Perang Tanding di Iwo Jima (2)
Seorang jenderal Jepang melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Para perwira Amerika Serikat terkesan akan keberanian dan kecerdikannya.
LETNAN JENDERAL Tadamichi Kuribayashi memiliki sikap dan strategi yang sangat berbeda dengan Letnan Jenderal Yoshitsugu Saito, koleganya dari Divisi ke-43 Tentara Kekaisaran Jepang yang memimpin perang di Saipan. Jika Saito membolehkan sake (minuman keras khas Jepang) beredar di bunker-nya, maka Kuribayashi melarang sama sekali anak buahnya meminum setetes pun sake selama berhadapan dengan tentara AS di Iwo Jima.
Sebelum membangun pertahanan di Iwo Jima, Kuribayashi memerintahkan agar penduduk sipil menyingkir ke daratan Jepang. Dia meyakini bahwa sebuah pangkalan militer harus terbebas dari penduduk sipil karena mereka dianggap hanya akan menghambat suatu operasi militer yang besar. Sang jenderal juga menabukan kehadiran perempuan penghibur di basis pertahanannya.
“Dia berpendapat perempuan penghibur hanya akan menghancurkan moral para prajuritnya,” ungkap R.S. Boender dalam Terhempas Prahara ke Pasifik.
Baca juga: Perang Tanding di Iwo Jima (1)
Kuribayashi sangat mafhum jika para prajuritnya tidak hanya harus membangun benteng pertahanan yang tangguh, namun mereka pun harus memiliki mental sekuat baja. Terlebih mereka akan melakukan perlawanan dari bawah tanah dalam jangka waktu yang tak terhingga. Perasaan bosan dan putus asa tentu saja harus dienyahkan.
Mengapa sang jenderal lebih memilih pasukannya untuk membangun benteng-benteng beton di bawah tanah? Lewat suatu riset yang panjang, Kuribayashi meyakini pulau yang ditutupi pasir hitam Gunung Suribachi dan dipenuhi karang itu akan kuat menahan bom-bom AS.
Dan keyakinannya itu memang menemukan kebenaran di lapangan. Sebelum mendaratkan pasukannya ke pantai Iwo Jima, pesawat-pesawat B-29 AS telah membombardir pulau tersebut selama 72 hari berturut-turut. Tidak cukup itu, kapal-kapal perang Angkatan Laut AS tiga hari sebelum D-day juga ikut menghajar Iwo Jima dengan ribuan ton peluru . Namun ajaibnya benteng pertahanan yang dibangun oleh para prajurit Divisi ke-109 tetaplah utuh.
Upaya identifikasi pertahanan Jepang yang dilakukan oleh Angkatan Udara AS dari atas juga seolah tak menemui hasil. Karena kemahirannya dalam ilmu penyamaran, sarang-sarang senapan mesin dan meriam tersamarkan oleh sekumpulan tanaman bunga yang beraneka ragam.
“Foto yang diambil oleh pesawat pengintai tak ada gunanya…” ungkap P.K. Ojong dalam Perang Pasifik.
Baca juga: Midway, Adu Kekuatan Dua Armada
Jumat, 16 Februari 1945 mulailah Armada ke-5 AS bergerak ke Iwo Jima. Tiga hari kemudian mereka mendaratkan pasukannya di pantai berpasir hitam tersebut. Menurut informasi resmi Museum Nasional Perang Dunia II, lebih dari 70.000 prajurit USMC (Korps Marinir Amerika Serikat) pimpinan Letnan Jenderal Holland M. Smith diturunkan guna menghadapi 23.000 anak buah Letnan Jenderal Kuribayashi.
Pendaratan mereka pada awalnya berjalan mulus. Namun begitu jarum jam menunjukan angka 9, senapan mesin dan meriam-meriam Jepang mulai menyalak seolah dengan suara-suara itu mereka ingin menghantarkan neraka kepada para marinir tersebut.
Para penyerbu yang bertiarap lalu bergerak dengan tubuhnya memang selamat dari hajaran senapan mesin. Namun begitu mortir raksasa Jepang yang memiliki diameter 320 mm menyalak, maka para perangkak pun tak bisa berbuat apa-apa selain harus menerima hantaman peluru mortir dan pecahannya. Dalam hantaman pertama ratusan prajurit marinir langsung berjatuhan. Sebagian besar dari mereka langsung tewas di tempat.
Panik yang menggila meliputi pasukan marinir kala itu. Dalam situasi tersebut, keunggulan teknik militer AS sama sekali tak berguna. Mereka hanya bisa menembakan senjatanya secara membabibuta karena musuh yang mereka harus hadapi tidak terlihat seorang pun.
Berbeda dengan kolega-koleganya di palagan Pasifik lainnya, Kuribayashi sama sekali “mengharamkan” pasukannya untuk melakukan serangan banzai. Mereka diperintahkan untuk tinggal di dalam benteng pertahanan sembari menghabisi musuh sebanyak-banyaknya.
Baca juga: Teror Banzai di Saipan
Praktis pasukan marinir harus merebut tanah Iwo Jima secara permeter, benteng perbenteng sambil merangkak dengan perut. Itu pun terjadi dengan korban yang sangat banyak. Akibat tembakan meriam kaliber 320 mm, sebagian besar korbannya tewas dengan kondisi luka yang mengerikan.
“Belum pernah saya melihat tubuh-tubuh yang begitu rusak di Pasifik seperti di Iwo Jima,” ungkap jurnalis perang Robert Sherrod dalam laporannya di majalah Time, 5 Maret 1945.
Awal Maret 1945, perlawanan pasukan Jepang mulai mereda. Pertempuran kemudian hanya dilanjutkan dengan operasi-operasi pembersihan semata. Selama hampir sebulan, Pertempuran Iwo Jima telah mengorbankan hampir 27 ribu prajuritnya dengan rincian: 6.821 orang tewas dan 20.000 lainnya terluka parah, cacat dan menjadi gila.
Sementara itu di pihak Jepang, dari 23.000 prajurit hanya sekira 200 orang yang bisa ditangkap hidup-hidup dan menjadi tawanan. Menurut Boender, sebagian besar dari tawanan itu bukanlah orang Jepang melainkan orang Korea dan Taiwan.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Kuribayashi sendiri “dicurigai” telah tewas di ujung utara dari Iwo Jima. Secara fisik, jasadnya tak pernah teridentifikasi oleh pasukan AS. Hal itu terjadi karena seluruh mayat tentara Jepang yang ditemukan di bunker-bunker tersebut sama sekali tak beridentitas dan tanda pangkatnya secara sengaja dimusnahkan.
Dalam memoirnya, Coral and Brass, Jenderal Holland Smith mengenang Kuribayashi sebagai musuh yang sangat cerdik, kuat dan pantang menyerah. Dalam nada kagum, dia menyatakan bahwa jika pihak Jepang memiliki berbagai bintang jasa maka sudah sepatutnya Kuribayashi mendapatkan semua bintang-bintang itu.
Bahkan kepada jurnalis perang Robert Sherrod, seorang perwira AS pernah mengatakan tak berharap Jepang akan melahirkan kembali manusia seperti Kuribayashi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar