Kala Budak Memberontak
Kekejaman dan siksaan yang diterima membuat para budak melawan majikan.
AKIBAT jatah kain pembagian VOC-nya dicuri, seorang budak terpaksa tidur di pojokan pekarangan. Nahas, seorang komandan tentara melihat budak itu dan mengira dia telah menjual jatah kain pembagian yang diberikan saban enam bulannya itu untuk mabuk-mabukan. Alhasil, si budak kemudian mendapat hukuman cambuk hingga kulitnya mengelupas. Dua hari kemudian, dia tewas.
“Kurasa, selama dua hari kehabisan kekuatan ia tak pernah merasakan derita yang lebih besar daripada yang ditimbulkan dengan siksaan ini,” tulis Jean Baptiste Tavernier dalam memoar yang dihimpun Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis.
Catatan Tavernier hanyalah satu dari sekian banyak catatan orang Eropa yang menggambarkan kekejaman tuan kulit putih terhadap budak dan pelayan mereka. Para budak sering menjalani hukuman berat dari majikan karena satu kesalahan kecil. Kebanyakan meninggal dalam kondisi kekurangan gizi, tak mendapat tempat tinggal layak, dan kekurangan pakaian. Hanya sedikit budak yang beruntung, dibebaskan karena belas kasihan pemiliknya setelah si budak memeluk Kristen atau setelah majikannya meninggal.
Perlakuan buruk majikan terhadap budak lelaki biasanya berujung pada dua hal: kabur atau mengamuk dan berontak kepada majikan. Budak-budak mengamuk karena stres akibat beban kerja berlebihan dan siksaan yang kejam. Mereka biasanya mengacau dan mencoba membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Beberapa budak sangat putus asa karena siksaan kemudian nekat memukul si majikan. Para pemilik budak, tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, menyimpan senjata yang mudah dibawa untuk melawan budak yang mengamuk.
Sementara, para budak yang kabur biasa bersembunyi di hutan-hutan. Batavia kala itu masih dikelilingi hutan lebat sehingga memudahkan mereka melarikan diri. Mereka akan berjalan sejauh mungkin sampai ke luar kota.
Banyak pelarian budak itu kemudian menjadi perampok sehingga menjadikan tempat-tempat di sekitar Batavia tak aman pada abad ke-17. Salah satu budak-perampok itu bahkan sampai menyerang pasukan Belanda di dekat Batavia pada 1684. Budak itu berasal dari Bali, bernama Surapati.
Kekejaman perlakuan terhadap budak dan pemberontakan para budak yang mengikutinya menginspirasi Dick van Hogendorp membuat sandiwara Kraspoekol pada 1800. Sandiwara itu bercerita tentang seorang majikan perempuan Eropa yang memperlakukan para budaknya dengan buruk. Para budak kemudian bersengkongkol untuk membunuh si nyonya.
Menurut sensus yang dilakukan VOC, hingga paruh terakhir abad ke-18 budak merupakan kelompok populasi terbesar. Hal itu membuat VOC khawatir kelompok ini akan berontak. Untuk mengantisipasinya, VOC membuat beberapa aturan. Antara lain, larangan mengambil orang Jawa sebagai budak karena mereka takut orang Jawa, suku terbanyak yang mendiami pulau Jawa, akan bersatu melawan orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih suka mengambil budak dari luar Jawa dalam jumlah besar. Pertimbangannya, VOC merasa lebih aman karena para budak dari tempat yang jauh dengan suku yang beragam memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu.
Mulanya, VOC mendatangkan budak-budak dari negara-negara di Asia Selatan yang memiliki jaringan dengannya. Namun ketika kekuatan melemah dan dirasa kurang efektif, VOC lebih memilih budak dari Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara pada abad ke-18.
Namun karena adanya kasus perlawanan dari para budak, VOC kemudian membatasi pengiriman budak ke Batavia. Mereka tidak menerima budak laki-laki dewasa, orang Makasar dan orang Bali dihindari karena dianggap berbahaya. Setelah 1685, tidak ada budak berumur di atas 12 tahun dari kedua suku itu yang dibawa ke Batavia.
“Dokumen-dokumen VOC mencatat tentang para budak yang mengamuk. Berbagai tindakan yang diambil VOC merupakan cerminan rasa takut orang Eropa terhadap para budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar