Multatuli
Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.
Dia hanya menetap selama kurang dari tiga bulan di Rangkasbitung, Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama. Pulang membawa luka dan kecewa. Menuliskan semua itu di sebuah kamar kecil yang sempit di Brusel, Belgia. Dia meradang, menggugat ketidakadilan yang ditemuinya selama bertugas di Lebak. Membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial.
Tak lama sebelum karyanya terbit, dia mengirim secarik surat untuk Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” kata Multatuli dalam suratnya. Raja tak bergeming. Karya yang berjudul Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau persekutuan lelang dagang kopi Belanda) akhirnya terbit pertama kali pada 1860.
Baca juga: Lahirnya karya besar: Max Havelaar
Maka perkara busuk itu pun meluap kemana-mana. Multatuli digadang-gadang sebagai pembuka rahasia penjajahan Belanda atas Hindia kepada dunia. Karyanya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Karyanya dibaca banyak tokoh pembebasan, mulai Jose Rizal dari Filipina sampai Sukarno di Indonesia. Ia semacam inspirasi bagi mereka yang tak suka ketidakadilan terjadi di depan mata.
Tapi Multatuli tak hanya dipuja. Dia juga dicerca. Rob Nieuwenhuys berpendapat bahwa Multatuli adalah pejabat yang gagal memahami struktur masyarakat tradisional di Jawa. Sehingga protesnya terhadap pemerintah kolonial atas korupnya bupati Lebak dinilai salah kaprah. Banyak juga yang menganggap Multatuli sebagai seorang yang frustrasi, yang menulis Max Havelaar bukan semata karena membela ketidakadilan namun untuk membalas rasa sakit hati akibat pemecatannya.
Sulit memang menduga apa yang berkecamuk dalam hati Multatuli. Satu yang pasti, Max Havelaar, buah tangannya itu dikutip oleh banyak tokoh. Menjadi semacam landasan argumentasi untuk menunjukkan betapa buruknya wajah kolonialisme di Hindia Belanda. Wajar jika satrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa Multatuli adalah orang pertama yang berupaya membunuh kolonialisme.
Di Belanda, negeri di mana Multatuli lahir, punya banyak cara untuk mengenang tokoh yang dibenum sebagai peletak tonggak pertama kesusasteraan Belanda modern itu. Pada Maret dan November setiap tahunnya, selalu ada pertemuan yang diselenggarakan Multatuli Genootschap, perkumpulan Multatuli. Perkumpulan ini juga mengelola sebuah museum di Amsterdam, rumah di mana Multatuli dilahirkan pada 2 Maret 1820.
Di Indonesia, Multatuli tak banyak dikenal. Berbeda dengan anak sekolah di negeri-negeri Eropa yang membaca Max Havelaar, karya Multatuli yang membela rakyat bumiputera dari penindasan kolonial itu justru bukan bacaan wajib di sini. Film Max Havelaar yang pernah dibuat pada 1976 sempat dilarang di Indonesia karena dianggap mempermalukan keluarga bupati, penguasa pribumi musuh Multatuli. Lebih-lebih, dianggap tak nasionalis karena menempatkan Multatuli yang orang Belanda sebagai pahlawan ketimbang musuh sebagaimana yang diajarkan di dalam pelajaran sejarah.
Tapi pendulum ingatan kini mulai bergeser. Winnie Sorgdrager, ketua Perkumpulan Multatuli mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya bekerjakeras agar rumah kelahiran Multatuli di Amsterdam tetap bisa berfungsi sebagai museum. Pemerintah Belanda mencabut subsidi atas banyak hal di bidang sejarah dan kebudayaan, termasuk mengurangi jatah membiayai museum. Itu berlangsung semenjak partai kanan macam Partai voor Vrijheid, partainya Geerts Wilder turut berkuasa di Belanda sejak 2012 lalu.
Sementara itu di Lebak, Banten, pemerintah setempat telah membangun sebuah museum yang menggunakan nama Multatuli. Perlahan cara pandang terhadap sejarah mulai beranjak lebih baik. Pemahaman atas masa lalu bangsa ini, terutama di masa kolonial, memang harus beranjak dari cara berpikir yang hitam dan putih, apalagi bila merujuk kepada warna kulit: tak selamanya penindas berkulit putih dan mereka yang ditindas adalah berkulit sawo matang.
Usaha untuk membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan menjadi kewajiban bagi mereka yang terpanggil menjalankan tugasnya sebagai manusia. Persis seperti kata Multatuli, “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia”. Maka mengingat Multatuli adalah mengenang kelam penindasan manusia atas manusia lainnya sekaligus juga mengusung cita-cita pembebasan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar