Mula Pertentangan Dua Kubu
Seni rupa Indonesia pernah terbagi menjadi dua kubu, Yogyakarta dan Bandung.
PADA November 1954, Ahmad Sadali, But Muchtar, Edie Kartasubarna, Hety Udit, Kartono Yudokusumo, Sie Hauw Tjong, Srihadi, Karnaedi, Sudjoko, Soebhakto, dan Popo Iskandar mengadakan pameran di Balai Budaya, Jakarta. Mereka semua mahasiswa Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, cikal bakal Seni Rupa ITB.
Pameran tersebut langsung menarik perhatian beberapa kritikus seni, menimbulkan polemik, dan membagi peta kesenian Indonesia menjadi Kubu Yogyakarta dan Kubu Bandung. Trisno Sumardjo lewat artikelnya di Mingguan Siasat November 1954, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, mengecam absennya “jiwa” dalam karya-karya di pameran itu. Sitor Situmorang juga berkomentar dengan nada serupa. Menurut mereka, karya-karya seniman Bandung berjiwa kosong dan merupakan perwujudan laboratorium seni Barat.
Komentar-komentar pedas itu membuat Sudjoko, yang ikut pameran, panas. Dua pekan setelah kritik Trisno, dia membalas di majalah yang sama. Sudjoko menyebut Trisno “asal bunyi, asal ngeritik, tapi tidak disertai argumentasi yang memadai.” Sudjoko bahkan menantang Trisno untuk menyaksikan proses belajar di ITB untuk membuktikannya.
Polemik tersebut kemudian melibatkan lebih banyak nama dan berlangsung hingga tiga edisi. Menurut Jim Supangkat dalam “Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, yang diarsip ivaa-online.org, perdebatan antara kubu Yogyakarta dan kubu Bandung bertambah parah karena ketiadaan penengah dalam perseteruan tersebut. “Ngotot-ngototan menjadi kian ramai, masing-masing berusaha bertahan pada pendapatnya sendiri-sendiri, menggunakan term yang digariskannya sendiri tanpa peduli, apakah dimengerti orang lain atau tidak.”
Padahal, kata sejarawan seni Helena Spanjaard, keduanya sama saja. Kecaman yang diberikan kubu Yogyakarta kurang memperhatikan kenyataan bahwa gaya pelukis-pelukis Yogyakarta yang realis atau ekspresionis, dalam berbagai ragam malah sama kebaratannya dengan kesenian abstrak dari Bandung. “Perbedaan yang besar antara Yogyakarta dan Bandung terletak dalam hal tema pokok lukisan,” kata Helena.
Pertentangan antara seniman Yogyakarta dan Bandung sebenarnya sudah muncul bibitnya sejak lama. Asmudjo J. Irianto dalam “Seni Lukis Abstrak Indonesia” yang diterbitkan Jurnal Kalam edisi 27 tahun 2015 menulis pertentangan kedua kubu tidak lepas dari pengaruh Polemik Kebudayaan sebelum masa kemerdekaan. Pertentangan mazhab seni rupa pada 1935 itu antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Alisjahbana mengutamakan penerapan kebudayaan Barat sementara Pane lebih suka merujuk kebudayaan Indonesia.
Pascakemerdekaan pertentangan ini diwakili oleh dua institusi pendidikan. Yogyakarta diwakili seniman-seniman Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta) yang mengusung nilai-nilai tradisional dan sosial. Sementara kubu Bandung diwakili seniman lulusan Seni Rupa ITB yang dianggap sebagai laboratorium Barat.
Perbedaan paham seni rupa Bandung dan Yogyakarta, Barat-Timur, Universal-Tradisional ditelusuri oleh Asmudjo sebagai bagian dari kultur pendidikan di masing-masing kota. ASRI tumbuh dari keberadaan sanggar, lahir dari usaha para seniman pascakemerdekaan di tengah situasi genting. Sejak awal pendiriannya dosen-dosen ASRI adalah orang Indonesia. Maka tak heran bila gaya atau tema karya tak lepas dari ketradisionalan atau nasionalisme.
Sedangkan Seni Rupa ITB adalah warisan pemerintah Belanda yang dulunya Universiter Guru Gambar, bagian dari Fakultas Teknik, Universitas Indonesia di Bandung. Lembaga pendidikan untuk calon guru seni rupa ini didirikan pada 1947. Hampir semua dosennya orang Belanda, salah satunya Ries Mulder. Gaya lukis Mulder inilah yang ditularkan kepada mahasiswa seni di Bandung. Meski belajar di lembaga pendidikan untuk calon guru, para murid Universiter Guru Gambar kebanyakan menjadi seniman yang mengikuti gaya gambar gurunya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar