Penulisan Sejarah Indonesia di Tangan Pram
Selain “Hoakiau di Indonesia” yang dilarang pemerintahan Bung Karno, arsip diktat “Sedjarah Modern Indonesia” karya Pramoedya juga dibakar pemerintahan Soeharto.
PRAMOEDYA Ananta Toer bukan orang asing dalam historiografi Indonesia. Di samping tenarnya karya-karya sastranya, Pram juga bersentuhan dengan penulisan sejarah Indonesia. Ia juga saksi sekaligus pelaku sejarah sejak masa revolusi kemerdekaan (1945-1949).
Pram melahirkan karya-karya fiksi berlatar belakang sejarah sejak era revolusi kemerdekaan dalam bentuk cerpen hingga novel. Semasa jadi perwira rendahan di Resimen Cikampek, baik sebelum maupun sesudah ia ditangkap Belanda, ia juga melahirkan karya tulis. Di antaranya Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Krandji dan Bekasi Djatoeh (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya, dan Di Tepi Kali Bekasi (1951) yang beberapa bagian naskahnya dirampas tentara Belanda seiring Agresi Militer Belanda I (21 Juli-5 Agustus 1947).
Karakter Minke yang terdapat di tetralogi Buru-nya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) pun terinspirasi dari tokoh pers R.M. Tirto Adhi Soerjo. Inspirasinya sudah eksis dalam pemikiran Pram sejak jadi dosen jurusan sejarah di Universitas Res Publica dan sebelum dijebloskan ke penjara di Pulau Buru semasa Orde Baru. Bahan-bahan dan materi tentang R.M. Tirto sudah ia kumpulkan sejak 1961 dan kemudian pencarian sumber-sumber sejarah lainnya dibantu oleh para mahasiswanya.
“Naskah kerja inilah yang memberikan saya ide konsep serial novel saya Tetralogi Buru. Dengan menggunakan kertas kerja mahasiswa saya tersebut, saya juga bisa menulis buku Sang Pemula (1985), ungkap Pram dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira.
Sejak 1960-an pula Pram menghasilkan karya sejarah non-fiksi. Baik berupa buku hasil kumpulan artikelnya di suratkabar, surat-menyuratnya dengan para penulis Tionghoa dalam Hoakiau di Indonesia (1960), atau diktat Sedjarah Indonesia Modern (1964). Terlepas dari adanya larangan pemerintah Orde Baru menyusul statusnya sebagai tahanan politik Pulau Buru, Pram kembali menelurkan serial buku sejarah yang dituliskan bersama Ediati Kamil dan sang adik, Koesalah Soebagyo Toer: empat jilid Kronik Revolusi Indonesia (1999-2014).
“Selama ini sejarah dibuat orang yang berkuasa. Karya-karya Pram mencoba mendekonstruksi sejarah. Maka dari itu seringkali karya Pram dianggap menentang pemerintahan pada zamannya,” tutur adik Pram, Soesilo Toer, dalam diskusi bedah buku Pram dari Dalam di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 16 April 2024.
Baca juga: Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda
Historiografi Indonesia di Tangan Pram
“Saya enggak ngerti teori,” begitu kata Pram suatu ketika, dikutip sejarawan Hilmar Farid dalam artikel “Pram dan Kolonialisme yang Tak Kunjung Mati” yang dimuat Tempo edisi 21 Mei 2006.
Kendati ia pernah jadi dosen sejarah di Universitas Res Publica, Pram memang bukan penulis yang paling terlatih dalam hal metode sejarah atau teori penulisan sejarah. Namun dalam proses penulisan sejarah –dengan atau tanpa disadarinya, tetap menggunakan tahapan-tahapan metode dan teori berupa teknik pengumpulan data, seperti yang terdapat dalam proses penyusunan Hoakiau di Indonesia, buku sejarah pertamanya.
Buku Hoakiau di Indonesia disusun Pram selama 12 hari. Bahannya dari sembilan artikel kritiknya di Bintang Minggu (edisi mingguan Bintang Timur) ditambah dokumen surat-menyuratnya dengan sejumlah penulis di negeri China, serta sumber-sumber data lain.
“Demikian pula halnya kiriman-kiriman (dokumentasi) gratis yang ditujukan kepada penyusun oleh suratkabar Djawa Post (Surabaja), suratkabar Republik (Djakarta), majalah Bendera Buruh dan Mimbar Indonesia (Djakarta), majalah Berita Bibliografi, Gunung Agung (Djakarta), buku-buku tentang Indonesia dari prof.dr. A. Teeuw (Nederland), dan juga dari prof. mr. G. J. Resink melengkapi dokumentasi penyusun, sekalipun hal ini tidaklah berarti, bahwa dokumentasi tersebut telah lengkap dan sempurna,” tulis Pram dalam halaman “Perkenalan” buku tersebut.
Buku itu lantas “dijahit” Pram sebagai sebuah argumentasi sejarah akan eksistensi etnis Tionghoa di Nusantara sekaligus gugatan terhadap kebijakan pemerintahan Orde Lama yang dianggap anti-Tionghoa melalui Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959 (PP-10/1959). Kebijakan tersebut mengakibatkan lebih dari 100 ribu etnis Tionghoa eksodus dari Indonesia.
“Pram menguraikan tentang sejarah orang-orang Cina datang ke Indonesia. Kajian ini dia dasarkan pada banyak sumber ilmiah. Pram menjelaskan secara panjang lebar aspek-aspek positif keberadaan warga Tionghoa sejak berabad-abad lalu. Sumbangan terhadap kebudayaan, ekonomi, dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pram juga menunjukkan orang-orang Cina telah menjadi kawan seperjuangan rakyat Indonesia dalam melawan imperialisme Barat,” tulis Muhammad Muhibbuddin dalam Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara.
Sial baginya, sepulangnya ke tanah air setelah melancong dari India dan Mesir, dia justru diinterogasi aparat pemerintah dan lantas dijebloskan ke penjara selama kurang lebih sembilan bulan. Itu jadi buku kedua setelah novel Korupsi (1954) yang membuat “Bung Besar” meradang. Namun buku Hoakiau di Indonesia jadi karya Pram pertama yang dilarang pemerintah.
“Selain Maemunah (istri Pram), kepedulian dan simpati datang dari organisasi Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Di sisi lain pihak militer memperlihatkan antipatinya terhadap sang penulis sehingga (buku) Hoa Kiau masuk dalam pengawasan dan pelarangan militer,” tulis Sumit K. Mandal dalam esai “Strangers who are not Foreign: Pramoedya’s Disturbing Language on the Chinese of Indonesia yang terdapat dalam edisi terjemahan bahasa Inggris buku tersebut, The Chinese in Indonesia: With essays from K.S. Jomo, Leo Ou-Fan Lee, Max Lane, Sumit K. Mandal.
Baca juga: Pram, Becak, Aib Negara
Selepas dibebaskan dari terali besi pada 1961, Baperki menawarkan Pram untuk mengajar di Universitas Res Publica. Meski awalnya menolak karena merasa tak punya dasar ilmu kependidikan, pada akhirnya Pram menerima setelah mendapat jaminan ia bisa mengajar dengan caranya sendiri di kampus yang berada di bawah naungan Baperki itu.
Di jurusan sejarah, Pram jadi dosen pengampu mata kuliah sejarah modern Indonesia. Menurut Hilmar dalam esainya di laman pribadinya, 31 Desember 2008, “Pramoedya dan Historiografi Indonesia”, Pram menggunakan artikel-artikel terbitannya di Bintang Timur sebagai materinya dalam mengajar. Ia juga membuat diktat materi ajar Sedjarah Modern Indonesia (1964) sebagai panduan mengajarnya dari himpunan data berupa koran-koran lama dan karya-karya penelitian di perpustakaan Museum Nasional yang didapat melalui bantuan para mahasiswanya.
Dalam pengantar diktatnya, Pram lebih dulu memperkenalkan apa arti “sejarah”, “modern”, dan “Indonesia”. Seakan menginspirasi buku teks mata pelajaran sejarah tingkat SMA pada Kurikulum Merdeka (sejak 2020), di mana terdapat pengantar mengenai mengapa perlu mempelajari ilmu sejarah dengan tujuan capaian pembelajaran agar para siswa mampu memahami konsep dasar ilmu sejarah dan menganalisis berbagai fenomena sosial menggunakan sumber-sumber dari buku teks untuk melakukan penelitian sejarah.
“Apakah ‘Sejarah’? Karena sejarah bagi Indonesia merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh Barat kepada kita, maka banyak sekali kita akan bertemu dengan pendapat sejarawan-sejarawan Barat itu. Tetapi ini tidak berarti, bahwa bangsa Indonesia tidak mempunyai sejarah atau tidak mempunyai tradisi penulisan sejarah,” tulis Pram dalam pembukaan pengantar diktatnya.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer Tentang Kota Jakarta
Selain menjabarkan tentang asal-usul nama “Indonesia”, Pram turut menyisipkan tafsiran “sejarah” menurut Manifestasi Politik (Manipol). Hilmar dalam esainya menyebut bahwa itu kemungkinan dibuat sekadar memenuhi tuntutan “Manipolisasi” di segala bidang yang kian hari kian marak di era Demokrasi Terpimpin. Bedanya, mengingat konteksnya “modern”, Pram tidak memulai bab-bab pembukanya dengan masa-masa praaksara, melainkan langsung kepada zaman kolonialisme.
“Jasa Pram adalah mengubah perspektif sejarah. Ia mencairkan kebekuan sejarah dengan ide baru dan tokoh baru. Bila selama ini HOS Cokroaminoto dianggap tokoh sentral pergerakan awal abad ini, maka Pram mencoba melihat peran Tirto Adhi Soerjo. Pram tidak menggunakan arsip untuk menemukan ‘fakta’, tetapi membacanya secara terbalik. Ia melihat arsip sebagai rekaan kekuasaan kolonial yang mengkonstruksi ‘kebenaran’,” ungkap sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah.
Namun disayangkan, Universitas Res Publica dibubarkan pasca-Peristiwa 1965. Arsip diktat itu turut jadi sasaran pembakaran militer dan hanya tersisa salinannya di luar negeri. Pun sebagaimana novel-novelnya karangannya, buku-buku sejarah karya Pram jadi hal yang terlarang sepanjang era Orde Baru.
“Bahan kuliah (Sedjarah Indonesia Modern) tersebut pernah terbit dalam bentuk stensil dan untungnya diberikan pada beberapa sarjana asing, antara lain Dr. Ruth McVey dan Harry J. Benda, sehingga tersimpan di beberapa perpustakaan universitas di Amerika Serikat. Saya sendiri memakainya ketika menyusun desertasi di Universitas Yale,” kenang Onghokham dalam tulisannya, “Pramoedya dkk. dan Penulisan Sejarah”, di halaman pengantar buku Kronik Revolusi Indonesia: Jilid I (1945).
Baca juga: Pram dan Arsipnya
Baru pada usia senjanya, di masa peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi, Kronik Revolusi Indonesia ia terbitkan bersama Ediati dan Koesalah sang adik. Materi-materinya dikumpulkan sendiri oleh Pram dan penyusunannya dibantu oleh Ediati dan Koesalah.
“Sebelum berangkat ke Swiss ia bertanya kepada saya, apakah saya mau mengedit tulisan-tulisan (bahan fotokopian) itu. Ya mana pernah saya menolak permintaan Mas Pram? Menurut dia, editor tulisan-tulisan itu sebaiknya anggota keluarga, dan anggota keluarga itu kini hanya saya. Maklum Mas Wi (Prawito Toer, red.) tidak lagi bisa diajak dan Cus (Soesilo Toer) sudah pernah menolak permintaan dia waktu kami hendak menyusun Kronik Revolusi Indonesia. Hubungan Mas Pram dengan keluarganya kan sekarang praktis tinggal hubungan dengan saya,” tulis Koesalah dalam Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali.
Buku itu dibuat secara berseri dalam lima jilid yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) karena disusun berdasarkan urutan kejadian sedapat mungkin semua peristiwa kurun 1945 hingga 1949. Lantaran judulnya “kronik”, Pram dkk. berfokus hanya pada peristiwa yang terjadi, bukan analisa maupun prosesnya.
“Kronik ini disusun terutama mengingat kecenderungan generasi sekarang mulai melupakan peristiwa-peristiwa revolusi. (Walau) yang mencolok kronik ini tidak menggunakan bahan-bahan yang diterbitkan Belanda, seperti naskah Nederlandsch-Indonesische Betrekkingen, 1945-50 (terbitan Rijks Geschiedkundige Publicatien/RGP), juga studi-studi lainnya tentang perang revolusi, buku-buku harian, memoar, biografi, dll, entah disengaja atau memang tidak terjangkau,” sambung Onghokham.
Adapun bahan-bahan selanjutnya ia temukan dari banyak tempat dalam rangka menyusun jilid-jilid berikutnya yang menguraikan peristiwa historis hingga masa 1949. Seperti pada suatu ketika Pram menemukan buku karangan Pinardi terbitan 1967, Peristiwa coup berdarah P.K.I. September 1948 di Madiun, di sebuah bak sampah. Setelah dia rawat lebih dulu, buku itu diberikannya kepada Koesalah untuk disusunnya.
“‘Ini bahan bagus buat Kronik’, katanya (Pram)’. Buku itu menjadi salah satu bahan sumber kami bertiga (bersama Ibu Ediati Kamil). Saya sendiri sangat bahagia dapat memanfaatkan isi buku dari tempat sampah tersebut,” lanjut Koesalah.
Kronik Revolusi Indonesia: Jilid IV (1948) yang diterbitkan KPG pada 2003 jadi buku kronik terakhir di masa Pram masih hidup. Seri terakhirnya, Kronik Revolusi Indonesia: Jilid V (1949), baru diterbitkan KPG pada 2014. Kali ini disusun hanya oleh Koesalah dan Ediati, meski tetap menerakan nama Pram yang sudah almarhum pada 30 April 2006.
Baca juga: Pram Minta Karyanya Dikembalikan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar