Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional
Tujuh dekade Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Momen historis yang diupayakan menjadi Hari Penegakan Kedaulatan RI
KENDATI Serangan Umum 1 Maret 1949 berperan penting dalam membuktikan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional via Radio AURI PC2, peristiwa itu hingga kini masih diperingati sebatas oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Tak seperti Pertempuran Surabaya yang dijadikan Hari Pahlawan, Serangan Umum hanya dirayakan secara lokal. Salah satunya, oleh Komunitas Djokjakarta 1945.
Bersama dengan ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) dari seluruh Jawa, Medan, dan Palangkaraya, Komunitas Djokjakarta 1945 menghelat aksi teatrikal Serangan Umum 1949 di Jalan Malioboro-Kompleks Benteng Museum Vredeburg, Jumat 1 Maret 2019. Aksi teatrikal itu menjadi puncak acara peringatan 70 tahun Serangan Umum yang diadakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY.
Dengan mengadakan peringatan itu, Pemprov DIY amat berharap Serangan Umum 1 Maret dijadikan hari besar nasional. Tujuannya, agar generasi milenial di seantero negeri insyaf bahwa operasi militer TNI bersama elite sipil dan rakyat Yogya patut dibanggakan bersama, tidak hanya oleh orang Yogyakarta.
Baca juga: Agar Perlawanan Yogya Didengar Dunia
“Ini juga salah satu keinginan Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono X, agar peristisa ini tidak hanya berhenti sebagai peringatan rutin yang hanya dimiliki beberapa orang dan kota tertentu. Sementara sebetulnya Serangan Umum 1 Maret punya makna yang sangat besar bagi kita sebagai bangsa Indonesia,” terang sejarawan UGM Profesor Sri Margana dalam sarasehan dan diskusi “Peringatan 70 Tahun Serangan Umum 1 Maret 1949” di Hotel D’Senopati, Jumat malam, 1 Maret 2019.
Serangan Umum (SU) digagas Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mematahkan propaganda Belanda. Setelah melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan menahan pimpinan republik, Belanda mengklaim Indonesia sudah musnah.
Gagasan Hamengkubuwono IX itu lalu diterima Panglima Sudirman dan ditindaklanjuti dengan memerintahkan Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan kilat selama enam jam itu. Alhasil, pada pagi 1 Maret Belanda dikejutkan serangan yang datang dari berbagai sudut mata angin Yogyakarta. SU memberi bukti kepada para delegasi Komisi Tiga Negara, yang sedang berada di dalam kota, RI dan TNI-nya masih eksis.
“Hasil dari operasi itu menjadi bahan para elite sipil untuk berjuang secara diplomatik, yang kemudian membuat Belanda mau berunding. Dari situ pula negara-negara lain di dunia satu per satu makin banyak yang mengakui kedaulatan Indonesia. Berlanjut kemudian pada hasil Konferensi Meja Bundar yang membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949,” tambah Margana.
Hari Penegakan Kedaulatan RI?
Ide membuat SU menjadi hari besar nasional pertamakali diutarakan Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada Presiden Joko Widodo. “Pada 31 Oktober 2018, Sultan sebagai Gubernur DIY sudah bertemu dan minta menjadikan Serangan Umum menjadi hari besar nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho.
Presiden memberi lampu hijau. Prosesnya kini sudah “setengah jalan”. Pihaknya, kata Aris, sudah mengajukan naskah akademik ke Sekretariat Negara. “Pada 21 Februari kita juga sudah berkirim surat ke Kementerian Pertahanan dan sekarang kita menunggu keputusan pemerintah pusat,” lanjutnya.
Naskah akademik itu dibuat oleh tim peneliti dan pengkaji yang dipimpin Sri Margana, tak lama setelah Sultan Hamengkubuwono X menghadap Presiden Jokowi. Tim merangkum semua buku, memoar, serta tuturan pelaku peristiwa.
“Selain itu, akhir tahun lalu kita juga membuat seminar di Dinas Kebudayaan DIY untuk mendapatkan usulan, masukan, dan kritikan lebih lanjut dari para tokoh. Setelah naskahnya rampung, kita juga diminta mempresentasikannya ke Setneg terkait alasan-alasan serta tujuan pengusulan ini. Kalau disetujui, nanti akan diadakan lagi seminar berskala nasional yang hasilnya akan diajukan secara resmi untuk ditetapkan oleh presiden,” sambung Margana.
Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda
Untuk penamaan harinya, Margana mengakui belum final dan siapapun diperkenankan memberi usulan. Namun, dia menyimpulkan ada satu yang paling logis: Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia.
“Tanggal 17 Agustus 1945 kan negara sudah proklamasi, tapi tidak lama kemudian Belanda agresi untuk menguasai lagi. Jadi para tentara dan rakyat berjuang untuk menegakkan kedaulatan. Dan pada 17 Agustus itu kan belum semua negara mengakui keberadaan Indonesia, tapi setelah peristiwa itu banyak negara yang sudah mau mengakui kedaulatan negara kita,” kata Margana.
Pertimbangan lain kenapa “Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia” yang dipilih sementara, karena tim ingin menggarisbawahi bahwa kedaulatan Indonesia yang ditegakkan lewat Serangan Umum itu tidak akan berhasil tanpa kemauan bersatu dari elite sipil, TNI, dan rakyat. Kedaulatan yang ditegakkan jadi merupakan milik bersama.
Namun, kemunculan usulan yang berbarengan dengan masa kampanye justru menimbulkan pertanyaan, kenapa baru sekarang? “Karena dulu fokus soal peristiwa ini masih berkutat pada siapa penggagasnya. Ada banyak klaim. Utamanya Soeharto. Apalagi waktu masih era Orde Baru soal ini masih cukup panas secara politik karena Pak Harto masih hidup, masih memimpin. Tapi setelah Pak Harto lengser, baru muncul banyak saksi-saksi sejarah lain,” jelas Margana.
“Semua memiliki kontribusi pada bidangnya masing-masing. Karena dalam peristiwa Serangan Umum, ada begitu banyak peran yang harus dimainkan dengan baik. Kita harus menempatkan peran setiap tokoh pada zaman dan peristiwa itu sendiri. Kenapa baru sekarang peristiwa ini diusulkan? Ya tidak dimungkiri bahwa secara politis sekarang suasananya lebih kondusif sejak reformasi.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar