Teknologi Penyaringan Air di Kesultanan Banten
Keadaan alam dan kebiasaan buruk membuat masyarakat Banten krisis air bersih. Dibuatlah teknologi penyaringan sederhana.
PADA 1596, pelaut Belanda, Willem Lodewijckz mencatat, air sungai di Banten sangat kotor dan keruh menimbulkan bau busuk yang menusuk hidung. Pada 1787, pelaut Belanda, Van Breugel, juga menyebut air sungai Banten rasanya tawar, kotor dan berbau busuk.
Kondisi air seperti itu karena Banten Lama adalah wilayah pantai di dataran rendah. Sungainya mengalir lamban dan penuh lumpur. Penduduknya juga sering membuang sampah ke sungai. Meski begitu, air sungai tetap dimanfaatkan termasuk untuk minum sehingga banyak penduduk sakit.
Masyarakat di luar keraton memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Mereka menggali sumur untuk air tawar dengan ongkos sangat murah. Sumur banyak ditemukan di daerah Pabean, Pamarican, Surosowan, Masjid Agung, Pacinan, Dermayon, Kepandean, Kaloran, dan Jambangan. Dari tipologinya, ada keragaman bentuk sumur, ukuran dan bahan pelapis dindingnya.
Sonny C. Wibisono, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melihat kalau semua sumur telah menggunakan pelapis dinding. Penyekat berfungsi mencegah masuknya secara langsung resapan air baik dari atas maupun samping. “Gejala ini diduga untuk mengatasi peresapan air laut ke dalam sumur yang dapat terjadi pada lingkungan pantai seperti Banten,” kata Sonny ketika ditemui di kantornya.
Di Keraton Surosowan, dinding sumur berbentuk silindris dan terbuat dari bata dan karang. Batu karang yang dibentuk balok berfungsi sebagai penyaring dan penawar air laut. Batu diletakkan melintang di dalam sumur. Sumber air yang masih asin atau payau secara sendirinya tersaring. Penduduk tinggal menimba air tawar di permukaannya.
“Kami mencoba, memang tawar. Orang-orang di sana adaptif sekali dengan lingkungannya,” ujar Sonny.
Di Masjid Agung, Dermayon, Pacinan, dan Pamarican, sumur-sumur silindrisnya menggunakan bahan pelapis bata. Di Kepandean, Kaloran, sumur-sumurnya memakai bahan terakota. Sementara di wilayah Jambangan, sumurnya berbentuk kerucut dan pelapisnya berbahan terakota dan karang.
Selain sumur, Kesultanan Surosowan memiliki Tasik Ardi seluas 6,5 ha yang mengambil air dari Sungai Cibanten. Danau buatan ini dibangun untuk rekreasi keluarga sultan pada masa Maulana Yusuf (1570-1580). Baru pada 1701, danau buatan itu dikembangkan untuk memasok air bersih ke keraton yang jaraknya 1,5 km dengan beda ketinggian tiga meter.
Teknisnya, air keruh dijernihkan dengan teknologi penyaringan yang disebut pengindelan. Menurut Sonny penyaringan air itu harus melalui tiga pangindelan, yaitu pengindelan abang, putih, dan emas.
Ketiga pengindelan dibuat oleh Lucas Cardeel. Bangunannya dari bata berbentuk persegi panjang, atap lengkung, sebuah pintu di sisi utara, dan lubang berbentuk lingkaran sisi berlawanan.
“Keberadaan pintu dan ukuran ruang dalam bangunan diperkirakan dapat menampung air sebanyak 56,7-100,24 m3,” catat Sonny.
Cara kerjanya, air diendapkan lalu disaring dengan pasir dan ijuk. Saluran ditutup selama pengendapan. Setelah tiga hari, saluran air dibuka. “Saya kira raja punya petugas khusus untuk itu,” kata Sonny.
Air bersih disalurkan dengan pipa-pipa terakota menuju bak pemandian di dalam tembok keraton hanya dengan memanfaatkan kemiringan. Air kemudian dialirkan ke dalam pipa-pipa lainnya dan keluar melalui pancuran-pancuran.
Aliran air diperderas dengan mengatur ukuran pipa sedemikian rupa. Ukuran dibuat semakin mengecil agar daya dorong menguat. Menurut Sonny, tiga pengindelan yang dipakai bukan hanya meningkatkan kualitas air. Secara teknis pengindelan juga berfungsi mengumpulkan air.
“Di sini sudah ditampung dengan permukaan lebih tinggi, lalu disalurkan dengan pipa yang lebih sempit, dibuat berkelok, lalu dipecah banyak sekali, sehingga deras,” jelas Sonny.
Menurut Sonny ulu-ulu air berperan penting sebagai perawat saluran. Selain membuka dan menutup pintu pengindelan, mereka merawat dan menjaga saluran air dari sedimentasi.
Selain untuk keperluan air bersih di dalam Keraton Surosowan, air Tasik Ardi dipakai untuk mengairi sawah di sekitarnya. “Yang lolos untuk konsumsi keraton, yang tidak lolos dialirkan untuk persawahan di timur keraton,” ujar Joesoef Boedi Arijanto, kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar