Lasmidjah Hardi, Perempuan Pejuang yang Menggemari Sejarah
Lewat pedirian Yayasan Wanita Pejuang, Lasmidjah bersama rekan-rekannya merekam perjuangan perempuan untuk kemerdekaan Indonesia.
BERSAMA rekan-rekannya sesama perempuan pejuang di masa revolusi, Lasmidjah Hardi mendirikan Yayasan Wanita Pejuang pada 24 Februari 1977. Selain Lasmidjah, anggotanya antara lain SK Trimurti, Sujatin Kartowidjono, Siti Djauhari Sudiro, Soekanti Soerjotjondro, Utami Soerjadharma, dan Amini Sutari Abdulgani. Yayasan ini mereka maksudkan sebagai wadah untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi penerus. Langkah tersebut diwujudkan lewat upaya penghimpunan dan pembukuan kisah-kisah perjuangan para para wanita.
Yayasan ini megeluarkan lima jilid buku berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi. Diungkapkan dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi I, ide pembuatan bukunya bermula dari obrolan dalam reuni Wanita Pejuang pada Mei 1981. Akhirnya dibuatlah lima jilid buku yang memuat 54 cerita para perempuan pejuang. Tokoh yang mengisahkan perjuangannya di buku tersebut diambil dari beragam latar belakang, daerah, budaya, agama, dan organisasi agar mencerminkan kebhinekaan Indonesia.
“Sejak bangkitnya pergerakan nasional, wanita merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan untuk kemerdekaan tanah air,” kata Lasmidjah dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi IV. Ia juga mengajak para perempuan untuk menyadari hak-haknya yang sudah diperjuangkan di masa sebelumnya.
Baca juga:
Lasmidjah menyadari, tak semua perempuan pejuang dapat diwawancarai atau bisa menuliskan kisah perjuangan mereka. Ada yang sudah meninggal, ada pula yang amat sibuk dengan kegiatannya.
Buku lain yang diterbitkan yayasan ini, bekerjasama dengan Departemen Penerangan RI, ialah Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu setelah Kartini 1904-1994. Lewat buku itu mereka menghimpun kisah-kisah perempuan pejuang yang ikut dalam usaha kemerdekaan baik di garis depan maupun di garis belakang. Langkah tersebut merupakan pengabadian perjuangan perempuan di tengah heroisme perjuangan yang didominasi tokoh lelaki.
“Akan ada goresan dalam sejarah sebagai bukti kehadiran mereka (perempuan pejuang, red.) dalam perjuangan bangsanya. Biarpun sekilas, peristiwa perjuangan itu harus dibuatkan ‘snap shot moment opname’ sebelum kenangan itu hilang seolah tanpa kesan, tanpa bekas,” kata Lasmidjah.
Sayangnya, makin lama anggota Yayasan Wanita Pejuang terus berkurang. Banyak para anggota yang sudah sepuh, meninggal. Akibatnya, yayasan makin tidak aktif hingga mandek sama sekali.
Baca juga:
Namun nasib baik tak akan lari. Ketika menghadiri sebuah pertemuan di rumah Radius Prawiro pada 1990-an, Lasmidjah bertemu dengan banyak pejuang. Ia berbicara dengan Sulasikin Murtopratomo, mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dari pertemuan inilah hasrat untuk mengumpulkan kembali para perempuan pejuang terpantik.
Hasilnya, setelah beberapa kali rapat, dibentuklah Paguyuban Wanita Pejuang pada 18 Oktober 1995. Hampir mirip dengan Yayasan Wanita Pejuang, paguyuban ini dibentuk sebagai wadah agar para perempuan yang pernah berjuang dapat bertemu dan bertukar pikiran. Kegiatannya pun serupa, yakni menerbitkan buku-buku yang mengisahkan perjuangan perempuan.
Lewat dua organisasi ini, Lasmidjah dan rekan-rekannya menyumbangkan khasanah lain dalam sejarah Indonesia yang begitu maskulin. Dalam autobiografinya, Lasmidjah Hardi Perempuan Tiga Zaman, ia mengisahkan kecintaannya pada sejarah tak terbatas pada kisah perempuan. Lasmidjah juga bergabung dalam Yayasan 19 September 1945 bersama Soejono Martosewojo, Daan Anwar, Akip Suganda, SK Trimurti, Siti Djauhari Sudiro, Yos Masdani, dan Treen Radjasa. Yayasan ini juga menerbitkan buku Samudra Merah Putih yang mengisahkan perjuangan pemuda di Lapangan Ikada.
Baca juga:
Kecintaan Lasmidjah pada sejarah juga mendorongnya mendirikan Yayasan Pencinta Sejarah bersama Sidik Gondowarsito, Sejarawan UI Lily Manus, dan Nana Nurliana. Lewat yayasan ini pula ia turut andil dalam penerbitan buku Jakarta-ku, Jakarta-mu, Jakarta Kita dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta R Soeprapto.
“Kami, para pejuang yang sudah sepuh, sudah uzur ibarat matahari sudah condong ke barat dan siap untuk masuk ke peraduan. Kami tak punya apa-apa selain semangat dan cita-cita yang ingin kami wariskan kepada generasi muda,” kata Lasmidjah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar