Sastra yang Dicap Anti-Islam
Membuat puisi lalu dicap anti-Islam bukan baru terjadi pada Sukmawati. Karya sastra kontroversial serupa pernah merebak pada abad 19.
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut…
Demikian Sukmawati Sukarnoputri berpuisi dalam acara 29 Tahun Anne Avantie di Indonesia Fashion Week 2018. Puisi berjudul “Ibu Indonesia” itu kini menuai kontroversi. Bait puisinya hingga akhir menyinggung syariat Islam. Dia dianggap tengah membandingkan azan dengan kidung Indonesia dan cadar dengan konde.
Aliran protes datang dari kelompok-kelompok Islam. Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menuntut putri sang Proklamator itu meminta maaf secara resmi. Ancaman melanjutkan hal ini ke pihak kepolisian pun digulirkan. Somasi atas dugaan penistaan agama juga dilayangkan.
Drama perdebatan, mana yang Indonesia, mana yang bukan ini seakan mengingatkan pada pertentangan antara kaum abangan dan kelompok putihan. Merle Calvin Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa menjelaskan, kelompok putihan merujuk pada kaum Muslim Jawa yang saleh dan berpegang teguh pada ajaran Islam. Namun, banyak orang Jawa yang tak siap menerima versi Islam yang baru. Mereka dijuluki abangan.
“Istilah terakhir ini pada awalnya dipakai sebagai semacam ejekan oleh kaum putihan yang saleh pada pertengahan abad ke-19,” catat Ricklefs.
Pertentangan antara golongan abangan dan putihan tak hanya soal bagaimana beribadah. Kelompok putihan membaca karya dalam Bahasa Arab, dan mendiskusikan beragam masalah dalam dunia Islam. Sementara kaum abangan lebih memilih untuk menonton wayang dan hiburan lain di mana kekuatan spiritual nenek moyang diperlihatkan. Kedua kelompok itu bergaul dengan kalangan yang sepaham dengan mereka. Keduanya punya dunia yang terpisah.
“Mereka berbeda dalam hal gaya beragama, kelas sosial, pendapatan, pekerjaan, cara berpakaian, pendidikan, perilaku, kehidupan budaya, serta cara membesarkan dan mendidik anak,” tulis Ricklefs.
Menurut Ricklefs di antara kaum priyayi Jawa, bahkan makin muncul sentimen anti-Islam. Bagi sebagian mereka, peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan peradaban. Kunci kepada modernitas yang sesunggunya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa. Islam bahkan dipandang sebagai penyebab meredupnya wujud paling gemilang dari kebudayaan Jawa, yaitu Kerajaan Majapahit.
Pemikiran yang mencerminkan kejawaan semacam itu banyak muncul dalam karya satra pada abad ke-19. Tidak sedikit di antaranya yang mengkritik gagasan Islam yang berkiblat ke Arab. Misalnya, Serat Wedhatama (kebijakan yang lebih agung) karya Mangkunegara IV (1853-81). Di dalam sajaknya yang terkenal, pangeran dan pujangga modern itu menasihati putra-putranya.
Di antaranya, dia menyebut: “Jika kalian bersikeras untuk meniru teladan Sang Nabi, Duhai, putra-putraku, kalian melakukan hal yang mustahil. Artinya kalian takkan bertahan lama. Oleh karena kalian ini Orang Jawa. Sedikit saja sudahlah cukup…”
“Isinya berbagai gagasan yang sama sekali tak bisa diterima oleh kaum Muslim ortodoks,” ujar Ricklefs.
Lebih lanjut, Mangkunegara IV juga mengkritik kaum muda yang bangga akan pengetahuan teologis mereka. Menurutnya aneh kalau mereka mengingkari kejawaan mereka dan dengan segala upaya mengayunkan langkah mereka ke Mekkah untuk mencari pengetahuan.
Bisa dibilang, Serat Wedhatama adalah cara Keraton merespons perbedaan pandangan agama yang sedang berkembang di masyarakat. Nilai karya ini menjadi bukti sikretisme dalam pandangan orang Jawa.
“Syariat, tarekat, hakikat, diakui menjadi satu tujuan yang mulia tetapi juga harus mengedepankan budi luhur,” ujar Prapto Yuwono, dosen Prodi Jawa FIB-UI ketika dihubungi Histoia.
Sementara itu, Sudibyo, dosen Sastra Nusantara FIB UGM, mengatakan meski ada kritik terhadap orang Jawa yang kearab-araban, serat ini banyak mengadopsi konsep tasawuf dalam syairnya. Konsep hakikat dan makrifat disebut berulang kali. Bahkan praktik kontemplasi yang diajarkan mengingatkan orang pada ajaran tasawuf.
Namun, tentu saja, keraton sebagai pemelihara, pelestari, dan cagar Budaya Jawa sangat bertanggung jawab terhadap keberadaan budaya Jawa. “Ada upaya terus-menerus untuk mempertemukan tradisi Jawa dengan Islam tanpa harus menghilangkan jati diri sebagai orang Jawa,” jelas Sudibyo.
Gagasan serupa juga diramu oleh para penulis Kediri pada 1870-an. Tiga yang muncul oleh Ricklefs dianggap sebagai karya yang mengolok-olok dan merendahkan Islam, yaitu Babad Kedhiri, Serat Darmogandhul, dan Suluk Gatholoco.
G.W.J. Drewes berkomentar, Serat Darmogandhul menyerukan penolakan terhadap Islam sebagai agama asing bagi Jawa. Tema ini juga muncul di kedua buku lainnya.
Babad Kedhiri dipublikasikan di Jawa dalam Bahasa Belanda pada 1902. Di dalamnya terpotret bagaimana Islamisasi adalah tragedi bagi orang Jawa.
Sementara Suluk Gatholoco, beredar dalam bentuk naskah pada 1883. Kali pertama suluk ini diterbitkan secara terbatas sebagai buku di Surabaya pada 1889.
Bagi Carel Poensen, misionaris Belanda yang menghabiskan hampir 30 tahun di Kediri, Jawa Timur, karya ini kurang berharga dari sudut pandang sastra. Menurut Ricklefs, Suluk Gatholoco isinya benar-benar kasar, cabul, dan gila-gilaan. Karya ini dianggap menghina Islam dari berbagai segi. Bahkan di dalamnya menafsirkan ulang kalimat syahadat sebagai metafora.
Suluk Gatholoco, bagi Sudibyo, merupakan respons sekelompok kecil orang yang mulai khawatir terhadap bangkitnya Islam pada masa itu. Organisasi Islam yang tumbuh subur kala itu diduga bakal menjadi ancaman bagi sekelompok orang. Dalam hal ini kelompok priayi abangan, yang pada masa sebelumnya mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan aktivitasnya.
Tak mudah menentukan dari kalangan mana penulisnya berasal. Pasalnya karya ini anonim. Kata Sudibyo, bisa saja diasumsikan penulis berasal dari kelompok abangan, atau kelompok tertentu yang secara ideologis tak menyukai Islam. Namun, tidak menutup kemungkinan, penulis mencoba bereksperimen dengan ide kontroversial untuk mengejutkan masyarakat.
“Dia sama sekali bukan representasi siapapun. Kemungkinan lain dia adalah agen kolonial yang mencoba menciptakan opini bahwa dalam masyarakat ada dikotomi antara kelompok santri dan bukan santri,” kata Sudibyo.
Suluk Gatholoco, Babad Kedhiri, dan Serat Darmogandhul tak cukup berhasil memancing penulis lain menciptakan karya sejenis. Karya ini merupakan fenomena khusus. Pun dari kalangan publik, tak ada reaksi heboh terhadap karya-karya itu. Bahkan yang bermusuhan sekalipun.
Kata Sudibyo, masyarakat hanya tahu soal keberadaan karya itu. Namun, mereka tak tahu persis apa isinya. Pasalnya, khusus Suluk Gatholoco, beredar secara terbatas dan tertulis dalam aksara Jawa. Lagipula karena isinya, yang memiliki kemampuan mengakses pun menjadi risih untuk menyimpan karya itu. Itulah yang membuatnya tak beredar secara luas di kalangan masyarakat.
“Proteksi dari masyarakat terhadap kemungkinan dampak buku itulah yang menyebabkan seolah-olah buku itu dilarang. Tidak pernah ada reaksi dari kalangan keraton terhadap buku tersebut,” lanjut Sudibyo.
Menurut Prapto, pihak keraton baik Yogyakarta maupun Surakarta, sebetulnya tak bisa dan tak pernah memperlihatkan sikapnya dalam merespons karya semacam ini. “Karena justru memiliki kesinambungan tradisi sinkretisme yang mencampuradukan 'kebenaran nilai banyak agama' menjadi penghayatan kebatinan,” katanya.
Respons tajam baru muncul pada Januari 1918. Ketika itu suratkabar berbahasa Jawa, Djawi Hiswara, organ Sarekat Islam cabang Surakarta, menerbitkan sebuah artikel yang memfitnah Nabi Muhammad sebagai pemabok dan pemadat, berdasarkan isi Suluk Gatholoco.
Sejumlah aktivis Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto meresponsnya dengan membentuk Tentara Kangjeng Nabi Muhammad. Muncul pula kecaman dari pers pribumi, unjuk rasa di Surabaya dan 42 lokasi di seluruh Jawa, serta desakan agar pemerintah kolonial menuntut editor Martodharsono dan penulis artikel Djojodikoro. Tapi kontroversi itu kemudian mereda, digantikan isu lainnya. Suluk Gatholoco pun beredar di bawah tanah. Tak ada penerbit yang mau ambil risiko menerbitkannya. Mereka takut dicap murtad atau penyebar pronografi.
Kini, sebagian orang melihat, khususnya Suluk Gatholoco, bukan karya yang anti-Islam, bukan pula chauvinisme bahasa dan budaya Jawa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar