Perempuan Penguasa Masa Mataram Kuno
Pada masa Mataram Kuno, perempuan mendapatkan kesempatan memegang kekuasaan di kerajaan dan daerah kekuasaan.
SEBELUM masa Kerajaan Majapahit, yang tercatat pernah memerintah sebagai raja perempuan adalah Isanatunggawijaya. Dia adalah putri Mpu Sindok, yang memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dia menduduki takhta menggantikan ayahnya yang berakhir pada 947 M.
Isanatunggawijaya memerintah berdampingan dengan suaminya, Sri Lokapala. Tak banyak yang diketahui dari masa pemerintahannya. Tak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Menurut Prasasti Pucangan (1037 M), yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka, Sri Makuthawangsawardhana.
“Setelah Sri Isanatunggawijaya, tidak ada ratu lagi sampai pada masa Majapahit,” tulis arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa, Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV.
Sri Isanatunggawijaya tak disebut sebagai putri mahkota. Prasasti Pucangan menyebutnya sudah menjadi penguasa menggantikan Mpu Sindok. Gelar putri mahkota muncul beberapa kali dalam prasasti. Ia berada langsung di bawah raja. Biasanya bergelar Rakryan Mahamantri atau Mapatih i Hino.
Menurut Titi, perempuan pertama yang diperkirakan menjadi putri mahkota adalah Uttejana. Namanya disebut dalam Prasasti Kanjuruhan (682 saka atau 760 M). Dia merupakan putri dari Gajayana, putra Dewasimha yang memerintah Kerajaan Kanjuruhan di sekitar Malang.
Ada pula Pramodhawardhani, putri Raja Samaratungga. Dia kemudian menikah dengan Rakai Pikatan, yang menjadi penguasa Kerajaan Mataram Kuno berikutnya. Prasasti Kayumwungan (824 M) menyebutnya meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Jinalaya itu adalah Candi Plaosan.
Sementara Prasasti Tri Tepusan (842 M) menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara. Sejarawan De Casparis menafsirkan Sri Kahulunan sebagai permaisuri, yaitu Pramodhawardhani. Pada saat itu, Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.
Pendapat lain dikemukakan epigraf Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Sebutan ini juga muncul dalam kisah Mahabharata. Yudhistira memanggil ibunya, Kunti dengan sebutan itu. Karenanya, menurut Boechari, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodhawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.
Pemerintah Daerah
Tokoh-tokoh perempuan juga memegang jabatan di dalam institusi pemerintahan, baik di pusat, watak, dan wanua. Arkeolog Universitas Indonesia Ninie Susanti dalam Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, pada masa pemerintahan Mpu Sindok, di tingkat pusat terdapat empat perempuan yang memegang jabatan: Sri Parameswari, Rakryan Binihaji, Samgat Anakbi, dan Ibu ni Paduka Sri Maharaja.
Sri Parameswari adalah istri raja atau permaisuri. Dia disebutkan bersama raja menetapkan sima tanah di Demak pada 857 saka (935 M). Beberapa tahun sebelumnya, sebagaimana disebut dalam Prasasti Cunggrang II (851 saka atau 929 M), raja memerintahkan pemeliharaan untuk Sang Hyang Prasada Silunglung, bangunan suci tempat bersemayamnya ayah dari permaisuri Mpu Sindok, yaitu Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kebi atau Rakryan Sri Prameswari Sri Wardhani Dyah Kbi.
Rakryan Binihaji adalah selir yang kedudukannya sejajar dengan permaisuri, putra mahkota dan putra raja lainnya. Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil disebut memerintahkan pembangunan bendungan di tiga desa: Kahulunan, Wwatan Wulas dan Wwatan Tamya, kepada para rama (dewan pemerintahan desa) di Wulig, Pangikettan, Padi-padi, Pikattan, Panghawaran, dan Busuran. Perintah itu disertai larangan jangan ada yang berani mengusiknya agar rakyat dapat mengambil ikan siang dan malam. Hal ini tertulis dalam Prasasti Wulig (856 saka).
Ibu ni Paduka Sri Maharaja adalah ibunda raja yang disebut dalam Prasasti Jayapattra atau Prasasti Waharu II (851 saka). Prasasti ini berisi penegasan hukum atas Desa Waharu sebagai desa perdikan yang telah dimiliki penduduknya sejak lama.
Adapun Rakryan Anakbi dan Samgat Anakbi diperkirakan pejabat perempuan karena kata anakbi bisa berarti istri atau perempuan. Rakryan Anakbi dijumpai di antara deretan para rakai dan Samgat Sarangan dalam Prasasti Sarangan (851 saka atau 929 M). Namanya tidak jelas karena bagian prasasti yang menyebutnya telah aus. Samgat Anakbi Dyah Pendel disebut dalam Prasasti Hring (851 saka).
“Dari gelar samgat yang dicantumkan pada namanya, dia tentu seorang pejabat keagamaan atau kehakiman,” tulis Ninie Susanti.
Samgat dan rakai merupakan jabatan bagi penguasa daerah. Jabatan ini biasa digunakan pada masa Mataram Kuno sampai Kadiri. Mereka membawahi daerah lungguhnya atau yang pada masa lalu disebut watak atau wisaya.
Dalam beberapa prasasti, seperti Prasasti Abhayananda (748 saka atau 826 M), Prasasti Panangaran (791 saka atau 869 M), dan Prasasti Kinawe (849 saka atau 928 M), perempuan bergelar Rakai juga memiliki kegiatan seperti meresmikan daerah sebagai sima.
Keberadaan tokoh perempuan di tingkat wanua (kini, desa), sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum pemerintahan Mpu Sindok. Sejak pemerintahan Rakai Kayuwangi, raja ketujuh Mataram Kuno (802 saka), beberapa pekerjaan penting telah dipegang oleh perempuan. Misalnya, Marhyang sebagai pengurus bangunan suci, huler sebagai petugas irigasi, tuha banua sebagai petugas administrasi desa. Bahkan, ahli perbintangan atau wariga juga pernah dipegang oleh perempuan (wariga wadwan). Ini disebut dalam Prasasti Paradah (865 saka atau 943 M).
“Demikian pula di setiap perayaan upacara sima, selalu disediakan tempat khusus untuk para ibu yang hadir,” tulis Ninie.
Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menyimpulkan perempuan tetap dipandang terhormat dalam masyarakat Jawa. Namun, peluang memiliki kedudukan penting lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Kemungkinan penyebabnya adalah karena laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang perempuan dan dianggap lebih cocok menduduki takhta raja. Kemungkinan ini sesuai prinsip hak waris di Jawa, di mana laki-laki tertua memiliki hak lebih besar ketimbang perempuan. Pranata kerajaan India yang mengatur warisan takhta juga menempatkan laki-laki sbagai pewaris utama.
Faktor itulah yang mungkin dapat menerangkan mengapa dalam suksesi dijumpai putri mahkota merelakan takhtanya kepada suaminya, seperti Pramodhawardhani. Meski dia menjadi putri mahkota, tetapi suaminya yang menjadi raja. Wikramawarddhana, raja kelima Majapahit, juga suami putri mahkota Kusumawardhani. Kemungkinan sebaliknya justru tidak pernah terjadi.
“Contoh itu memperlihatkan, pranata pewarisan takhta di Jawa tergolong longgar. Kondisi ini agaknya memberi pengaruh kepada terciptanya situasi kritis setiap memasuki masa pergantian kekuasaan,” tulis Supratikno.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar