Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok
Ratu Sima memimpin kerajaan tertua di Jawa Tengah. Namanya tercatat dalam sumber-sumber Tiongkok.
Pada zaman dulu, hiduplah seorang ratu yang memerintah negerinya dengan tegas. Dia diingat dengan nama Ratu Sima. Saking tegasnya, barang yang tergeletak di jalan tak kan ada yang berani mengambilnya.
Penasaran dengan ketegasan sang ratu, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang. Tas itu diletakkan di perbatasan negara sang ratu. Meski melihat tas itu, orang-orang hanya melewatinya. Tak ada yang berani menyentuhnya. Tas itu tetap di sana hingga tiga tahun lamanya.
Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima pun marah besar sampai ingin membunuh putranya itu. Namun, dia keburu dicegah para menterinya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu.
Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima memotong ibu jari kaki sang pangeran. Dengan sikapnya, dia ingin memberi contoh kepada rakyatnya. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu.
Penguasa Kerajaan Ho-ling
Begitulah kisah tentang Ratu Sima dalam Catatan Dinasti Tang. Dia merupakan penguasa Kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa bagian tengah. Menurut catatan itu, sang ratu naik takhta pada 674 M. Dengan demikian, Ho-ling menjadi kerajaan pertama di Jawa bagian tengah. Sayangnya, tak begitu banyak sumber sejarah yang menyebutkan soal keberadaannya.
Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Kaladesa Awal Sejarah Nusantara menerangkan, selama periode awal masa sejarah hingga 700 M, sumber-sumber sejarah Indonesia utamanya berasal dari Tiongkok. Mereka biasanya adalah duta dari raja-raja kepulauan di selatan yang mempersembahkan upeti kepada para kaisar.
Soal Ho-ling, berita Tiongkok menyebutkan di Jawa pada sekira abad yang sama dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara terdapat kerajaan lain. Penyebutan Ho-ling seringkali disamakan dengan She-po (Cho-po) atau Jawa.
W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menjelaskan, ada dua versi catatan Dinasti Tang yang menyebut soal Ho-ling. Pertama adalah Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) yang dianggap kurang benar. Sedangkan Sejarah Baru Dinasti Tang berisi informasi yang lebih lengkap terutama soal Jawa. "Nama Jawa sudah mulai menggantikan nama Ka-ling,” tulis Groeneveldt.
Baca juga: Nusantara dalam Kitab Tiongkok
Mirip dengan penjelasan di Sejarah Lama Dinasti Tang, Ho-ling disebutkan terletak di sebuah pulau di samudra selatan. Posisinya di sebelah timur Sumatra dan di sebelah barat Bali. Jika ke utara menuju Kamboja dan jika ke selatan menuju lautan.
Penduduknya membuat pertahanan dengan kayu. Bahkan bangunan terbesar juga ditutupi oleh daun palem. Mereka punya balai-balai dari gading. Pun tikar yang terbuat dari kulit terluar bambu. Di bangunan ini raja bertakhta.
Kalau makan, penduduknya tak menggunakan sendok atau sumpit. Mereka memasukkan makanan ke mulut dengan jari-jari mereka. Disebutkan juga masyarakat Ho-ling sudah mengenal aksara. Mereka pun telah mengetahui sedikit ilmu astronomi.
Negara itu disebut sangat kaya. Terdapat sebuah gua yang airnya mengandung garam dan keluar dengan sendirinya. Raja tinggal di kota Java (Ja-pa). Dia dibantu oleh 32 menteri tinggi.
Di sekeliling negara ini terdapat 28 negara kecil yang mengakui kekuasaan Java. Pendahulu sang raja, Ji-yan, tinggal di sebuah kota di sebelah timur yang bernama Bu-lu-ga-si. Sang raja seringkali memandangi lautan dari pegunungan di Distrik Lang-bi-ya. Catatan itu juga mengabarkan utusan dari Ho-ling rutin datang ke Tiongkok yang tercatat hingga abad ke-9 M.
Berita lain tentang Ho-ling menuturkan adanya aktivitas agama Buddha di She-po. Ini, kata Agus, mungkin juga terjadi dalam periode pemerintahan Ratu Sima.
Menurut Catatan Tripittaka, kitab suci Buddha berbahasa Tionghoa yang disusun sekira 720 M, ada seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman. Sang Biksu datang dari Kashmir ke Kerajaan Jawa pada permulaan abad ke-5 M atas undangan ibu suri. Gunawarman tinggal di Jawa selama kurang dari 25 tahun (396-424 M).
Disebutkan pula, pada pertengahan abad ke-7 M, seorang pendeta Buddha bernama Hui-ning belajar di Ho-ling selama tiga tahun, sejak 664 sampai 667 M. Dia berguru kepada seorang biksu Jawa bernama Jnanabhadra.
I-Tsing, seorang biksu dari Tiongokok yang pernah bermukim di Sumatra (Sriwijaya) pada pertengahan abad ke-7 M, juga pernah menyebutkan keberadaan kerajaan itu. Dia mencatat adanya kerajaan Ho-ling sebagai negeri yang memiliki pusat pendidikan agama Buddha Hinayana.
Baca juga: Tempat pendidikan Buddha di Nusantara
Setelah berita adanya utusan pada abad ke-9 M, kerajaan ini tak lagi diketahui beritanya. “Mungkin keluarga Kerajaan Ho-ling kemudian bersatu dengan Wangsa Sailendra. Atau malah mungkin saja Sailendrawangsa itu sebenarnya penerus Kerajaan Kalingan,” tulis Agus.
Bagaimanapun, seperti kata Groeneveldt, berkat Ho-ling dan Ratu Sima, Jawa memiliki reputasi sebagai negara yang kuat dan terorganisasi. Pun dia memiliki kebudayaan yang memadai.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar