kecil. Engkau tak pantas menjadi lawan saya,” jawab Murtala sebagaimana dikutip Andi Mattalatta dalam memoarnya, Menata Siri dan Harga Diri.
Keributan di Tutul itu, sambung Mattalata, disusul dengan pengepungan para laskar perjuangan di Jember terhadap BKI di asrama Tutul. Berita itu sampai ke telinga Kahar yang akhirnya terpaksa ke Jember. Sebelum ke Jember, dia bertemu dengan Panglima Divisi VII Jawa Timur Jenderal Mayor Imam Sudja’i lantaran masalah Sersan Murtala sangat gawat.
“Setiap malam Sersan Murtala keluar masuk kampung di sekitar Jember, menangkapi gadis-gadis Cina dan memperkosanya. Hal ini tidak dapat diterima oleh orangtua gadis tersebut dan melapor kepada komandan-komandan kelaskaran dan mereka bersatu dan sepakat menyerang asrama Tutul, tanpa melaporkan kepada komandan satuan tentara di Jember dan komandan polisi militer,” kata Imam Sudja’i kepada Kahar.
Setelah menerima laporan itu Kahar langsung ke Jember. Sekitar 10 Mei 1946, komandan tentara di Jember Kolonel Sukoco bicara dengan beberapa komandan pasukan lain dan juga Kahar. Diputuskan, Sersan Murtala harus ditangkap dan diserahkan kepada komandan polisi militer Jember lalu kemudian laskar-laskar kembali ke posisi semula.
Mau tak mau Sersan Murtala menurut dengan Kahar sebagai atasannya. Ia lalu dibawa ke Malang oleh Kahar. Di sana, Kahar dan Murtala bicara lagi. Kahar berusaha memberikan solusinya terkait masalah Murtala.
“Daripada kita semua pusing memikirkan hukumannya yang akan dijatuhkan kepada Sersan Murtala, lebih baik kita kehilangan saja persoalan dengan jalan mengirim Sersan Murtala dengan ekspedisi Sulawesi Selatan. Daripada lama-lama Sersan Murtala membuat onar di Jawa Timur ini, lebih baik memenuhi rencana semula untuk mengekspedisikan seluruh BKI ke Sulawesi,” Kahar mengusulkan.
Panglima divisi setuju pada ide tersebut. Kahar lalu mengusahakan sebuah phinisi dari Cirebon. Phinisi tersebut lalu berangkat ke Pasuruan. Satu seksi BKI di bawah Letnan Satu Muhamad Said disiapkan. Murtala menjadi bagian dari seksi tersebut. Said membawa istri dalam pelayaran itu, Murtala setali tiga uang.
Phinisi kemudian berlayar dari Pasuruan pada 24 Mei 1946. Namun di tengah pelayaran, Murtala bikin masalah lagi. Dia mendatangi Letnan Said selaku komandannya dengan pongah. Meski kalah pangkat, Murtala tak punya rasa segan terhadap Said.
“Sekarang berikan tanda pangkat saudara kepada saya, sebab Pak Kahar mengatakan: dalam perjalanan ini Pak Murtala yang berhak memimpin rombongan?” kata Murtala ke Letnan Said.
Said mengalah saja. Pangkat Murtala pun diserahkan ke Said. Maka jadilah dia Letnan Murtala.
Phinisi yang mereka tumpangi merapat di Suppa pada 5 Juni 1946. Mereka melanjutkan perjalanan darat ke pedalaman. Ketika tiba di Kampung Lappa Lappae, rakyat di sana memberi tahu bahwa aparat NICA telah mengetahui kedatangan mereka dan aparat itu sedang mendatangi mereka. Mendapat informasi begitu, pasukan dari Jawa Timur itu bersiap menghadapi aparat Belanda dengan penghadangan.
“’Apa NICA tahu siapa yang datang?’ Saya ini Murtala. Memang saya datang untuk mengusir penjajah Belanda meninggalkan Indonesia. Kalau tidak mau, saya hancurkan!” kata Murtala.
Tak lama kemudian, aparat bersenjata Belanda datang. Pertempuran pun terjadi selama satu jam. Dalam satu jam, satu seksi—yang sebelumnya dipimpin Letnan Said lalu diambilalih paksa oleh Murtala– itu pun habis tak bersisa. Kekebalan Murtala terhadap peluru pun ternyata mitos belaka karena dia sendiri juga tewas oleh peluru musuh. Dalam rombongan tersebut yang selamat hanya istri Said dan istri Murtala.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar