Pramoedya Ananta Toer: Pena yang Ulung dan Tajam
Pengalaman wartawan Belanda mewawancarai Pramoedya Ananta Toer setelah bebas dari Pulau Buru. Karya Pramoedya terbit di Belanda dan memicu polemik.
PADA akhir Mei 1980, saya tiba di Jakarta bersama rekan saya, Theo Wilton van Reede, untuk membuat dokumenter tentang sastra Indonesia modern untuk program radio sastra “Spektakel” dari KRO, perusahaan RTV Katolik di Belanda.
Saya harus mengakui bahwa saat itu saya hanya tahu sedikit tentang Indonesia dan hampir tidak tahu apa-apa tentang sastra Indonesia. Dengan berbekal beberapa surat perkenalan dari seorang anggota organisasi penulis internasional PEN di Belanda dan anggota Komite Indonesia di Belanda, kami memulai perjalanan ke negara tempat sebagian keluarga Indo-Eropa tetap tinggal setelah kemerdekaan. Theo lahir di Belanda dan belum pernah mengunjungi Indonesia sebelumnya.
Pada saat itu, Pramoedya baru saja kembali bersama keluarganya di Jakarta selama sekitar lima bulan, setelah 14 tahun dipenjara, sebagian besar di Pulau Buru.
Ragunan dan Ancol
Terlepas dari surat perkenalan kami, tidak mudah untuk menghubungi Pramoedya dan para penulis kritis lainnya. Kontak pertama kami dengan penulis dan jurnalis Hersri Setiawan, yang baru-baru ini dianugerahi penghargaan UNESCO untuk bukunya yang berjudul Growing up in Buru. Dia menjadi perantara kami dan menjadi penghubung kami dengan para penulis lainnya. Dengan surat perkenalan dari kami, dia mengunjungi yang lain dan memperkenalkan kami. Beberapa hari kemudian, dia kembali menghubungi dan membuat janji temu.
Pertemuan-pertemuan pertama lebih mirip seperti kami yang diwawancarai daripada sebaliknya. Beberapa penulis, seperti Pramoedya, telah menjalani hukuman penjara bertahun-tahun sebagai (tersangka) komunis. Mereka tegang, terluka secara fisik dan mental, sangat curiga dan menimbang-nimbang setiap perkataannya, sadar bahwa kontak dengan wartawan asing bisa membuat mereka mendapat masalah. Bagi sebagian dari mereka, kami adalah jurnalis pertama yang mereka ajak bicara setelah dibebaskan.
Pertemuan pertama di rumah Hersri. Dia mengundang sejumlah orang. Kami mendapat petunjuk dari Hersri tentang cara menuju ke sana. Bukan dengan mobil dan sopir dari pension (rumah penginapan) kami, tapi dengan taksi. Bukan diturunkan di rumah itu, tetapi agak jauh dan kemudian berjalan kaki di bagian terakhir. Kami kesulitan menemukan rumah tersebut di tengah labirin jalan-jalan di Tebet dengan nama-nama yang mirip dan kami datang terlambat satu jam. Hari itu kami berbincang dengan penulis, penyair Rivai Apin dan Joebaar Ajoeb, salah satu pendiri dan sekretaris jenderal Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah perkumpulan seniman sayap kiri pada 1950-an dan 1960-an, peniru realisme sosial, yang bekerja dalam praktiknya untuk rakyat kecil dan budaya rakyat, serta menentang seni elitis dari kalangan atas.
Bahkan, setelah pertemuan selesai, kami disarankan untuk tidak langsung naik taksi pulang setelah kunjungan dengan penulis eks tapol, tetapi terlebih dahulu pergi ke hotel dan santai minum sesuatu di sana, sebelum kembali ke pension, agar para intel yang mengikuti tidak mengetahui di mana kami menginap.
Untuk menghindari para penulis dan kami dalam masalah, sebagian besar wawancara lain untuk program ini tidak dilakukan di rumah penulis, tetapi di kebun binatang Rangunan pada siang hari atau di pantai Ancol pada malam hari, tempat-tempat di mana, sebagai orang bule, Anda tidak terlihat menonjol di antara orang Indonesia. Namun, dengan Pramoedya, hal ini berbeda. Kami diharapkan ke rumahnya untuk saling memperkenalkan.
Jakarta, 10 Juni 1980; 16.00
Bersama Hersri, kami mengunjungi Pramoedya. Ketika kami tiba, kami mendengar dia sedang bekerja dengan mesin tiknya. Kata-kata itu benar-benar dipalu ke atas kertas olehnya. Sebatang rokok kretek yang masih menyala di sudut mulutnya. Pramoedya terlihat rapuh secara fisik, namun sangat kuat secara mental. Pada pertemuan pertama itu, ia meminta kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tertulis. Dia bersikeras menjawabnya dalam bahasa Belanda.
Ketika kami kembali kepadanya beberapa hari kemudian, ia telah mengetik pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban dalam bahasa Belanda yang rapi di atas empat lembar kertas pos udara yang tipis. Untuk rekaman, ia membacakan jawabannya.
Pramoedya merumuskan jawabannya dengan hati-hati. Jelas sekali bahwa ia ingin tetap memegang kendali atas dirinya sendiri dan tidak terbebani oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak terduga dan canggung dalam sebuah wawancara. Jawaban-jawabannya lebih merupakan pernyataan di mana Pramoedya membebaskan dirinya dari rasa bersalah secara politis sehubungan dengan kudeta yang gagal pada 30 September 1965, berbicara tentang pemenjaraannya, dan merefleksikan kepenulisannya serta posisinya sebagai seorang individu dalam sebuah bangsa yang sedang “terus-menerus membentuk diri. Ini belum menjadi masyarakat Eropa yang relatif siap pakai,” tambahnya. Bahasa Belandanya adalah bahasa, baik dari segi pilihan kata maupun tulisan bahasa Belanda sebelum Perang Dunia II.
Jawaban-jawabannya menunjukkan bahwa Pramoedya tidak berubah sama sekali dan tetap setia pada dirinya sendiri dan cita-citanya sejak revolusi yang telah menyebabkan pemenjaraan baik oleh Belanda, Orde Lama maupun Orde Baru. Dengan penerbit baru Hasta Mitra yang ia dirikan bersama sahabatnya, Joesoef Isak dan Hasjim Rachman, sebulan sebelum kunjungan kami, persiapan sedang dilakukan untuk menerbitkan jilid pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya, Bumi Manusia.
Pramoedya
“Selama ini saya masih harus melapor ke komando militer setempat setiap minggu meskipun dalam dokumen pembebasan saya tertulis ‘sejauh ini menurut bukti-bukti di pengadilan tidak terbukti secara meyakinkan bahwa yang bersangkutan terlibat G-30-S/PKI’. Tidak hanya berdasarkan dokumen yang disebutkan di atas yang mengatakan bahwa kesalahan saya tidak atau belum dapat dibuktikan, saya tidak pernah dijatuhi hukuman secara hukum. Saya juga tidak pernah merasa bersalah. Bagaimanapun juga, merasa bersalah adalah konsekuensi dari pengakuan bersalah.”
“(...) Pengalaman saya yang terakhir ini murni bersifat nasional, bukan individual. Apa pun yang Indonesia bisa rekomendasikan kepada saya, saya akan terima dan dari sini saya akan naik lebih tinggi. Dan saya berharap, ya, bahkan berdoa, agar tidak ada orang yang harus mengalami pengalaman saya lagi dan agar pengalaman pahit seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi pada siapa pun di dunia ini. Orang tua kami berharap dan berdoa agar anak-anak mereka hidup bahagia dan sejahtera, bukannya saling membantai satu sama lain.”
“Siapapun bisa membuat kebajikan dari 14 tahun kesusahan ini. Dalam kesusahan ini, saya berkesempatan untuk belajar tentang Indonesia yang tidak formal. Reaksi dan impian masyarakat di titik terdalam lembah kehidupan, dan dengan demikian belajar untuk menghargai kemanusiaan dengan sikap dan perbuatan. Kesadaran bahwa saya mampu bertahan selama 14 tahun ini memberi saya kekuatan dan harapan untuk melakukan lebih banyak lagi. Kemanusiaan yang tercerahkan itu, kemanusiaan tidak akan meninggalkan saya dan kami pada nasib saya dan kami. Untuk itu saya dan kami bersyukur dari lubuk hati saya dan kami yang terdalam. Jika Anda bertanya kepada saya bagaimana saya melihat masa depan saya, saya dapat memberikan jawaban yang sederhana: bagaimana saya diperlakukan dan apa yang telah saya alami hanya bersifat sementara. Saya masih berdiri di atas tanah saya yang lama, tanah ‘Garda 45', menentang segala isi dan bentuk kolonialisme dan neo-kolonialisme, penindasan, di mana pun dilakukan di dunia yang semakin mengecil ini. Di mana saya berdiri sekarang, di situ pula masa depan saya.”
“(...) Apa yang seharusnya menjadi tugas penulis Indonesia? Saya selalu berpendapat bahwa sebagai bangsa yang masih dalam proses pembentukan, mereka tetap dituntut untuk memenuhi kewajiban nasional, memperkaya kebudayaan nasional, dan menyadarkan orang lain untuk menjadi pembawa kebudayaan Indonesia. Sejak awal, saya tidak menyukai sastra kosmopolitan Indonesia. Perasaan nasional subyektif Indonesia tidak boleh dipadamkan, karena justru itulah satu-satunya modal dan kekuatan kita untuk lahir sebagai sebuah bangsa, sebuah bangsa yang berharga.”
Off the record kami berbincang tentang Belanda dan teman-teman Belanda dan Pramoedya saat itu tidak terlalu berhati-hati dengan apa yang harus ia tanyakan dan ceritakan.
Hilversum 3-9-1981
Di Belanda, terjemahan bahasa Belanda dari Bumi Manusia akan diterbitkan pada Agustus 1981. Bahkan, sebelum diterbitkan, artikel-artikel muncul di koran-koran dan majalah-majalah yang memberitakan tentang buku ini. Buku pertama yang ditulis oleh seorang penulis Indonesia tentang era kolonial. Tidak hanya orang-orang yang pernah tinggal di Hindia yang penasaran dengan apa yang diceritakan orang Indonesia tentang zaman itu, tetapi juga kalangan progresif di Belanda.
Program sastra Indonesia yang kami buat disiarkan pada 13 Januari 1981, yang mencakup wawancara dengan Pramoedya. Dan pada 6 Oktober 1981, acara khusus Neem en Lees Aarde der Mensen (Mengambil dan Membaca Bumi Manusia) yang kami susun, disiarkan. Acara ini menampilkan para penulis Indonesia dan Belanda yang menanggapi buku tersebut.
KRO sangat senang dengan program-program yang kami buat, namun mereka juga prihatin dengan keadaan Pramoedya dan penerbitnya. Pada 3 September, tak lama setelah penerbitan terjemahan bahasa Belanda, KRO mengirim telegram ucapan selamat kepada penerbit Belanda, Eddy Tahsin dari penerbit Manus Amici, terjemahan bahasa Latin dari Hasta Mitra, penerbit Pramoedya di Indonesia. KRO meminta izin kepada Pramoedya dan penerbitnya untuk mengadaptasi buku tersebut ke dalam sandiwara radio. Telegram tersebut juga mengutip isi telegram kepada Presiden Soeharto, yang dikirim dengan tembusan ke Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag: “Mr. President happy today with publication Dutch translation Pramoedya Ananta Toer Aarde der Mensen. Protest Vehemently against taking his last works out of circulation. Such unpatriotic measures luckely always work the opposite effect. Will use all means of radio and television to inform public about Pramoedya and his case.”
(“Bapak Presiden, senang hari ini dengan terbitnya terjemahan bahasa Belanda Pramoedya Ananta Toer, Aarde der Mensen. Memprotes keras terhadap penarikan karya-karya terakhirnya dari peredaran. Tindakan tidak patriotik seperti itu untungnya selalu berdampak sebaliknya. Akan menggunakan segala cara melalui radio dan televisi untuk menginformasikan kepada publik tentang Pramoedya dan kasusnya.”)
Dan itulah yang terjadi. Bisa jadi Pramoedya dan buku-bukunya tidak akan mendapat perhatian di seluruh dunia jika tidak dilarang dan kebebasannya tidak dibatasi. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa keputusan pemerintah Indonesia untuk melarang buku-buku tersebut justru menimbulkan dampak yang berlawanan dengan apa yang dimaksudkan.
Polemik
Setelah Bumi Manusia terbit di Belanda, buku dan Pramoedya mendapat banyak perhatian positif di media. Namun, polemik juga muncul di antara para penulis yang memiliki latar belakang di Hindia dan Indonesia. Rudy Kousbroek adalah salah satunya dan tampaknya lebih ingin berurusan dengan para penulis yang telah menunjukkan simpati kepada negara-negara komunis seperti W.F. Wertheim dan Harry Mulisch dan peran Pramoedya di Lekra, daripada dengan buku Pramoedya.
Dia menyalahkan Pramoedya karena tidak berbicara tentang perannya di Lekra. Pada Mei 1982, Pramoedya menjawab ketika kami menanyakan hal itu dalam wawancara kedua yang kami lakukan dengannya untuk program radio Pramoedya Ananta Toer, Pena yang ulung dan tajam, yang disiarkan pada 23 April 1983.
Dalam NRC Handelsblad tanggal 26 Oktober 1981, Kousbroek menulis: “Banyak tulisan yang kontradiktif mengenai peran Pramoedya dalam Lekra; misalnya, Henk Maier¹ menulis baru-baru ini (dalam De Tijd tanggal 14-08-1981) bahwa Pramoedya ‘tidak menyadari bahwa Lekra adalah sebuah organisasi payung Komunis’. Saya sulit mempercayai hal itu, tetapi setidaknya dapat dipastikan bahwa Lekra memainkan peran sebagai Kulturkammer² dan Pramoedya memainkan peran utama di dalamnya.”
Kousbroek mencoba menerjemahkan buku Pramoedya yang berjudul Subuh: tjerita-tjerita pendek revolusi, namun tidak berhasil karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa Indonesia dan pada saat itu belum ada kamus yang baik. Oleh karena itu, ia menulis di awal ulasannya tentang Bumi Manusia, bahwa ia mengalami kesulitan dengan gaya penulisan Pramoedya yang sederhana dan mudah dimengerti. Ia mengatakan hal ini dalam artikel NRC Handelsblad pada 7 Agustus 1981 bahwa “sesuatu yang sangat penting diceritakan, betapapun tidak sempurnanya atau canggungnya penceritaan itu dilakukan dengan sendirinya.”
Ia belum pernah bertemu dengan Pramoedya pada saat itu. Hal itu baru terjadi pada 1987, ketika Kousbroek menjadi salah satu peserta Kongres Studi Belanda di Indonesia yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa Belanda di Universitas Indonesia yang diorganisir oleh Kees Snoek. Saat itu hubungan mereka sudah baik.
Bep Vuijk
Seorang polemikus lain yang dengan keras menentang Pramoedya dan perannya di Lekra adalah Bep Vuijk. Ia adalah editor majalah Orientasi yang menerbitkan cerita-cerita pertama Pramoedya di Indonesia yang ditulisnya di penjara Bukit Duri selama masa revolusi. Penerbitnya adalah Jajasan Pembangunan yang juga menerbitkan buku Keluarga Gerilya: kisah keluarga manusia dalam dua hari dan tiga malam dan Subuh: tjerita-tjerita pendek revolusi pada 1950. Cerita-cerita Pramoedya diselundupkan keluar dari penjara oleh penyair Belanda Han Resink yang kemudian disapa Pramoedya di awal buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Dalam surat terbukanya, Vuijk menanggapi sebuah artikel panjang Pramoedya di Volkskrant pada 9 Oktober 1981, di mana ia berbicara banyak tentang beredel pers dan sensor di Indonesia dari masa penjajahan sampai tahun 1981 berdasarkan pengalamannya sendiri. Memang, tidak ada penyebutan tentang peran dia di Lekra dan polemik antara pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lekra selama periode Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Pramoedya menulis:
“Pada waktu itu, ketika saya memulai polemik untuk mengakhiri sastra-untuk-kesenangan-sendiri ini, saya mencoba mengajak orang untuk lebih terlibat dalam Indonesia, hal ini sangat dibutuhkan. Siapa pun bisa ikut serta dalam polemik ini dan, seperti halnya polemik lainnya, polemik ini hanya untuk mengungkap kebenaran.”
Bep Vuijk mengenal Pramoedya secara pribadi. Bep memutuskan tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan hingga pemulangannya pada 1957. Dia tinggal di Buru sebelum perang, yang ia kunjungi lagi pada 1971, termasuk ke tiga kamp tahanan politik. “Sayangnya kamp Anda tidak, karena itu saya tidak dapat meminta penjelasan mengenai sikap Anda sebagai ketua Lekra,” tulisnya. Ia menyapa Pram secara langsung, yang mencerminkan kedekatannya dengan Pramoedya: “Jangan fitnah Pram! Kesimpulannya adalah tentang pelarangan terbit dan pengunduran diri secara paksa, tetapi sebagian besar tentang ketakutan akan teror para penjahat Lekra, yang diceritakan kepada saya oleh teman-teman pribadi yang juga Anda kenal.”
Bep Vuijk menutup kontribusinya pada “Open Forum” di Volkskrant tanggal 29 Oktober 1981 dengan kata-kata pedas: “Sekarang Anda membela diri Anda sendiri di media massa Belanda dengan banyak memuji diri sendiri, tidak tulus, tidak jelas, membingungkan, menyesatkan, singkatnya, tidak layak disebut sebagai manusia. Dengan surat terbuka ini saya menunjukkan dan mengungkapkan keheranan saya bahwa seseorang yang telah melawan dan memperkosa nilai-nilai demokrasi, sekarang berani menarik kembali nilai-nilai yang sama. Anda harus merasakan obat pahit Anda sendiri. Menurut saya, mengekang dan membakar buku adalah alat kekuasaan yang buruk, yang melahirkan martir-martir, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Di antara yang terakhir ini, saya masukan Anda. Saya akan mengakhiri dengan mengucapkan selamat kepada Anda atas kesuksesan komersial tambahan yang Anda peroleh.”
Bep dan Pramoedya tidak bertemu lagi setelah dibebaskan.
Mengambil dan Membaca Bumi Manusia
Pada bulan-bulan yang sama, koran-koran Belanda secara luas mengikuti berita seputar Pramoedya dan buku-bukunya. Mereka menulis tentang pelarangan buku-buku tersebut, penyerahan buku-buku tersebut kepada polisi yang akhirnya dibakar. Tentang kembalinya Max Lane, pejabat kedutaan Australia yang menerjemahkan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris ke negaranya, dan protes terhadap hal itu yang dilakukan oleh sekelompok intelektual Indonesia, termasuk Adnan Buyung Nasution dari LBH dan penyair W.S. Rendra. Juga tentang interogasi Pramoedya dan Joesoef Isak serta penangkapan mereka dan empat mahasiswa, termasuk putra Joesoef, yang menyelenggarakan ceramah Pramoedya di Universitas Indonesia tentang sastra Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada 6 Oktober 1981, pas pada malam yang sama dengan siaran program kami, Mengambil dan Membaca Bumi Manusia, yang dijadwalkan akan berlangsung. Terpaksa karena berita tersebut, kami harus mengubah akhir acara dengan terburu-buru dan menutupnya dengan komen-komen pihak Amnesty International dan Komite Indonesia terhadap berita buruk ini.
Pada akhir 1981, KRO Radio mendapat izin dari Pramoedya untuk mengadaptasi Bumi Manusia menjadi sebuah sandiwara radio. Jan Starink, bos kami di KRO, menulis naskahnya dan program itu disiarkan dalam empat bagian yang masing-masing berdurasi 45 menit. Siaran pertama pada 25 Mei 1982, tepat di hari kami mewawancarai Pramoedya untuk kedua kalinya.
Jakarta 25 Mei 1982
Pada 1982, Theo dan saya kembali ke Indonesia untuk mewawancarai para penulis lagi. Kami juga bertemu dan mewawancarai Pramoedya lagi. Kami disambut hangat dengan kopi dan makanan ringan. Kali ini waktunya lebih sedikit. Dia sibuk menulis dan sering diganggu oleh wartawan yang datang untuk mewawancarainya.
Lagi-lagi, Pramoedya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan yang diketik dalam bahasa Belanda pada beberapa halaman kecil. Namun, sekarang, dengan kertas yang lebih baik. Pramoedya juga terlihat lebih sehat, tetapi pendengarannya tetap buruk. Ada sekitar dua minggu antara penulisan jawaban-jawabannya (13 Mei) dan rekaman saat ia membacakannya (25 Mei). Kali ini, ia menandatangani wawancara dan Jakarta dieja dengan huruf J, bukan Dj seperti pada tahun 1980. Pramoedya sekarang sudah berada di Indonesia pada awal tahun 1980-an.
Pramoedya mengatakan kepada kami pada 1980 bahwa kami para jurnalis adalah senjata baginya. Kali ini kami menanyakan hal tersebut untuk menjelaskannya. Pramoedya: “Ya, saya pernah mengatakannya sambil lalu. Saya berpandangan bahwa segala sesuatu adalah senjata bagi setiap orang untuk memastikan eksistensi dan kemajuannya. Tapi senjata juga bisa digunakan untuk tujuan yang berlawanan, bahkan untuk bunuh diri. Dan dalam hal ini, jurnalis adalah pencari fakta profesional yang membentuk kekuatan sosial yang melawan para penyangkal fakta. Dalam hal ini, saya mungkin naif, meskipun sudah terbukti bahwa tanpa laporan yang dipublikasikan oleh jurnalis asing, akan lebih mudah untuk menghancurkan kami dan saya. Dan untuk itu saya berterima kasih.”
Bumi Manusia kini telah diterbitkan di Indonesia dan Belanda. Jilid kedua dari Tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa, telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan terjemahan bahasa Belanda sedang dalam proses.
Kali ini kami juga bertanya kepadanya untuk program radio Pramoedya Ananta Toer, pena yang ulung dan tajam, program baru yang kami sedang susun. Program yang akan sepenuhnya dikhususkan untuk Pramoedya dan asal-usul serta edisi buku-buku tersebut, juga tentang perannya di Lekra dan apakah ada perubahan sikapnya terhadap pemerintah setelah dibebaskan pada 1979 dan setelah peristiwa Oktober 1981.
Pramoedya: “Pemerintah adalah organisasi terbesar di negara ini. Sikapnya terhadap saya jelas, meskipun tidak selalu jelas bagi semua orang, bahkan bagi saya sendiri. Seorang individu juga merupakan organisasi dari pemikiran, perasaan, dan perbuatannya sendiri. Namun, kedua organisasi ini tidak selalu dapat berkembang secara bersamaan atau paralel –sebuah fenomena sosial dan psikologis yang umum terjadi. Sikap saya: poin pertama adalah pemulihan keadilan. Dan masih banyak lagi poin yang harus dicapai dalam pelayanan kewarganegaraan penuh. Bagaimanapun juga, sikap adalah wajah dari prinsip.”
Ketika ditanya bagaimana perasaannya tentang pemerintah yang terus-menerus berusaha membuatnya tidak mungkin untuk bekerja, dia menjawab, “Tidak ada yang istimewa, kecuali bahwa Anda harus belajar untuk lebih memahami karakter otoritas yang berkuasa. Dan itu sudah cukup menarik.”
Pramoedya dan Lekra
Mengenai perannya di Lekra, ia berkata: “Apa yang bisa saya ceritakan? Sayangnya, ceritanya tidak terlalu bagus. Karena saya tidak pernah menduduki jabatan dalam organisasi Lekra, saya juga tidak pernah diberi mandat untuk mewakili Lekra. Seorang novelis lebih mementingkan cita-citanya sendiri dan juga sulit didisiplinkan oleh organisasi mana pun. Terlalu banyak gosip tentang posisi saya di Lekra. Tulisan dan tindakan saya pada waktu itu tidak ada hubungannya dengan kewajiban Lekra. (...) Saya dapat mengatakan dengan pasti bahwa saya tidak pernah memiliki fungsi praktis, terutama fungsi organisasi di Lekra. (...) Semua tuduhan itu muncul pada saat saya tidak bisa membela diri. Itu saja yang saya maksudkan: cerita yang tidak terlalu bagus.”
Pelukis Basoeki Resobowo, mantan ketua seksi seni rupa dan anggota dewan pimpinan pusat Lekra, menambahkan dalam sebuah wawancara dengan Volkskrant pada 20 Februari 1982: “Pram tidak pernah menjadi ketua Lekra, (...) Dia bahkan tidak pernah menjadi ketua seksi sastra Lekra, tapi hanya anggota.” Pengurus Lekra terdiri dari enam ketua seksi dan lima anggota utama. “Yang terakhir ini termasuk Pramoedya. Orang tidak harus menjadi anggota partai, juga bukan seorang komunis. Pram terlalu individualis, terlalu keras kepala, untuk menjadi anggota apa pun. Dia akan merasakannya sebagai sebuah pembatasan pribadi.”
Setelah wawancara ini, tidak pernah ada pertemuan lagi dengan Pramoedya. Ada begitu banyak sastrawan lain yang menarik untuk diwawancarai untuk program-program baru yang kami diizinkan membuatnya untuk KRO tentang sastra Indonesia, termasuk potret W.S. Rendra, Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya, H.B. Jassin, dan Sitor Situmorang.
Selain itu, sudah menjadi kebiasaan semua wartawan asing yang datang ke Indonesia, pasti juga ingin mewawancarai Pramoedya. Kami lebih suka dia menghabiskan waktunya untuk menulis buku. Dan itulah yang dengan senang hati dilakukannya. Kami selalu mengikuti Pramoedya sebagai seorang penulis dan terus membeli dan membaca buku-bukunya. Karya-karya yang dia tinggalkan sama penting untuk Indonesia dan Belanda.
Selama bertahun-tahun, Eddy Tahsin dan istrinya dari penerbit Manus Amici menerbitkan buku-buku baru Pramoedya dan penulis Indonesia lainnya. Mereka bekerja sama dengan penerbit Het Wereldvenster. Kemudian, ketika mereka sudah terlalu tua, penerbit De Geus mengambil alih. Hasilnya, hampir semua karya Pramoedya tersedia bagi pembaca Belanda.
Selain itu, publik Belanda juga telah diperkenalkan kepada Pramoedya melalui wawancara yang dilakukan oleh Kees Snoek dengan Pramoedya untuk televisi IKON pada 1991 dan melalui film dokumenter De Groote Postweg (Jalan Raya Pos) pada 1996 yang dibuat oleh sutradara Belanda, Bernie Ijdis untuk televisi VPRO, yang untuknya Pramoedya menulis sebuah esai dan di dalamnya berbicara tentang kehidupannya.
Permainan akhir
Pada 2018, saya mendengar bahwa Hanung Bramantyo akan membuat film Bumi Manusia. Pada saat itu, saya telah berakting di sejumlah film layar lebar Indonesia dan, karena hubungan mendalam yang saya rasakan dengan Pramoedya dan terutama dengan Tetralogi Buru, saya ingin sekali mendapatkan peran. Setelah mengikuti casting untuk beberapa peran, akhirnya diputuskan saya akan mendapatkan peran sebagai hakim Pengadilan Pribumi. Itu bukan peran yang besar, tapi peran yang bagus.
Adegan-adegan dengan saya di pengadilan, mungkin yang paling penting dari buku dan keseluruhan film. Di sini, Minke mulai mengenal pangkat dan jabatan di Hindia Belanda, yang dibangun di atas rasisme dan pencabutan hak-hak pribumi, yang kemudian membuat kekagumannya pada Belanda dan ilmu pengetahuan Barat olehnya berganti dengan perlawanan terhadap ketidakadilan sistem kolonial. Sejak hari itu, hidupnya berubah menjadi berbeda, seperti halnya untuk saya dengan kunjungan pertama ke Indonesia pada tahun 1980 dan bertemu dengan Pramoedya, yang memberikan perubahan total dalam hidup saya. Sejak saat itu, hidup saya berputar di sekitar Indonesia.*
*Arjan Onderdenwijngaard (Tilburg, Belanda 1961) sudah terlibat dengan Indonesia secara profesional semenjak tahun 1980. Dia pernah membuat acara dokumenter radio, menulis buku, menerbitkan foto-foto dan artikel, menyediakan ceramah, kursus dan wisata seni budaya dengan rekan Theo Wilton van Reede. Setelah Theo meninggal dunia tahun 2009 Arjan bergerak solo. Dia aktif sebagai penulis, pembuat film dokumenter, aktor dan fotografer di Indonesia dan Belanda.
¹ Mantan profesor sastra Malaysia dan Indonesia di Universitas Leiden dan editor dua buku pertama cerita pendek Pramoedya yang diterbitkan dalam bahasa Belanda oleh penerbit Leopold, Den Haag: Bericht uit Kebayoran pada tahun 1978 dan Verloren pada tahun 1979.
² Di Jerman di bawah Nazi dan kemudian di wilayah-wilayah yang diduduki Jerman antara tahun 1933-1945, semua penulis dan seniman harus menjadi anggota Kulturkammer. Jika mereka tidak ingin menjadi anggota, maka karya mereka tidak dapat diterbitkan, dipertunjukkan atau dipamerkan. Tujuan dari kulturkammer adalah untuk menciptakan seni untuk orang-orang Arya dan ras Arya. Apa pun yang tidak sesuai dengan definisi itu mereka sebut Entartete Kunst. Hal ini mengakibatkan, antara lain, pembakaran buku secara besar-besaran oleh Nazi.
³ Dalam wawancara Pramoedya menjelaskan: “Dalam sastra Indonesia, orang menganggap saya sebagai salah satu dari angkatan 45. Mungkin akan lebih baik jika saya tidak menggunakan angkatan sebagai nama. Garda akan lebih baik, jika saya boleh menyarankan hal ini.” Hal ini untuk menekankan militansi generasi pejuang revolusi ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar