Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga
Bagaimana orang Jawa Kuno menyatakan cinta? Pada masa itu sepasang kekasih saling kirim surat cinta dengan kelopak bunga pudak.
SUATU malam sebelum Rukmini dinikahkan dengan Raja Cedi, Kresna membujuk seorang dayang untuk menyerahkan surat kepada Rukmini. Ketika surat itu sampai, sang putri masuk ke kamarnya dan membaca surat cinta yang panjang dan penuh emosi itu.
Rukmini terharu. Hatinya gelisah. Kresna memang sudah berniat melarikan Rukmini. Putri itu pun keluar lagi menuju taman. Seorang pelayan menyarankan dia menuliskan perasaannya di atas pudak supaya tersembunyi dari para putri yang akan menemaninya malam nanti di taman.
Demikianlah Mpu Triguna melukiskan kisah cinta Kresna dan Rukmini dalam Kakawin Krsnayana sekira abad 12 M. Dalam banyak karya sastra klasik, khususnya di Jawa, surat menyurat telah menjadi hal biasa bagi sepasang kekasih untuk mengungkapkan perasaannya.
Misalnya, dalam salah satu panil relief di Candi Panataran, Blitar, tergambar bagaimana cara sepasang perempuan dan laki-laki bertukar pesan. Seorang laki-laki yang mengenakan tutup kepala tekes menggenggam gulungan surat. Di depannya ada burung kakak tua.
Baca juga: Romansa cinta dalam relief candi
Di panil selanjutnya, burung itu terbang membawa gulungan surat itu. Ia menyebrangi ladang dan pepohonan. Di panil berikutnya, burung itu menyerahkan surat pada seorang panakawan yang berada di bawah seorang putri, kemungkinan majikannya. Ia mengambilkan surat itu dan menyerahkannya kepada sang putri. Di belakang putri, dua dayang menyaksikan.
Meski tak jelas terbuat dari apa surat itu, banyak kakawin sering menyebut selembar pudak sebagai media untuk menyampaikan pesan sepasang kekasih. “Karena dalam hampir setiap kakawin terdapat sebuah kisah asmara dan dalam kisah-kisah asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian kemari,” tulis Petrus Josephus Zoetmulder, pakar Jawa, dalam Kalangwan.
Menurut Zoetmulder pudak dinamakan juga ketaka atau ketaki dan cindaga. Pudak adalah bunga dari pohon yang mirip pohon nanas. Dia menyamakannya dengan pohon pandan. Pohon pandan memang sering masuk dalam deskripsi tentang alam di berbagai kakawin. Tanaman ini banyak tumbuh di sepanjang pantai atau sungai, di atas batu-batu karang yang muncul ke atas, hampir menyentuh permukaan air.
Bentuk bunga pandan (pudak) tersusun dalam beberapa lapisan. Bunganya berwarna kuning, terbungkus semacam bungkus lonjong, yang pada satu ujung meruncing. Bunganya akan terlihat jika pelepah itu mekar. Daun bunga pudak yang panjang dan putih inilah yang dipakai sebagai media tulis.
Baca juga: Tradisi mengatakan cinta dengan sirih
Pudak dipakai sebagai media tulis karena tak sulit mendapatkannya. Begitu pula dengan alat untuk menulisnya. Setiap benda tajam bisa digunakan untuk menulis. Misalnya, sebatang tusuk gading atau biasa disebut sadak. Alat ini sering menjadi hiasan rambut para perempuan. Selain sadak, duri pohon pandan juga bisa dipakai untuk menulis.
Namun, pudak tidak awet karena daun bunganya cepat layu dan latarbelakangnya yang putih atau kuning mudah menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Setiap goresan tulisan seketika menjadi hitam sehingga pemakaiannya hanya sekali.
“Khususnya surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tak lebih banyak dari beberapa bait saja atau menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan,” tulis Zoetmulder.
Baca juga: Mengabadikan cinta melalui surat cinta
Dengan begitu, pudak bukan media tulis bagi para penyair profesional melainkan bagi para amatir. “Pudak membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam, tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama dan yang kemudian hari mungkin merepotkan mereka,” lanjut Zoetmulder.
Dalam kebudayaan masa itu, pudak nampaknya lekat dengan urusan percintaan. Pudak, dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno, sering diumpamakan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit. Pudak juga menjadi sebuah ungkapan, seperti dalam kakawin Sumanasantaka abad 13 karya Mpu Monaguna, tertulis: “Bila kau menjelma menjadi bunga pudak, aku akan merupakan tulisan di atas daunnya.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar