Seni Jalanan Masa Revolusi
Mural, grafiti, poster, hingga baliho memenuhi sudut-sudut kota. Pertarungan visual Republik dan Belanda.
Pada masa revolusi kemerdekaan, ruang-ruang publik di berbagai kota menjadi medan pertarungan visual Republik melawan Belanda. Dari mural, grafiti, poster, hingga baliho dalam bentuk yang masih sederhana. Sebagian besar dipakai sebagai propaganda membakar semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sejarawan seni rupa Mikke Susanto dalam webinar “Jakarta Art Movement: Vandalisme, Ruang Publik, dan Street Art”, Selasa, 31 Agustus 2021, mengatakan seni jalanan sesungguhnya sudah berkembang sejak 1930-an. Namun, kala itu sebagian besar karya masih jauh dari pesan-pesan revolusioner. Pasca Proklamasi, seni jalanan sontak ramai berpartisipasi dalam revolusi.
Baca juga: Grafiti Setelah Proklamasi
Mikke menyebut bahwa bentuk awal seni jalanan (street art) saat itu berupa stensil. Bentuk ini dipakai karena pembuatannya lebih mudah dan murah. Stensil yang dibuat juga masih sederhana dengan menggunakan negatif film dari kertas dan semprotan manual.
Dari stensil, seni jalanan berkembang ke grafiti dan mural yang dibuat di tembok-tembok kota. Di Yogyakarta misalnya, sebuah tugu yang dulu berada di depan Hotel Garuda Malioboro menjadi titik strategis propaganda revolusi. Selain itu, poster-poster juga ditempel pada tembok dan kaca gedung, papan-papan, hingga pohon di pinggir jalan.
“Nah, ini adalah bentuk pertarungan opini ya. Jadi bagaimana kemudian antara orang-orang Belanda dan pejuang-pejuang Indonesia itu berebut ruang,” jelas Mikke.
Selain grafiti, mural, dan poster, ada pula seni jalanan berbentuk baliho. Dalam penelusurannya, Mikke menemukan baliho yang memuat visual laiknya komik. Konsep ini dipakai untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai situasi yang tengah terjadi. Konsep ini menjadi penting karena dapat menengahi minimnya publikasi-publikasi berbentuk buku.
“Jadi kita bisa membaca dari panel ke panel yang kemudian di sana muncul narasi baru yang bisa dipersepsikan oleh para penyimak karya tersebut,” kata Mikke.
Baca juga: Antara Estetika dan Propaganda
Penempatan seni jalanan juga diperhatikan. Sama seperti konsep memasang patung di ruang publik, menurut Mikke, seni jalanan seperti baliho misalnya dibuat dengan mempertimbangkan jarak terbaik untuk dipandang atau dibaca.
“Sehingga di sini kita perlu melihat bahwa kehadiran baliho itu memberikan satu dimensi ruang yang luar biasa sebagai bagian dari bentuk perjuangan kala itu,” terang Mikke.
Menurut amatan Mikke, seni jalanan masa revolusi juga tidak sembarang bikin. Para seniman ternyata juga memperhatikan komposisi, garis, hingga bidang ruang. Seni jalanan yang terlihat seperti goresan-goresan belaka ternyata buah pemikiran yang bersifat estetik.
Selain dibuat di dinding atau papan, seni jalanan seperti grafiti juga ditorehkan pada gerbong kereta api. Ini dilakukan untuk menyebarluaskan berita Proklamasi dan semangat revolusi hingga ke kota-kota kecil yang dilalui kereta api.
“Dengan demikian kita bisa membayangkan betapa grafiti itu punya pengaruh yang sangat besar di masa revolusi,” tegas Mikke.
Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi
Mikke juga menambahkan, poster-poster kemudian dibuat dengan teknik yang lebih rumit dan dicetak. Ada pula poster Sukarno yang dilukis oleh pelukis kenamaan Basuki Abdullah. Lukisan itu digandakan dengan ukuran A4 dan disebarkan ke seluruh Jawa.
Tak hanya Basuki Abdullah, ada pula Affandi yang melukis poster revolusi “Boeng, Ajo Boeng!” Dia juga melukis poster kemerdekaan lain yang kemudian dikoleksi oleh Sukarno. Lukisan berjudul Laskar Rakjat Mengatur Siasat (1946) itu kini tersimpan di Gedung Agung, Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar