Kala Fisik Jadi Bahan Tawa
Slapstick jadi bahan pengocok perut di dalam film Indonesia.
Film komedi kembali naik daun. Beberapa film komedi sudah dan siap tayang di bioskop. Namun tampaknya slapstick masih menjadi bumbu untuk merangsang tawa penonton. Tak beda dari film komedi 1970-an.
Lihat saja misalnya film komedi-aksi Partikelir (2018) garapan komika Pandji Pragiwaksono. Film itu berkisah tentang penyelidikan dua detektif, Adri (Pandji) dan Jaka (Deva Mahendra) terhadap kasus pembunuhan, yang merembet ke pembongkaran bisnis narkotika. Salah satu adegannya, Gading Marten yang berperan sebagai bos Adri dan Jaka terjatuh saat hendak duduk di kursi. Persis lawakan Srimulat.
Adegan lainnya ketika Adri dan Jaka menginterogasi seorang penjahat. Bukan dengan pukulan, tapi karet gelang diselepet ke tubuh penjahat itu berkali-kali.
Menurut Ilham Zoebazary dalam Kamus Istilah Televisi & Film, slapstick merupakan cerita komedi yang menghasilkan kelucuan dengan cara mengeksplorasi fisik para tokohnya, atau terjadinya interaksi fisik antara seorang tokoh dan tokoh lainnya secara berlebihan.
Di industri film, slapstick merupakan produk gaya komedi yang muncul pada 1920-an di Hollywood. Arwah Setiawan dalam Humor Zaman Edan menyebut, Mack Sennett, Harold Llyoid, dan Charlie Chaplin merupakan pelopor humor “kasar”, yang dipenuhi rusak-rusakan, saling lempar kue, gebuk-gebukan, kejar-kejaran, dan hancur-hancuran barang.
Sebagai catatan, di era tersebut teknologi film bersuara belum ditemukan. Jadi, gaya humor yang mengandalkan interaksi fisik antartokoh sangat ditekankan, karena tak ada dialog atau suara.
Interaksi Fisik, Bahan Tertawa
Akar slapstick di Indonesia bisa dilihat jejaknya dari teater rakyat. A. Kasim Achmad dalam tulisannya di Ekspres edisi 28 April 1972 menyebut, adanya tokoh pelawak di antara deretan tokoh-tokoh pendukung cerita merupakan ciri khas teater rakyat.
“Segala tingkah lakunya, caranya berbicara, dialog-dialog yang diucapkan yang meskipun dilakukan secara spontan, semua itu selalu menimbulkan tertawaan para penonton. Bahkan bentuk tubuhnya serta pakaian yang digunakan sudah dapat menimbulkan tertawaan pada penonton,” tulis Kasim Achmad.
Menurut Kasim, biasanya tokoh pelawak itu berperan sebagai abdi, pesuruh, atau pembantu. Dari tulisan Kasim tadi, unsur slapstick bisa ditemukan di dalam kelucuan yang berdasarkan bentuk tubuh dan pakaian.
Teater rakyat yang memiliki unsur slapstick antara lain ketoprak dan ludruk. Menurut James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi, pemain dagelan pada ludruk kerap menampilkan tingkah kekanak-kanakan. Mereka menangis, memakai bedak bayi, ataupun makan secara rakus. Hal-hal itu menjadi bahan tertawaan penonton dan ledekan lawan main mereka.
Tradisi slapstick dilanjutkan Srimulat, sebuah kelompok lawak yang didirikan R.A. Srimulat dan Teguh Raharjo pada 1950. Menurut James Danandjaja dalam pengantar buku Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur, lakon Srimulat selalu dicairkan dengan lawakan yang bersifat slapstick, yakni lawakan yang disertai gerak isyarat dan bahasa tubuh kocak maupun kasar; pukul-pukulan, keplak-keplakan, dan sebagainya.
“Lawakan semacam ini biasanya sangat digemari anak-anak atau orang-orang dari kelas menengah ke bawah, karena dapat mengendurkan syaraf yang tegang, serta dapat melampiaskan perasaan agretivitas secara aman,” tulis James.
Slapstick dalam Film Komedi
Slapstick merambah dunia film. Film Benyamin S, selain menghadirkan dialog prokem, juga memunculkan komedi slapstick. Misalnya, dalam film Ratu Amplop (1974). Ratmi B-29, yang muncul di panggung saat pemilihan Ratu Tunggal, diteriaki pelawak Eddy Gombloh dengan kata yang menjurus ke fisik: “Ratu badak! Gajah bengkak!” Kelemahan fisik Ratmi menjadi bumbu kelucuan film itu.
Film Benyamin lainnya juga menjual slapstick kasar. Misalnya dalam film Buaye Gile (1974). Di film itu, Benyamin ditinju Hamid Arief, karena layangannya yang nyangkut malah kena kepala Hamid. Lantas, Benyamin lari dan menabrak pohon pisang hingga terjatuh.
Garin Nugroho dan Dyna Herlina S dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia menyebut, grup lawak Warkop DKI ―sebelumnya Warkop Prambors― merajai film komedi slapstick. Di film pertamanya, Mana Tahan (1979), Warkop DKI sudah memunculkan hinaan fisik sebagai bumbu pengocok perut.
“Nggak, melihat wajah kau, aku jadi ingat sebuah kendaraan umum,” kata Poltak (Nanu) kepada Slamet (Dono).
“Orang bilang tampang saya mirip Mercy Tiger,” ujar Slamet.
“Hahaha Mercy Tiger, muke lo kayak kendaraan roda tiga. Bemo. Yang jalannya krek krek krek krek,” kata Sarwani (Kasino).
Dalam buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main yang disunting Rudy Badil dan Indro Warkop, dari sini bermula panggilan “bemo” yang sering diteriakkan para penggemar film Warkop saat jumpa Dono. Gigi tonggos Dono dieksplorasi sebagai bahan banyolan di sejumlah judul film Warkop DKI.
Konsep bermain-main dengan fisik seseorang, terutama ―maaf― gigi tonggos terus dilanjutkan Warkop DKI. Namun, lambat-laun Dono tak lagi jadi objek penderita. Pada 1990-an, target olok-olok mengarah ke pemain figuran Diding Boneng. Semisal di film Lupa Aturan Main (1991). Saat gigi Boneng terlihat, keluar kilapan cahaya. Hingga akhirnya orang yang memiliki gigi “maju” lantas disebut Boneng.
Selain dialog slapstick, film Warkop menonjolkan interaksi fisik yang kasar untuk merangsang orang tertawa. Misalnya di film Maju Kena Mundur Kena (1983). Pak Us Us, pemilik kos-kosan tempat Dono, Kasino, Indro menetap, kali ini yang menjadi bulan-bulanan. Misalnya, adegan ketika Pak Us Us disiram kopi basi oleh Dono, yang tak tahu dia sedang memperbaiki wastafel.
Slapstick, Humor Norak?
Banyak orang memandang slapstick sebagai humor murahan dan norak. Sejatinya tak sesederhana itu. Menurut Arwah Setiawan, orang-orang yang memandang slapstick sebagai paria dunia humor cenderung mengabaikan fakta kalau komedi yang dianggap paling bermutu pun hampir selalu mengandung unsur slapstick.
Arwah memberikan contoh film Some Like It Hot (1959) arahan Billy Wilder. Menurutnya, akting Tony Curtis dan Jack Lemmon di film itu penuh adegan slapstick.
“Lengkap dengan pria yang berpakaian wanita itu sebagai komedi yang norak, walaupun ia sarat dengan unsur humor kasar. Film tersebut bahkan banyak dianggap memenuhi standar film classic Hollywood,” tulis Arwah.
Setelah generasi Warkop DKI, sejumlah grup lawak masih mengandalkan humor slapstick. Biasanya metodenya sama. Tiga anggota, dengan satu objek penderita.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar