Derita Anak Pramoedya dan Slank
Menjauhi dunia tulis-menulis, Yudistira Ananta Toer mendekatkan diri pada musik sejak remaja, saat dirinya merasakan perlakuan diskriminatif di masyarakat.
DIRINYA masih bayi ketika ayahnya, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), ditahan sebagai tahanan politik (tapol) tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru. Bersama saudarinya dan ibunya, Siti Maemunah Thamrin, dia hidup dalam kesulitan sepanjang ayahnya ditahan.
Baru pada 1979, ketika usianya sekitar 14 tahun, ayahnya dibebaskan dari Pulau Buru nun jauh di Maluku. Namun bebasnya sang ayah tak berarti masa remaja Yudistira Ananta Toer, satu-satunya anak lelaki Pram itu, bebas dari kesulitan. Sebagai anak mantan tapol, dirinya diperlakukan masyarakat bak “orang penyakitan” yang mesti dijauhi.
Yudistira kerap diganggu pemuda seusianya. Suatu kali, dirinya pulang ke rumah dalam keadaan terluka. Namun tak sedikit pun cerita bagaimana dia terluka keluar dari mulutnya hingga Pram menganggap luka itu karena kecelakaan biasa. Padahal, luka itu didapatnya dari tindak kejahatan. Menurutnya, sebuah kelompok mengintimidasinya dengan ancaman akan membuatnya cacat seumur hidup jika tak menuruti mereka.
Ketika sudah belajar SMA di Perguruan Cikini (Percik), nasib Yudistira pun tak jauh beda. Suatu hari, dia pulang ke rumah dalam keadaan babak belur. Namun dia tetap tak cerita mengapa dia babak belur. Padahal, babak belur dirinya bermula dari perlawanannya karena dia tidak tahan dihina sebagai anak tapol yang dicap G30S/PKI oleh orang sebayanya. Tak hanya dirinya yang dihina, ayahnya juga dihina. Lantaran tak tahan, dia melawan hingga akhirnya dikeroyok. Kakinya bahkan dijepitkan di kaki meja oleh pengeroyoknya, lalu si pengeroyok melompat-lompat di atas meja itu.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Begitulah yang dialami Yudistira. Usai dikeroyok itu, Yudistira malah ditangkap polisi meski kemudian dibebaskan sambil diminta tetap wajib lapor.
Di lain waktu, Yudistira pernah berkelahi di sekolah. Entah apa sebabnya, dia dihukum lari keliling lapangan akibat perkelahian itu. Tetapi Yudistira tetap tak mengadukan perlakuan diskriminatif yang diterimanya itu kepada orang-orang di rumahnya. Dia enggan melaporkan deritanya ke ayahnya karena tak mau menambah masalah ayahnya yang lama menderita di penjara Orde Baru. Yudistira paham Pram ayahnya tak kalah menderita darinya.
Dalam “Dialog Kebudayaan Indonesia yang dibayangkan Pramoedya Ananta Toer”, 7 Februari 2025, Ramco Raben menyebutkan bahwa Pram tak hadir dalam masa pertumbuhan anak-anaknya. Ketidakhadiran semacam itu adalah penderitaan bagi kebanyakan ayah.
Kendati begitu, intimidasi tetap belum berhenti mendatanginya. Bahkan setelah Yudistira masuk kampus dan “Geger ‘65”, yang menjadi “biang” dari semua masalah itu, telah lama berlalu.
“Setelah Ali Murtopo mati sekali lagi anak saya yang keempat menyampaikan usaha intimidasi yang dilakukan oleh seorang mahasiswa sekuliahnya. Orang itu memperlihatkan pada anak saya denah rumah kami dan menerangkan siapa-siapa yang meninggali kamar-kamar rumah kami,” cerita Pram dalam suratnya kepada Willem Frederik Wertheim (1907-1998).
Tak hanya Yudistira semata anak Pram yang mengalami intimidasi. Pada 1987, anak kedua Pram ditabrak orang ketika sedang menyeberangi jalan raya hingga dia pingsan 24 jam. Si penabrak kabur tak bertanggungjawab. Peristiwa itu membuat Pram bertanya-tanya apakah itu disengaja pihak lain atau tidak.
Dekade 1980-an adalah era di mana Bumi Manusia, novel karya Pram, terbit dan dilarang penguasa meski laris-manis di pasaran. Penguasa menganggap pena Pram masih seberbahaya bom atom yang dulu dijatuhkan Amerika di Jepang.
Dengan keadaan seperti itu, bagi Pram dekade 1980-an bukan hanya era kesuksesannya dalam berkarya tapi juga sekaligus era bahaya bagi keluarganya. Kejadian-kejadian buruk yang dialami Yudistira membuat Pram berhati-hati. Terlebih ketika Yudistira akan menikah, Pram benar-benar “bersiap”.
“Waktu mengawinkan anak keempat, sengaja saya buat besar-besaran menurut ukuran kemampuan saya, di Masjid Agung Sunda Kelapa, dengan mengundang sejumlah perwakilan dan pers asing, yang ternyata juga datang. Ini terjadi tepat pada hari perayaan nasional Australia. Maksud saya, bila mereka melakukan pengacauan, biarlah insiden yang mungkin bisa terjadi, dapat disaksikan oleh perwakilan dan pers asing,” kata Pram kepada Wertheim.
Bermusik
Sejak kecil, Yudistira menganggap menulis membuat hidupnya dan keluarganya menjadi sulit di zaman Orde Baru. Lagipula, tak ada juga yang mengajarinya menulis. Maka dunia tulis-menulis jauh dari hidup Yudistira. Dia mengisi waktunya di rumah dengan bermain musik.
Kesenangan bermusik Yudistira itu bertambah ketika dia bersekolah di Percik. Sekolah tempat anak-anak pembesar –seperti anak-anak Presiden Sukarno, Yanti putri Jenderal AH Nasution, anak-anak Adam Malik, anak-anak Presiden Soeharto, atau cucu Gubernur DKI Soemarno Sosroatmodjo– belajar itu terkenal melahirkan banyak musisi top tanah air semisal Nasution bersaudara, Chrisye, Eet Syahranie, ataupun Bimo Setiawan Almachzumi yang –cucu Gubernur Soemarno– disapa Bimbim.
Nama yang disebut terakhir merupakan kawan akrab Yudistira. Keduanya tentu juga berkawan dengan murid-murid lain yang suka bermusik. Yudistira dan Bimbim pun main band bareng di Percik.
“Saya waktu itu vokal,” kenang Yudistira seperti disampaikannya kepada Muhidin M Dahlan di Radio Buku.
Nama band mereka adalah Cikini Stone Complex (CSC). Di band itulah Yudistira menumpahkan hasrat seninya.
Namun, pada suatu hari CSC disuruh untuk bubar oleh guru mereka. Sebagai murid mereka tentu tak kuasa melawan guru.
“Sewaktu band sekolah bubar,” kata Yudistira, “beberapa dari kelompok band sekolah itu, seperti Bim Bim dan Welly, membuat grup band baru yang kemudian sekarang dinamai Slank.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar