CIA dan Lembaga Humor Indonesia
Perhatiannya pada humor mendorongnya mendirikan lembaga humor. Dituduh agen CIA karena bekerja di badan penerangan Amerika Serikat.
Arwah Setiawan bukan pelawak tapi menaruh minat besar pada humor. Dia menyampaikan gagasannya lewat tulisan di berbagai media massa dan ceramah. Bahkan, dia memprakarsai sebuah wadah untuk mengembangkan humor.
Wadah itu, Lembaga Humor Indonesia (LHI), berdiri pada 29 November 1978. Arwah bersama para pengurusnya, antara lain Kris Biantoro, S. Bagyo, G.M. Sidharta, dan Bambang Utomo, menghadap Wakil Presiden Adam Malik.
“Tak jelas benar, apakah dalam acara berbincang-bincang itu muncul hal-hal lucu,” sebut buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981–1982.
“Belum jauh melangkah,” lanjut buku itu, “Arwah menerima ‘gelitikan’ pertama dari kalangan pelawak. Dia dituduh agen CIA, dinas mata-mata Amerika yang tersohor itu.”
Tidak hanya Arwah, Kris Biantoro juga dituduh agen CIA. Akibatnya, hubungan dia dan TVRI memburuk. Para peniup isu itu menyoroti kegiatannya di LHI. Media massa ikut berteriak tentang “subversi kebudayaan Indonesia”. CIA dan jaring-jaring aktivitasnya yang melibatkan LHI dikupas ramai-ramai.
“Nama Arwah disebut-sebut, nama saya pun begitu. Dalam prosesnya, nama saya jauh lebih ditonjolkan ketimbang nama siapa pun. Saya tentu saja cuma bisa terheran-heran. Sehebat itukah saya sehingga CIA berkenan memakai saya untuk menyubversi kebudayaan Indonesia?” kata Kris Biantoro dalam otobiografinya, Manisnya Ditolak.
Kerja di USIS
Arwah Setiawan lahir di Sidoarjo, Jawa Tengah, 8 Maret 1936. Dia menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (1969–1970). Lembaga ini bagian dari USIS (United States Information Service) atau badan penerangan Amerika Serikat.
Selanjutnya, Arwah bekerja sebagai Information Assistant di USIS Surabaya (1969–1970), kemudian pindah ke USIS Jakarta sebagai Senior Information Specialist (1970–1971). Karena pekerjaannya inilah dia dituduh agen CIA.
USIS merupakan perpanjangan tangan dari USIA (United States Information Agency) yang didirikan di berbagai negara. USIS di Indonesia pernah ditutup oleh Presiden Sukarno pada 1965. Dibuka kembali setelah Sukarno jatuh dari kekuasaannya.
Baca juga: USIS dan CIA di Indonesia
Sejarawan Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns, menyebut bahwa USIA bertugas melakukan diplomasi budaya yang menekankan keunggulan kapitalisme, demokrasi, dan modernisasi ala Amerika, serta anti-komunisme. Kampanye USIA dilakukan secara terbuka lewat berbagai media, seperti film, buku, surat kabar, dan majalah. Sedangkan diplomasi budaya melawan komunisme yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yaitu melalui CCF (Congress for Cultural Freedom) yang didanai oleh CIA.
Pada 1971, USIS Jakarta menerbitkan majalah Titian. Arwah menjadi redakturnya. Majalah itu disebut dalam laporan USIA Appropriations Authorization, Fiscal Year 1973: “USIS Jakarta baru-baru ini mulai menerbitkan majalah baru berbahasa Indonesia, Titian (Jembatan). Ini diterima dengan sangat baik, dan salah satu intelektual terkemuka menyebutnya sebagai publikasi terbaik dari jenisnya di Indonesia saat ini.”
Mochtar Pabottingi dalam Burung-Burung Cakrawala menyebut bahwa Titian adalah majalah ilmiah tersier dalam sajian luks populer yang diterbitkan oleh USIS. Majalah eksklusif yang cukup profesional ini diperuntukan bagi kalangan akademisi, pejabat tinggi pemerintahan, eksekutif bisnis, dan kaum cendekiawan. Selama bertahun-tahun Titian dikenal cukup luas dan merupakan salah satu terbitan bergengsi di tingkat nasional.
“Sekitar Maret 1975 aku pindah ke majalah Titian. Aku menjadi co-editor Mas Arwah Setiawan, yang sangat berminat pada masalah-masalah humor,” kata Mochtar.
Mochtar bekerja di Titian sampai Februari 1977. Ada peristiwa yang membuatnya kehilangan selera untuk terus bekerja di bawah otoritas USIS. Pemimpin USIS, Bernard Levin, mempertanyakan terjemahan artikel yang disunting Mochtar. Artikel tentang konflik Palestina-Israel itu ditulis oleh David Newsom, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Kata-kata yang dipersoalkan adalah “Palestine which is now Israel”. Levin mempertanyakan mengapa Mochtar tidak mengikuti arti harfiah dari teks aslinya. Sedangkan Mochtar menyuntingnya menjadi “Palestina yang sekarang diduduki oleh Israel”.
“Bagiku kata-kata ‘Palestine which is now Israel’ adalah suatu kesimpulan yang tidak faktual, melainkan juga sewenang-wenang, dan sama sekali tidak logis,” kata Mochtar. “Teks asli itu mengandung arti bahwa Palestina sudah tidak ada.”
Setelah keluar dari majalah Titian, Mochtar diterima sebagai calon pegawai negeri sipil pada Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas LIPI) pada Maret 1977. Dia menerima gaji Rp30.000, kurang dari sepersepuluh gaji yang diterimanya di Titian. Pada 2006, dia termasuk Ahli Peneliti Utama yang dilantik menjadi Profesor Riset pertama LIPI.
Semetara itu, kata Mochtar, setelah pensiun dari USIS, Arwah menerbitkan majalah humor, Astaga. Sebenarnya, Arwah menghidupkan Astaga yang mati setelah terbit lima nomor, bersamaan ketika dia menjadi redaktur di Titian. Namun, di tangan Arwah pun, Astaga tak bertahan lama (1975–1976).
Kegiatan LHI
Setelah keluar dari Titian, Arwah mendirikan dan memimpin Lembaga Humor Indonesia (LHI) pada 1978. Program LHI cukup meyakinkan, mencakup penerbitan, bank naskah, festival humor tahunan, seminar, pameran, dokumentasi, dan akademi humor.
Kegiatan LHI yang berhasil diselenggarakan antara lain pagelaran Wayang Lucu di Jakarta pada Juni 1980, seminar humor dan masyarakat pada 18–19 Desember 1981 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dan pameran besar karikatur di Ancol.
Arwah dan G.M. Sidharta, karikaturis harian Kompas, mengajak karikaturis Augustin Sibarani untuk ikut serta dalam pameran karikatur itu. Sibarani segera menyiapkan karikatur dan menyerahkannya kepada panitia pameran di Ancol. Namun, beberapa hari menjelang pameran, Arwah dan Sidharta memberitahukan bahwa Sibarani tidak boleh ikut serta atas perintah Menteri Penerangan Harmoko. Kalau Sibarani diikutsertakan, Harmoko tidak mau membuka pameran itu.
Baca juga: CIA dan Karikatur Bintang Timur
Meski tak ikut serta dalam pameran, Sibarani tetap datang ke Ancol. “Rasanya saya ingin benar bisa menempeleng Harmoko. Saya mengenalnya, sejak dia menjadi korektor di harian Merdeka yang kemudian membuat karikatur-karikatur yang buruk tak bermutu,” kata Sibarani dalam memoarnya, Karikatur dan Politik.
Sibarani juga mendengar pidato Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Zulharmans yang mengatakan, “hanya karikaturis Pancasila saja yang boleh ikut pameran”.
Pada saat memimpin LHI ini Arwah dituduh oleh kalangan pelawak sebagai agen CIA karena dia bekerja di lembaga Amerika Serikat, USIS. Meski Arwah sempat terkejut, tuduhan itu tak sampai berlarut-larut.
“Dia heran mengapa sampai dituduh demikian, padahal [menurutnya] ‘lawak itu jenis kritik yang mengendurkan…Memperolok tapi tidak memborok’. Kedua belah pihak kemudian berbaikan,” demikian disebut dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981–1982.
Arwah Setiawan meninggal pada 18 April 1995 di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta, setelah menjalani perawatan karena mengalami stroke. Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Kampung Kandang, Jakarta Selatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar