Kekecewaan Didi kepada Nasution
Pengangkatan Nasution sebagai Kepala Staf TNI pada awal revolusi dianggap bermasalah secara etika militer.
JAUH sebelum adanya rencana Pemerintah DKI Jakarta menggantikan nama Jalan Warung Buncit Raya dengan Jalan Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution, nama sang jenderal legendaris itu sudah ditabalkan sebagai nama jalan yang membentang antara Cicaheum-Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
“Itu sudah pasti, walau dia orang Mandailing tapi sejak awal pembentukan Divisi Siliwangi namanya sudah berkibar di Jawa Barat,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Divisi Siliwangi dan A.H. Nasution memang dua nama yang tak bisa dipisahkan. Ketika Komandemen Jawa Barat dibubarkan, namanya langsung tercantum sebagai panglima di Divisi I Siliwangi (nama pengganti Komandemen Jawa Barat). Padahal di Jawa Barat saat itu masih banyak senior-senior Nasution semasa di KNIL. Sebuat saja di antaranya adalah Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan Kolonel Hidajat Martaatmadja, dua perwira Sunda alumni KMA Breda.
Baca juga: Ketika Yani Akan Menangkap Nasution
Didi menyebut Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lebih munyukai para juniornya. Itu disebabkan para senior eks KNIL seperti dirinya dan Hidayat dianggap “kurang revolusioner”. Dia juga tak menafikan bahwa di antara eks KNIL sendiri terdapat friksi antara kelompok tua (sebagian besar alumni KMA Breda) dengan kelompok muda (lulusan KMA Bandung dan CORO, sekolah perwira cadangan KNIL).
“Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah pusat,” ujar Didi seperti disampaikan kepada Tatang Soemarsono dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan.
Merasa Dilompati
Usai menjadi Panglima Divisi Siliwangi, karier Nasution kian meroket. Ketika pemerintahan Amir Sjarifuddin jatuh lantas digantikan oleh Mohammad Hatta, Nasution didapuk sebagai Kepala Staf TNI, menggantikan Suryadi Suryadarma. Menurut Didi, langkah para tokoh sipil itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya kecewa. Secara gamblang, dia menyebut pencopotan Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo dari jabatan Kepala Staf TNI sebagai upaya membunuh karier militer seniornya tersebut.
“Tindakan itu betul-betul melukai hati saya,” ungkapnya.
Didi bisa menerima jika pengganti Oerip adalah Suryadarma, teman seangkatannya di KNIL. Namun, jika pemerintah mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf TNI, itu menyalahi prosedur ketentaraan. Kata Didi, seorang opsir yang “dilompati” juniornya otomatis dia harus mengundurkan diri, karena dianggap sebagai opsir yang tidak becus melaksanakan tugas.
Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet
“Itulah yang menyebabkan saya mundur dari TNI,” ujar mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut.
Presiden Sukarno sendiri tak pernah mengizinkan Didi untuk keluar dari TNI. Usai melayangkan surat pengunduran dirinya yang kesekian kali, Sukarno pernah mengutus Kolonel T.B. Simatupang untuk mengurungkan niatnya dengan alasan dia akan dijadikan salah satu delegasi khusus ke Amerika Serikat. Alih-alih merasa tersanjung dengan ajakan itu, Didi malah sudah terlanjur mutung.
“Ketika dulu saya membentuk tentara, saya lakukan demi pengabdian. Karena itu kalau pun hari ini saya akan mundur, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,” jawabnya kepada Simatupang.
Dikeluarkan dari KNIL
Usai mundur dari TNI, Didi ditangkap oleh tentara Belanda di wilayah sekitar Purwokerto. Setelah beberapa bulan ditahan, dia dilepaskan atas jaminan langsung dari mantan instrukturnya di KMA Breda, Jenderal S.H. Spoor. Didi lantas hidup sebagai seorang sipil di Bandung dan sempat mengabdi sebagai pegawai biasa di lingkungan Kementerian Kesehatan Negara Pasundan.
“Itu saya lakukan untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Didi.
Pemerintah Republik Indonesia berang dengan keputusan Didi. Secara terbuka, Nasution sendiri pernah menyebut Didi sebagai “tukang menyebrang” dan orang-orang yang pro federalisme. “Penyebrangan-penyebrangan terakhir seperti dilakukan Didi Kartasasmita cs. tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap pemerintahan RI,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9.
Baca juga: Nasution dan Buku Terakhirnya
Didi menampik bahwa dia telah melakukan pengkhianatan. Jika mau, selepas dari tahanan Belanda dia bisa saja bergabung kembali dengan KNIL atau menerima tawaran menjadi Komandan Batalion Pertahanan Negara Pasundan. Tapi itu tak pernah dia lakukan karena masih ada mencintai Republik Indonesia.
Usai menolak masuk kembali KNIL, Didi diberi surat pemecatan dari KNIL terhitung tanggal 17 Agustus 1945. Namun, surat itu baru diberikan pada awal 1949. Bisa jadi jika Didi menerima tawaran itu, surat pemecatan tak akan pernah sampai kepadanya.
Anehnya, Nasution sendiri tak termasuk dalam daftar anggota KNIL yang dipecat karena keberpihakannya kepada Republik Indonesia. Menurut Manai Sophian dalam Apa yang Masih Teringat, hanya Didi, Oerip, Suryadarma dan beberapa eks perwira tinggi Republik lainnya yang dinyatakan dikeluarkan secara tidak hormat dari KNIL.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar