Ketika Karya Pramoedya Diakui Dunia
Pram berkali-kali masuk nominasi peraih Nobel bidang sastra. Tapi, ketika menerima penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina bikin geger se-Indonesia karena direcoki sastrawan dalam negeri.
DI masa tuanya, Pramoedya Ananta Toer bahkan masih dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel bidang sastra. Pada 2004, Pram diundang ke Norwegia, salah satu negara penyelenggara penobatan penerima hadiah Nobel. Namun, Pram tak bisa berangkat karena alasan kesehatannya. Hingga akhir hayatnya, Pram tidak pernah merengkuh penghargaan tertinggi dunia bidang sastra itu kendati dirinya disebut-sebut layak menerimanya.
“Buat saya tidak ada artinya apa-apa, mungkin itu sebabnya mengapa saya tidak terlalu mengharapkan untuk mendapatkannya. Kalau dapat penghargaan seperti itu, berarti buku-buku Anda lebih banyak laku. Dan kalau saya mendapatkan hadiah uang, saya akan menggunakannya untuk menyelesaikan proyek penulisan ensiklopedia saya,” kata Pram dalam suatu wawancara pada 2004 kepada Andre Vitchek dan Rossie Indira yang dibukukan, Saya Terbakar Amarah Sendirian.
Sejak bebas dari penjara tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, nama Pram memang selalu masuk nominasi penerima Nobel Sastra. Pengakuan terhadap Pram senafas dengan dedikasinya sebagai sastrawan yang telah melahirkan sejumlah karya sastra bermutu tinggi. Berbagai karyanya juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain Perburuan, Keluarga Gerilya, Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca).
Baca juga: Mengenang Karya Pram yang Hilang
Pada 1988, Pram mendapatkan penghargaan Freedom to Write dari PEN American Center Amerika Serikat (AS). Setahun berselang, Pram menerima lagi penghargaan dari AS, The Fund for Free Expression. Namun, yang paling bikin heboh ketika Pram dinobatkan sebagai penerima Ramon Magsaysay Award dari Filipina. Ini adalah penghargaan tertinggi bidang sastra dan jurnalistik level Asia.
Berita mengejutkan itu tersiar ke Indonesia pada Juli 1995. “Pramoedya Dianugerahi Penghargaan Magsaysay,” demikian dilansir Kompas, 20 Juli 1995.
Yayasan Ramon Magsaysay telah lebih dulu mengumumkannya di Manila pada 19 Juli 1995. Selain Pram, ada empat tokoh Asia lain yang menerima penghargaan itu dan diundang menghadiri seromoninya di Manila pada akhir Agustus.
Yayasan Ramon Magsaysay menilai Pram telah menghasilkan karya-karya unggul mengenai kebangkitan sejarah dan pengalaman modern masyrakat Indonesia. Meskipun bernuasa Indonesia, cerita yang diusung Pram dalam karyanya berbicara fasih tentang kondisi manusia universal serta sarat nilai-nilai humanisme. Sebagai penerima penghargaan Ramon Magsaysay, Pram dihadiahi medali bergambar Presiden ketiga Filipina Ramon Magsaysay dan uang sejumlah 50.000 dolar AS. Dengan demikian, Pram menjadi orang Indonesia kesepuluh yang menerima penghargaan tersebut setelah HB Jassin, Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Johana Sunarti Nasution, Anton Sudjawawo, pasangan Ben Mboi dan Nafsiah Mboi, serta Abdurrahman Wahid.
“Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa, dipilih sebagai tokoh yang akan mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay untuk penulisan jurnalistik dan sastra. Dengan demikian Pramoedya menjadi orang Indonesia kesepuluh menerima penghargaan Magsaysay, yang sering dianggap sebagai hadiah Nobel versi Asia,” terang Kompas, 20 Juli 1995.
Baca juga: Nobel, Hadiah Atas Rasa Kemanusiaan
Ada yang jengkel dengan prestasi yang ditorehkan Pramoedya di kancah dunia itu. Ia tak lain Mochtar Lubis. Pada 1958, Mochtar Lubis menerima hadiah Ramon Magsaysay untuk kategori yang sama dengan Pram. Mochtar Lubis muntab begitu mengetahui Pram juga dianugerahi penghargaan slot gacor yang pernah diraihnya itu. Pendiri suratkabar Indonesia Raya itu kemudian berinisiatif berkirim pesan kepada Dewan Magsaysay untuk mempertimbangkan penghargaaan kepada Pram. Pesan bersayap juga disampaikan Lubis bahwa dia akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya andai kata penghargaan terhadap Pram terus berlajut.
Menurut Mochtar Lubis, semasa bernaung di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada dekade 1960, Pram acap kali menyerang sastrawan yang tidak sehaluan dengannya. Mereka yang mengusung konsep humanisme universal disebut Pram tidak istmewa, malahan berbau kolonialisme. Kritikan Pram itu dituliskan secara intens dalam lembar kebudayaan “Lentera” yang dimuat suratkabar Bintang Timur. Pertentangan tentang konsep idealisme Pram dalam bersastra menjalar jadi friksi dengan sejumlah sastrawan yang tergabung dalam kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu).
“Saya tidak bisa memisahkan sastrawan sebagai manusia dengan karya yang dihasilkannya. Kalau karyanya bagus, tapi perbuatannya sendiri menindas manusia lain, apa masih pantas diberi penghargaan,” cecar Mochtar Lubis dalam Berita Yudha, 1 September 1995. “Piagam Magsaysay bagi saya tidak ada artinya kalau orang yang menindas hak berkreatifivitas seniman justru mendapat hadiah.”
Baca juga: Pramoedya, Lekra, dan Lentera
Sikap Mochtar Lubis rupanya juga diikuti oleh sejumlah rekan sastrawan yang lain. Kebanyakan dari kalangan Manikebu yang dulu pernah berseteru dengan Pram. Mereka antara lain: Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, HB Jassin, Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, Asrul Sani, Wiratmo Soekito, WS Rendra, Yunan Helmy Nasution, Bokor Hutasuhut, DS Moeljanto, Misbach Yusa Biran, SM Ardan, Lukman Ali, Sori Siregar, Leon Agusta, Syu'bah Asa, Rachmat Djoko Pradopo, Danarto, Abdul Rahman Saleh, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranagara, Budiman S Hartoyo, Slamet Sukirnanto, dan Mochtar Pabottingi. Ke-26 sastrawan itu sepakat melayangkan petisi untuk menolak hadiah Ramon Magsaysay atas nama Pramoedya Anantara Toer.
“Kami khawatir, pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia,” tegas mereka dalam pernyataan petisi seperti diwartakan Kompas, 5 Agustus 1995.
Tidak hanya para sastrawan, militer pun turun tangan untuk menggagalkan Pram ke Manila untuk menerima hadiah Magsaysay. Sebulan sebelum prosesi penyerahan hadiah Magsaysay, perintah cekal telah dikeluarkan untuk Pram. Pencekalan terhadap Pram ini, seperti diakui oleh Kasospol ABRI Letjen TNI M. Ma'ruf dalam Berita Yudha, 28 Juli 1995 yang mengatakan, “Sebelum dia menerima penghargaan tersebut dia sudah terkena cegah dan tangkal (cekal) lebih dulu.”
Baca juga: Ketika Bang Ali Dihalang-halangi
Kendati demikian, beberapa sastrawan yang dulu juga pernah berseberangan dengan Pram, mendukung Pram dalam polemik hadiah Magsaysay. Mereka antara lain Arief Budiman, Ajip Rosidi, dan Goenawan Mohammad. Pada akhirnya, mereka yang menentang kepantasan Pram soal hadiah Magsaysay hanya bisa gigit jari. Dewan Magsaysay tetap pada putusannya menobatkan Pram sebagai penerima hadiah Magsaysay 1995. Sementara itu, Mochtar Lubis mengembalikan medali emas dan piagam Ramon Magsaysay miliknya ke pihak yayasan di Manila. Adapun hadiah uang sejumlah 10.000 dolar AS yang diterima Lubis juga akan dikembalikannya, tapi secara mencicil karena sudah habis dipakai.
Pram menerima penghargaan Ramon Magsaysay diwakili oleh istrinya Maemunah Thamrin yang datang ke Manila pada 31 Agustus 1995. Dari penghargaan itu, Pram mengaku dalam penuturannya seperti ditulis adiknya Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, menerima uang sebesar 35.000 dolar AS. Sebagian digunakan untuk membantu membiayai pembangunan rumah hari tuanya yang rindang di Bojonggede, Bogor.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar