Mooi Indie Diserang Lalu Disayang
Sudjojono sempat mengkritik para pelukis mooi indie, tapi kemudian dia juga melukis gaya tersebut.
TAKJUB oleh keindahan alam Hindia Belanda, para perupa Belanda melukiskannya di atas kanvas. Sejumlah perupa bumiputera juga menganut gaya romantisme ini antara lain Abdullah Surio Subroto, Mas Pirngadi, Wakidi, dan Basuki Abdullah.
Kritikan datang dari S. Sudjojono, yang menyebutnya sebagai lukisan mooi indie. Lewat tulisan-tulisannya, Sudjojono mengkritik lukisan mooi indie yang serbamolek melenakan masyarakat bumiputera dari keadaan sesungguhnya: terjajah. Dia menganggap lukisan mooi indie tak lebih hanya untuk “menghibur” orang-orang asing.
“Benar mooi indie bagi si asing, yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar mooi indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers mereka dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja,” tulis Sudjojono dalam tulisannya di Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939.
Bagi Sudjojono, kesenian –seni lukis khususnya– seharusnya tidak terpisah dari realitas kehidupan masyarakat sekitarnya. Semestinya, perupa “…menggambar juga pabrik-pabrik gula dan si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantalon si pemuda; sepatu, celana dan baju garbadin pelancong di jalan aspal. Inilah keadaan kita. Inilah realiteit kita,” tulis Sudjojono. Sudjojono menyebutnya realisme.
Sebagai bentuk perlawanan, Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1937. Dia tetap memegang pandangan realisme ini setelah Persagi bubar serta kemudian terlibat dalam perkumpulan Seniman Indonesia Muda dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Pada 1950-an, Sudjojono jadi anggota Parlemen dari Partai Komunis Indonesia. Namun, dia kemudian dipecat karena poligami yang tidak diperkenankan oleh partai. Menurut Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain, setelah mengucapkan selamat tinggal pada dunia politik, Sudjojo rupanya meninggalkan pula realisme. Setidaknya, tidak lagi menganggapnya sebagai satu-satunya aliran seni yang dianutnya.
Menurut Onghokham, “Hindia yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial,” dalam Kalam, edisi 3, 2005, Sudjojono akhirnya juga melukis mooi indie karena ternyata mazhab ini sangat kuat berakar di masyarakat. Selain itu, salah satu sebabnya adalah patron Sudjojono pada masa pascakolonial, yakni Presiden Sukarno, adalah seorang kolektor dan patron utama mazhab mooi indie.
“Sudjojono memang seniman unik,” kata kolektor seni Syakieb Sungkar kepada Historia. “Di satu sisi dia pernah habis-habisan menyerang mooi indie, tapi di akhir-akhir hidupnya dia melukis dengan gaya tersebut. Ini menunjukkan, sehebat-hebatnya dia, tetap manusia biasa. Bisa tidak konsisten juga.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar