Sejak Kapan Bulan Sabit dan Bintang serta Warna Hijau Identik dengan Islam?
Penggunaan simbol bulan sabit dan bintang berkaitan dengan penaklukkan Konstantinopel oleh Turki Utsmani. Sementara warna hijau dari simbol warna dinasti dan politik kemudian menjadi warna religius bagi umat Islam.
BERAGAM benda, baik objek alam maupun buatan manusia, dan warna kerap muncul dalam representasi simbolis kelompok-kelompok agama dan politik. Contohnya, benda-benda langit seperti bulan sabit dan bintang, serta warna hijau dipandang sebagai simbol Islam yang banyak ditemukan dalam arsitektur. Lambang bulan sabit dengan bintang lima sudut umum ditemukan di puncak menara dan kubah masjid hingga bendera negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Lebih dari sekadar simbol, bulan bahkan berperan besar dalam kalender Hijriah. Sebab, sistem penanggalan Islam didasarkan pada peredaran bulan terhadap bumi. Menurut Edgar Williams dalam Moon: Nature and Culture, pengamatan terhadap bulan menjadi hal yang penting dan wajib untuk menentukan awal bulan puasa atau Ramadan. Kebiasaan mengamati aktivitas benda langit ini juga menjadi hal yang umum dilakukan oleh orang Romawi. Setelah melakukan observasi, seorang pejabat yang disebut Pontifex akan mengumumkan kapan bulan terlihat, sehingga menandakan waktu setiap bulan dimulai dan apakah nones (kemunculan bulan pada kuartal pertama sebagai bulan sabit) pada bulan tersebut akan jatuh pada hari kelima atau ketujuh.
“Sistem ini kemudian ditinggalkan oleh bangsa Romawi, tetapi masih digunakan dalam kalender Islam, dan Ramadan, bulan puasa, secara resmi dimulai ketika bulan sabit pertama terlihat dan berakhir setelah bulan baru berikutnya. Awal dan akhir Ramadan biasanya jatuh pada satu hari, tetapi waktu yang sebenarnya bervariasi di seluruh dunia karena penampakan bulan tergantung pada garis bujur atau waktu dan posisi di langit,” tulis Williams.
“Untuk membantu, komite koordinasi masjid-masjid besar dan pusat-pusat Islam di Arab Saudi secara resmi mengumumkan waktu kemunculan bulan sabit. Sebagai sebuah peristiwa lunar, Ramadan dimulai sekitar sebelas hari lebih awal setiap tahunnya, dan dengan demikian puasa berlangsung berbeda-beda di setiap tahunnya. Membutuhkan waktu 33 tahun untuk menyelesaikan satu siklus,” tambahnya.
Kendati dipandang sebagai simbol Islam, hubungan bulan dan budaya Islam tidak muncul begitu saja. Jauh sebelum benda langit ini dikenal luas sebagai ikonografi Islam, bulan sabit dan bintang telah muncul dalam budaya-budaya kuno. Farrin Chwalkowski mencatat dalam Symbols in Arts, Religion and Culture: The Soul of Nature, bulan sabit yang muncul bersama dengan bintang atau bintang-bintang adalah fitur umum dari ikonografi Sumeria, bulan sabit biasanya dikaitkan dengan dewa bulan Sin atau Nanna bagi bangsa Sumeria dan bintang Venus dengan Ishtar. Dalam teks-teks kuno Sumeria dan Akkadia, arti dari lima bintang berujung runcing adalah “wilayah-wilayah di dunia yang dihuni.”
“Bintang dan bulan sabit juga merupakan lambang Mithradates VI Eupator, raja di Anatolia utara. Lambang kerajaannya, sebuah bintang bercahaya dengan delapan sudut dan bulan sabit, merepresentasikan dewa pelindung dinasti ini, Ahuramazda dan Men Pharmacou, bentuk Persia dari dewi bulan yang dipercaya oleh penduduk lokal. Kota Byzantium, yang juga dikenal sebagai Konstantinopel dan, di zaman modern, sebagai Istanbul, didedikasikan untuk Diana, dewi perburuan, dan bulan sabit adalah simbol Diana,” tulis Chwalkowski.
Lantas, sejak kapan bulan sabit dan bintang identik dengan Islam ?
Menurut Robert Massey dan Alexandra Loske dalam Moon: Art, Science, Culture, penggunaan resmi pertama bulan sebagai simbol budaya Islam adalah pada 1453, setelah penaklukkan Konstantinopel oleh Turki, yang secara efektif mengakhiri kekaisaran Byzantium Kristen. Pemilihan bulan sabit dan bintang untuk bendera Turki “Ay Yildiz” (secara harfiah berarti “bulan bintang”) mungkin berasal dari mitos Utsmaniyah, yang pertama kali dicatat pada abad yang sama dengan kejatuhan Konstantinopel.
“Menurut legenda, pendiri Kekaisaran Ottoman pada abad ke-13, Osman, bermimpi melihat bulan purnama terbit dari dada seorang pria suci sebelum terbenam di dadanya sendiri, yang kemudian menumbuhkan sebuah pohon yang melambangkan kekaisaran baru yang akan didirikannya… Penjelasan yang lebih mungkin untuk penggunaan citra langit dalam simbolisme Islam adalah bahwa peta langit merupakan panduan penting untuk navigasi di laut dan darat, dan penunjuk waktu alami, sebuah jangkar penting bagi manusia sebelum munculnya cahaya buatan dan teknologi modern,” tulis Massey dan Loske.
Baca juga:
Di sisi lain, Williams menjelaskan, sebelum kejatuhan Konstantinopel, bulan sabit dipajang di mana-mana, melambangkan dewi bulan Diana, pelindung kota tersebut. Bulan sabit diadaptasi untuk melambangkan kemenangan besar Utsmaniyah. Namun, pada akhirnya, bulan sabit menjadi simbol Kekaisaran Ottoman dan Islam. Selanjutnya, selama berabad-abad banyak negara dan organisasi Islam yang mengadopsi bulan sabit dan bintang sebagai simbol keagamaan.
Cerita lain terkait hubungan bulan sabit dengan Islam dijelaskan Amitabh Vikram Dwivedi dalam “Crescent”, termuat di Islam: A Worldwide Encyclopedia, pada abad ke-12, simbol bulan sabit masuk ke dalam Islam melalui Turki Seljuk dan digunakan oleh penerusnya, Turki Utsmaniyah, saat mereka menaklukkan Konstantinopel di abad ke-15. Sultan Hamid II pada akhir abad ke-19 mensponsori gerakan Pan-Islamisme dan mencoba menyebarkan penggunaan bulan sabit dan bintang pada bendera hijau sebagai sesuatu yang sangat Islami. Oleh karena itu, hal ini diadopsi oleh banyak negara muslim dan digunakan pada bendera Pakistan, Turki, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya.
Hubungan bulan sabit dan bintang sebagai simbol Islam diperkuat dengan kemunculan benda-benda langit tersebut dalam Al-Qur’an. Juan Eduardo Campo, Associate Professor of Islamic Studies and the History of Religions di Universtitas California di Santa Barbara, menjelaskan dalam Encyclopedia of Islam, di dalam Al-Qur’an kata bulan disebut sebanyak 26 kali. Salah satunya adalah Surah Al-Qamar (dalam bahasa Arab berarti “bulan”) di mana pada awal surah tersebut dikisahkan bahwa Hari Kiamat akan didahului dengan terbelahnya bulan. Dalam contoh lain, bulan dibahas sebagai salah satu satu aspek ciptaan Allah, bersama dengan matahari dan bintang-bintang, yang tunduk pada penciptanya (Surah Al-Hajj ayat ke-18) dan menandakan salah satu anugerah Allah bagi umat manusia (Surah Ibrahim ayat 32-34).
“Bulan digunakan sebagai dasar kalender (QS 10:5). Benda langit ini juga muncul dalam Surah Al-An’am yang mengisahkan tentang proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, di mana mulanya ia mengira bulan sebagai Tuhannya (Rabb), tetapi kemudian menolak kepercayaan ini ketika melihat bahwa bulan terbit dan terbenam (QS 6:77). Selain itu, Al-Qur’an secara eksplisit melarang penyembahan terhadap matahari dan bulan (QS 41:37),” tulis Campo.
Selain bulan dan bintang, Al-Qur’an juga beberapa kali membahas tentang warna. Menurut simbolog Prancis, Michel Pastoureau dalam Green: The History of a Color, dari enam warna dasar, ada 33 penyebutan yang muncul: sebelas untuk warna putih, delapan untuk warna hijau, tujuh untuk warna hitam, lima untuk warna kuning, satu untuk warna merah, dan satu untuk warna biru. Metafora dan perbandingan –“warna madu”, “warna fajar”, dan seterusnya– sedikit lebih banyak. Dari sejumlah warna yang disebutkan, hijau selalu merupakan warna positif dalam Al-Qur’an, yang diasosiasikan dengan tumbuh-tumbuhan, musim semi, langit, dan surga.
“Untuk memberikan keutamaan terhadap warna hijau di atas semua warna lain, dan akhirnya menjadikannya simbol Islam, tradisi lain harus datang bersamaan dengan teks Al-Qur’an. Tradisi tersebut, yang jejaknya ditemukan sejak abad ketujuh, menegaskan bahwa Nabi Muhammad menunjukkan kesukaannya pada warna hijau untuk jangka waktu yang lama dalam hidupnya. Sang Nabi senang mengenakan serban hijau, meski ia biasanya berpakaian putih, Nabi Muhammad senang dibalut dengan kain hijau. Untuk perang, ia terkadang menggunakan ornamen hijau dan kadang-kadang hitam. Bukti-bukti yang ada jelas sangat sedikit dan terkadang kontradiktif, namun kesukaannya terhadap warna hijau ini dikonfirmasi oleh banyak sahabat Nabi dan secara bertahap berkembang menjadi sebuah kebenaran yang tidak lagi dipertanyakan,” jelas Pastoureau.
Baca juga:
Setelah kematian Nabi Muhammad pada 632, warna hijau kerap dikaitkan sebagai warna dinasti keluarga nabi atau setidaknya mereka yang mengaku sebagai keturunan langsungnya. Dengan demikian, warna ini memiliki dimensi politik; pertama-tama berlawanan dengan warna putih kekhalifahan Umayyah, sebuah dinasti yang didirikan oleh salah satu sahabat Nabi Muhammad, yang berkuasa di Damaskus dari tahun 650 hingga 749 (dan di Cordoba dari tahun 756 sampai 1031); dan kemudian secara khusus berlawanan dengan warna hitam kekhalifahan Abbasiyyah yang berkuasa di Baghdad dari tahun 750 hingga 1258. Kemudian, pada abad kesepuluh, Fatimiyah, yang mengaku sebagai keturunan Fatima, putri Nabi, memutuskan hubungan dengan Baghdad, membebaskan diri dari pengawasan Abbasiyyah, menetap di Mesir, mendirikan Kairo, dan memilih warna hijau sebagai warna dinasti mereka.
“Dengan demikian, sekitar tahun 1000, warna hijau masih bukan warna suci dalam Islam, melainkan hanya warna keluarga. Mulai abad ke-12, hal itu berubah. Secara bertahap warna hijau memiliki kualitas sakral, dan setelah kejatuhan Fatimiyah, warna ini tidak lagi mewakili warna politik yang diklaim oleh satu dinasti tertentu, tetapi lebih mewakili warna religius yang diklaim oleh seluruh Islam,” tulis Pastoureau.
Terlepas dari semua itu, sejak abad ke-12, warna hijau tampaknya telah definitif menjadi simbol Islam. Meskipun dalam setiap masyarakat warna memiliki aspek positif dan negatif, dalam dunia Islam, hijau secara konsisten dianggap baik. Hijau yang melambangkan warna suci juga berasal dari fakta bahwa oasis-oasis hijau di tengah padang pasir Arab yang berwarna kuning keabu-abuan menandakan kehidupan dan air. Tak hanya itu, simbolismenya juga dikaitkan dengan surga, kebahagiaan, kemakmuran, dan harapan.
Penaklukkan Turki atas Konstantinopel dan dominasi selanjutnya tidak mengubah keunggulan warna ini. Kendati warna politik dan dinasti yang relatif bervariasi ada di Kekaisaran Ottoman, di mana merah adalah warna kekuasaan pusat. Namun, hijau tetap menjadi warna religius dan oleh karena itu menjadi warna pemersatu. “Bendera-bendera kontemporer di dunia Islam tetap mempertahankan memori dan simbolisme warna tersebut: hampir semuanya menggunakan warna hijau,” jelas Pastoureau.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar