Konfrontasi dengan Masa Lalu
Trauma akibat G30S bukan tak mungkin sembuh. Hanya saja, maukah kita menyembuhkannya?
LUKA menimbulkan rasa sakit. Ia harus diobati. Selama proses penyembuhan, orang yang terluka tetap harus berani menanggung rasa sakit, hingga luka itu benar-benar hilang. Pun demikian dengan suatu negara yang mengalami trauma (luka). Betapapun sakitnya, mereka harus melewatinya.
Maria, anak seorang polisi yang jadi eksekutor para tapol 1965 di SoE, kota kecil 100 km timur Kupang, Nusa Tenggara Timur, meyakininya. Baginya, proses penyembuhan trauma kolektif akibat G30S bakal memakan waktu dan melewati jalan berliku. Tapi, “jalan panjang untuk penyembuhan itu perlu dan harus diperjuangkan,” ujarnya.
Bersama teman-temannya, Maria membentuk sebuah jaringan studi dua tahun silam. Salah satu aktivitasnya mewawancarai Benny, ayah Maria. Bagi Maria, proses ini tidaklah mudah. Menjelang wawancara, keraguan menyelimuti benaknya. Apakah ayahnya bersedia bicara terus-terang? Apakah dirinya bisa menerima kenyataan jika ayahnya berterus-terang?
Kisah Benny bermula tak lama setelah G30S pecah di Jakarta. Dia mendapat perintah dari atasan untuk menghabisi semua orang PKI di daerahnya. “Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya pada kami.”
Benny baru setahun jadi polisi. Usianya masih muda, 22 tahun. Meski ragu, Benny menjalankan perintah itu. Menangkap lalu mengeksekusi orang-orang yang dicap sebagai PKI. Benny ingat, 17 nyawa meregang di tangannya. “Tapi jauh di dasar nurani, saya yakin kebanyakan orang-orang itu tidak bersalah,” ujar Benny.
Benny mengalami konflik batin. Dia stres, bahkan hampir gila. “Saya merasa tidak aman. Bagaimanapun juga saya telah membunuh orang.”
Melalui jalan panjang berliku, semisal mengikuti ritual anjuran temannya atau “mempersembahkan” anaknya untuk Tuhan, Benny akhirnya bisa “berdamai dengan dirinya sendiri”. Penyerahan diri kepada Tuhan menjadi obat mujarab baginya. Kondisi psikisnya perlahan membaik.
Maria ikut memikul masa lalu ayahnya. Dia mengalami beban psikologis. Setelah mewawancarai ayahnya, perasaannya plong. Bebannya berkurang.
Setelah itu, dia dan teman-temannya menemui para keluarga korban, menggali kisah-kisah duka yang selama ini terpendam. Harapan mereka, minimal beban psikis yang dipikul para korban bisa berkurang.
Kisah Maria dan ayahnya ditulis Nina Junita dengan judul “Mencari Penyembuhan”. Ini hanyalah satu dari banyak kisah kegetiran para penyintas yang termuat dalam buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66. Seperti sebuah film, masing-masing kisah memainkan plotnya sendiri, lengkap dengan bobotnya sendiri-sendiri.
Kisah Benny mewakili kegetiran “pemenang”. Kisah-kisah lain mewakili kegetiran mereka yang dikalahkan, yang tak kalah –kalau bukan jauh lebih– menyakitkan dari apa yang Benny alami. Malahan banyak dari korban harus menanggung penderitaan hingga kini, setelah melewati penahanan zonder pengadilan.
Lestari, misalnya, kini menghabiskan hari tuanya di sebuah panti jompo di Jakarta. Statusnya sebagai “Eks Tapol” (ET) membuatnya enggan ikut anak-anaknya; takut membebani mereka. Perjuangannya di masa lalu untuk memajukan kaum perempuan melalui Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) di Surabaya, dibayar rezim Orde Baru dengan pengejaran, penahanan, penyiksaan, dan pengucilan. Dia harus berpisah dengan anak-anaknya, juga suaminya –yang kemudian meninggal dunia di tahanan setelah mendapatkan berbagai siksaan.
Lestari ditahan di sebuah penjara wanita di Malang. Dia dimasukkan ke golongan B. Selnya berukuran 25 m2, dihuni delapan orang. Mereka tidur saling memunggungi untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya hawa Malang. “Tidak seperti tahanan lain, kami berdelapan ditempatkan dalam satu tempat, kami diisolasi karena dianggap berbahaya bagi tahanan lain.”
Penderitaannya selama di penjara berakhir ketika dia dibebaskan pada 31 Desember 1979. Tapi kebebasan masih belum menjadi miliknya. Dia tetap harus menjalani wajib lapor dan mengikuti santiaji hingga beberapa tahun.
Nasib tak kalah buruk juga dialami Ketut Sumarta, seniman asal Gianyar. Karena aktivitas berkeseniannya, dia ditangkap dan disiksa di sebuah rumah bengkel. Dia dianggap merencanakan makar, padahal, “Saya hanya seorang tukang menyanyi dalam pementasan Janger.”
Dia dipaksa menandatangani berkas-berkas yang mereka tak pahami isinya. Selanjutnya, “menjalani hari demi hari penyiksaan yang seakan tak ada habisnya sudah menjadi semacam rutinitas bagi saya dan tahanan lainnya,” ujar Ketut. Ketut bebas pada Desember 1977.
Lestari, Ketut, dan mereka “yang dikalahkan” sangatlah menderita. Siksaan serta kehilangan harta-benda dan orang-orang tercinta mungkin sudah menjadi masa lalu yang ingin mereka lupakan. Tapi penderitaan mereka belumlah berakhir. Mereka masih menanggung stigma dan diskriminasi dari penguasa dan sebagian masyarakat.
Hanya saja, perlu waktu dan usaha ekstra keras. Dan yang tak kalah penting, kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan orang-orang dari kalangan “pemenang”. Tanpa kerjasama kerjasama dua pihak yang disebut terakhir, mustahil “trauma” sejarah bangsa bisa disembuhkan.
Kehadiran buku ini penting bagi upaya penyembuhan trauma dan luka negeri ini. Buku ini menambah amunisi bagi perjuangan berbagai pihak sejak beberapa tahun silam. Kisah-kisah getir yang diceritakan para korban, yang tak mungkin bisa keluar semasa Orde Baru, cepat atau lambat akan membuka cakrawala pemikiran dan mengetuk nurani para pembaca dan siapapun yang ingin Indonesia lebih baik di masa datang.
“Tanpa keberanian berkonfrontasi dengan masa lalu yang pahit dan mengupayakan damai yang sesungguhnya dengan mendengar carita para korban dan keluarga mereka, penyembuhan yang dicari hanyalah semu.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar