Dari Lenong ke Politik, Kiprah Pak Tile Engkongnya Si Doel
Seniman Betawi legendaris yang terkenal karena lawakan dan aktingnya yang natural. Setelah sukses memerankan karakter Engkong Ali, Pak Tile coba merambah dunia politik tapi tak lama.
DI teras rumah keluarga Sabeni, Engkong Ali (diperankan H. Tile) dan Mandra sedang ribut-ribut seperti biasanya. Engkong Ali mewejangi Mandra yang masih jomblo alias melajang kendati sudah berusia matang. Namun, Mandra tak terima nasihat babe-nya itu. Engkong Ali pun jadi dongkol.
“Mandra...Mandra... payah lo. Gua seumuran lu jadi anak muda, satu kampung abis gua babat semua. Jandanya, perawannya, nenek-nenek, gue sikat!” tandas Engkong Ali sambil melengos masuk ke dalam rumah.
Begitulah sosok Engkong Ali dalam sinetron keluarga Si Doel Anak Sekolahan yang bicaranya suka nyablak tapi sebenarnya sayang kepada keluarga. Dia dikisahkan sangat sayang kepada kedua cucunya, Kasdullah alias Doel (diperankan Rano Karno) dan Atun (Suti Karno). Doel dan Atun merupakan anak-anak dari Leila (Aminah Cendrakasih) –putri sulung Engkong Ali– dan Sabeni (Benyamin Sueb). Engkong Ali bahkan rela mengeluarkan banyak isi koceknya untuk membelikan Doel sepeda motor dan memodali Atun usaha salon rumahan. Ali juga royal terhadap Rodiah (Hj. Nacih), istri keduanya, yang selalu minta dibelikan ini-itu. Hanya saja, Engkong Ali kerap bertengkar dengan anak bungsunya, Mandra.
Komedian Tanpa Skrip
Lawakan dan celetukan Engkong Ali dalam setiap adegan dialog selalu ditunggu-tunggu penonton. Apalagi Engkong Ali punya mimik wajah yang lucu kalau berbicara. Barangkali karena semua giginya sudah tanggal alis ompong. Jadilah Engkong Ali terlihat seperti seorang kakek-kakek berwajah imut seperti bayi.
Namun, siapa nyana, karakter Engkong Ali yang diperankan Enun Tile Madhami ternyata seorang buta huruf. Orang tentu bertanya-tanya bagaimana dia membaca skrip skenario. Rano Karno sebagai sutradara selalu memberikan keleluasaan pada Enun Tile untuk berimprovisasi. Itulah sebabnya, akting Enun Tile dengan dialek Betawinya yang kental terasa begitu natural dan menghibur penonton.
Enun Tile Madhami bin Bayan, biasa dipanggil Haji Tile atau Pak Tile, merupakan seniman Betawi kelahiran Jakarta, 20 Februari 1933. Sumber lainnya menyebutkannya lahir pada 23 Maret 1933. Dari dialeknya, Tile merupakan penutur Betawi bersubdialek pinggiran, yaitu dengan ciri khas menyebutkan ganti diri pertama tunggal dengan kata gue atau kata dengan akhiran buntut “e”.
Baca juga: Mencegah Kemusnahan Bahasa Betawi
Menurut Klarijn Loven, linguis Belanda yang menjadikan sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebagai studi disertasinya di Universitas Leiden, Enun Tile memiliki latar belakang di dunia teater Betawi. Pak Tile, begitu ia dikenal, adalah seorang Betawi asli yang telah bermain lenong sejak berusia 12 tahun. Namanya mulai terkenal setelah memainkan peran dalam beberapa film dan sinetron pada akhir 1980-an.
Salah satu film yang dibintangi Pak Tile adalah Masuk Kena Keluar Kena yang rilis pada 1992. Dalam film bergenre komedi itu, Pak Tile beradu peran dengan Dono, Kasino, Indro dari grup komedi tersohor Warkop DKI dan artis papan atas masa itu seperti Kiki Fatmala dan Sally Marcellina. Pak Tile sendiri berperan sebagai kepala suku. Dalam sinopsisnya yang ditulis jurnalis senior Eddy Suhardy, dikisahkan Dono, Kasino, Indro, tersesat di sebuah pulau terisolir. Mereka lantas tertangkap oleh penduduk primitif yang semuanya perempuan, dan semuanya seksi. Tentu Dono, Kasino, dan Indro bergirang hati. Apalagi saat hendak dipertemukan dengan kepala sukunya. Mereka pikir, jikalau penduduknya sebegitu cantiknya, apalagi kepala sukunya.
“Dugaan itu melesat. Ternyata kepala sukunya laki-laki tua dan ompong (Pak Tile). Harapan mereka kian kuncup saat hendak dinikahkan dengan anak kepala suku yang gembrot semua,” ulas Eddy Suhardy dalam Warkop: Main-main Jadi Bukan Main suntingan Rudy Badil dan Indro Warkop.
Baca juga: Kasino Sebelum Gabung Warkop
Selain laris di pasaran, film Masuk Kena Keluar Kena masuk dalam salah saru jajaran film terbaik Warkop DKI. Nama Pak Tile pun mulai mencuat sebagai seorang komedian. Sosoknya tambah melejit lagi setelah menjadi bagian dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS). Pak Tile dengan apik memainkan perannya sebagai Engkong Ali.
“Sebelum tampil sebagai Engkong Ali dalam Si Doel, Pak Tile pernah tampil dalam Abunawas, sinetron lain yang berlatar Betawi. Dalam seri (musim) pertama Doel, kakek Doel hanya disebutkan dalam dialog para tokohnya,” terang Klarijn Loven dalam Watching Si Doel: Television, Language and Identity in Contemporary Indonesia.
Merambah Politik
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan mulai tayang di stasiun televisi RCTI pada 1992. Namun, Pak Tile baru bergabung dalam sinetron produksi Karno's Film itu pada musim kedua yang rilis pada 1994. Pak Tile tetap mengisi peran sebagai Engkong Ali hingga musim keempat, tahun 1998. Boleh dikata, puncak kariernya sebagai aktor berlabuh di SDAS.
Sejak kemunculan lakonnya dalam SDAS, Pak Tile memainkan adegan-adegan berkesan yang masih dikenang sampai saat ini. Sebut saja misalnya adegannya saat hendak menikah lagi dengan Rodiah, bertengkar dengan Mandra, dan meminta Leila untuk dibuatkan kopi. Apalagi kalau Engkong Ali sedang bergenit-genit manja dengan Nyak Rodiah yang sudah diperistinya, bikin penonton terbahak-bahak geli. Dialog Pak Tile dengan “sang menantu” Sabeni pun tak kalah kocak. Sosok Engkong Ali semakin kompleks sepeninggal Sabeni (Benyamin wafat pada 1995, SDAS musim ketiga). Tidak hanya menjual komedi, Engkong Ali pun terikat drama karena harus menjadi ayah pengganti bagi Doel dan Atun sehingga kerap kali memicu kecemburuan Mandra.
Baca juga: Benyamin Sueb Penyambung Lidah Orang Betawi
Selain main sinetron, Pak Tile kerap kali menjadi bintang komedi yang diundang dari panggung ke panggung untuk melawak. Kendati popularitasnya sebagai aktor dan komedian kian menanjak, Pak Tile tak larut dalam kehidupan glamor ala selebritas. Hidupnya tetap sederhana bahkan cenderung kere. Pak Tile disebut-sebut tinggal di rumah bedeng triplek di pinggiran rel Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tidak pula seperti kebanyakan seniman maupun pelawak yang digalang partai politik atau sengaja terjun ke dunia politik, ia enggan terikat arus tersebut.
“Politik apaan? Aduh, pusing nih gue kalau ngurusin begituan. Gue di sini kan diundang aja. Politik atau kampanye gue kagak nyambung dah,” kata Pak Tile dalam Berita Yudha, 20 Februari 1997.
Dalam Berita Yudha, 30 April 1997 disebutkan, Pak Tile kerap diajak Rano Karno yang saat itu aktif di Golkar untuk mengkampanyekan program partai. Tak hanya Pak Tile, para pemeran lain seperti Mandra dan Basuki juga turut diajak disela-sela rehat suting SDAS.
“Bagi Rano, keterlibatan awak SDAS dalam ikut mengkampanyekan Golkar juga sangat menentukan keberhasilan kampanye yang dilakukannya. Untuk itu ia juga mengajak Mandra, Basuki, Pak Tile serta beberapa artis lainnya,” lansir Berita Yudha.
Baca juga: Sabotase Kampanye Golkar
Namun, memasuki 1998, Pak Tile terpikat juga untuk merambah peruntungan ke politik. Seperti diwartakan Kompas, 26 Agustus 1998, di balik lesunya pentas akibat krisis moneter, Pak Tile melakoni kesibukan yang membuat dirinya tetap bahagia dan merasa awet muda. Di masa senjanya itu, Pak Tile aktif sebagai simpatisan Partai Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI). Hampir di setiap kunjungan Ketua Umum DPP PPRI Dr Syarifuddin MBA ke daerah, Pak Tile selalu ikut.
“Usia boleh menjelang magrib, tapi semangat tak boleh kalah dari anak muda. Bergabung dengan anak-anak muda yang penuh semangat, rasanya gue tetap muda, he... he...,” ungkapnya dengan sedikit terkekeh di Ciwidey (Jabar) saat pelantikan Pengurus DPC PPRI Kabupaten Bandung, seperti dikutip Kompas.
Kendati demikian, aktivitas Pak Tile di partai politik mengusung misi untuk memajukan kesenian. Dia berharap agar seluruh partai tidak hanya berorientasi politik belaka, tetapi juga memperhatikan kehidupan seni-budaya. Ihwal bergabungnya di PPRI, Pak Tile menghubungkan alasannya dengan kematian istrinya.
“Istri gue meninggal 27 Juli 1996, bertepatan peristiwa kerusuhan di Kantor DPP PDI Jakarta. Kebetulan gue lebih pro kepada PDI Perjuangan. Tapi, untuk lebih netralnya, mending bergabung dengan Partai Perjuangan Rakyat Indonesia. Yang penting 'kan sama-sama punya embel-embel 'perjuangan' he... he...,” celetuk Pak Tile yang selalu membanyol itu.
Baca juga: PDI Masukkan Seniman ke Parlemen
Tapi, peruntungan Pak Tile di politik tak bertahan lama. Usianya kian menua dan selayaknya orang lanjut usia, dia mengalami sakit-sakitan. Pada 2 November 1998, Pak Tile wafat dalam usia 65 tahun. Ia meninggal dalam keadaan sederhana.
Menurut Kompas, 4 November 1998, tak banyak harta yang ditinggalkan seniman buta huruf itu pada ahli warisnya. Tempat tinggalnya pun hanya berbentuk sebuah rumah kayu di bantaran rel kereta api Lenteng Agung di atas tanah milik orang lain dengan ongkos sewa Rp.50.000,- per bulan. Pak Tile, ayah dari delapan anak dan 17 cucu, itu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dotchi, Srengseng Sawah, tak jauh dari rumahnya.
Meski tak mewariskan banyak harta, Pak Tile meninggalkan tawa lewat akting dan komedinya. Jejak digitalnya masih dapat dinikmati sampai saat ini dan senantiasa menghibur. Seperti Benyamin S, Haji Bokir, Mpok Nori, dan lainnya, nama Enun Tile Madhami patut disejajarkan sebagai seniman legendaris Betawi.
Baca juga: Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar