Tradisi Minum Tuak Zaman Mataram Kuno
Tuak kerap jadi sugguhan berbagai kalangan dalam upacara penetapan sima, prosesi sumpah dan kutukan, dan hiburan.
RAJA Mataram, Rake Watukura Dyah Balitung (898-911), mengutus Rakryan Watu Tihang Pu Sanggramadhurandhara meresmikan tanah, bangunan suci dan sawah di wilayah desa Taji menjadi daerah perdikan (bebas pajak). Para pejabat di tingkat pusat, tingkat desa, saksi dari desa tetangga, dan penduduk desa Taji, turut hadir mengikuti upacara penetapan sima itu.
Setelah upacara selesai, tersuguh hidangan berupa nasi dengan lauk -pauk daging kerbau, ayam, ikan asin, dan telur. Tak lupa minuman tuak (twak). Minuman ini acapkali menjadi suguhan pada prosesi penetapan sima. Informasi awal mengenai prosesi penetapan sima yang menyuguhkan tuak, tersua dalam prasasti Taji yang dikelurakan pada tahun 823 Caka atau 901 M. Tuak juga tercatat dalam prasasti-prasasti lain, yang dikeluarkan dari masa Dyah Balitung hingga Pu Sindok.
Selain penetapan sima, tuak dan minuman keras lainnya disajikan setelah prosesi sumpah dan kutukan. Tuak juga ditenggak selagi menikmati pertunjukan topeng, lawak, dan wayang.
Secara umum, menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, minuman yang mengandung alkohol atau minuman keras biasanya disebut madya yang dibuat dari pohon palem bernama sajeng. Dan semua yang disebut sajeng adalah tuak, waragang, badyag, tuak tal, budur.
Perbedaan antara tuak dan tuak tal terdapat dalam teks Nagarakretagama. Dalam naskah gubahan Mpu Prapanca bertarikh 1365 M ini, terdapat dua jenis tuak: twak nyu (kelapa) dan twak siwalan. “Bahan yang digunakan untuk membuat tuak kelapa ialah air kelapa (cocos nucifera linn), sedangkan tuak siwalan atau terkadang disebut tuak tal berbahan air siwalan atau tal (borassus flabelliber linn),” ujar Titi kepada Historia.
Berita Tiongkok masa Dinasti T’ang (618-907) memuat proses pembuatan tuak kelapa di Ka-ling (merujuk wilayah Jawa). “Mereka membuat arak (tuak, red) dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Rasanya manis dan memabukan,” tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.
Menurut Titi Surti Nastiti dalam “Minuman Pada Masa Jawa Kuno,” Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4-7 Juli 1989, adapun wadah yang digunakan untuk meminum tuak beragam jenisnya. “Dalam teks Decawarnana (Nagarakretagama, red), tersua bahwa tuak kelapa, tuak siwalan, arak, hano, kilang brem, juga tampo disajikan wadah berbahan emas.”
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar