Cara Bang Ali Hadapi Waria
Mereka juga manusia, dan mereka juga penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka juga.
Mengetahui populasi bencong tumbuh pesat pada pengujung era 1960-an, pemerintah daerah Jakarta mendata mereka. “Di Jakarta terdapat 15.000 banci,” tulis Kompas, 15 Agustus 1968, mengutip keterangan pemerintah.
Bencong di Jakarta terdiri atas empat kelompok. “Bencong abadi dan bencong separuh… bencong bantet (bencong gagal)… bencong single fighter… bencong yang bersembunyi..,” tulis Djaja, 2 November 1968. Masing-masing mempunyai ciri khas.
Kelompok bencong abadi berciri mengenakan busana perempuan dalam keseharian. Bencong separuh hanya memakai busana perempuan pada waktu tertentu. Bencong bantet biasanya layu sebelum berkembang dan kembali jadi lelaki. Bencong terselubung pandai menutupi kebencongannya.
Orientasi seksual kelompok bencong itu beragam. Mereka tak selalu berhubungan seks dengan lelaki. Kadangkala juga masih mau berhubungan seks dengan perempuan. Biasanya ini terjadi pada kelompok bencong separuh dan bencong bantet.
Kelompok bencong penuh dan terselubung hanya memiliki orientasi seksual terhadap lelaki. Kelompok ini memosisikan dirinya sebagai perempuan. Dan mereka menyebut suaminya sebagai lekong (pergeseran dari kata ‘laki’).
Baca juga: Takdir Waria di Persimpangan Jalan
Menganggap bencong tetap sebagai lelaki, khalayak sering menyamakan bencong dengan homoseksual. Bencong menolaknya mentah-mentah. “Pada umumnya para bencong menarik garis pemisah yang tegas dengan golongan homo dan merasa tidak senang kalau dinamakan homoseksuil… Seorang homo tidak berjiwa wanita, sedangkan bencong berjiwa wanita dan mempraktekkan cara-cara kewanitaan,” tulis Djaja, 9 November 1968.
Latar belakang bencong juga sangat berwarna. Ada bencong hanya tamatan sekolah dasar dan berasal dari keluarga miskin. Mereka biasanya hidup dari jalanan.
Bencong lain justru lahir dari keluarga kaya sehingga berkesempatan mengenyam pendidikan hingga universitas. Mereka menggunakan modal dan kemampuannya untuk membuka salon atau bekerja kantoran. Meski mereka harus menutupi identitasnya.
Kategori-kategori bencong ini terungkap dalam laporan khusus Djaja sepanjang Oktober—November 1968. Laporan ini bertujuan menjelaskan identitas, peran, dan posisi bencong di Indonesia. Djaja berharap khalayak mampu memahami bencong dan pemerintah bisa mengatasi masalah perbencongan dengan bijak.
Kenyataan di lapangan berbeda. Khalayak masih memukul rata semua bencong. Pemerintah tetap menggelar razia sporadis nirkoordinasi. Tanpa menyentuh akar masalah bencong. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta, akhirnya turun tangan.
Ali Sadikin mengumpulkan, menemui, dan mengajak bicara para bencong pada akhir 1968. “Mereka juga manusia, dan mereka juga penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka juga,” kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali : Demi Jakarta karya Ramadhan KH. Bencong merasa terhormat bisa bertatap muka dengan gubernur. Harapan mereka menguar. “Saya minta kepada Pak Ali supaya pada suatu waktu dikeluarkan seruan kepada masyarakat supaya bencong-bencong diterima sebagaimana adanya,” kata seorang Bencong.
Ali Sadikin berpikiran bencong harus berdaya guna, menggali potensinya, berpendidikan, dan bekerja secara halal. Mereka tak boleh melacurkan diri. “Tapi tidak gampang mendapatkan lapangan kerja. Sudahlah, asalkan mereka tidak terlalu mencolok, sudah bagus,” kata Ali Sadikin.
Usai bertemu para bencong, Ali Sadikin mengajukan istilah baru untuk menyebut mereka. Wadam alias wanita adam. “Istilah pertama tanpa nada penghinaan untuk banci..,” tulis Tom Boellstorff. Ali Sadikin juga membolehkan wadam mengelola sebuah bar, Paradise Hall, saat Jakarta Fair berlangsung di Jakarta.
“Belum lama berjalan, Paradise Hall terpaksa ditutup. Ia bangkrut karena kurang pengunjung. Sejak itu para waria kembali berkeliaran ke mana-mana, mencari nafkah,” tulis Kemala Atmojo dalam Kami Bukan Lelaki. Sebagian wadam kembali ke jalur prostitusi. Lapangan Banteng, Monas, Taman Surapati, dan Taman Lawang menjadi pangkalan mereka.
Baca juga: Seni dan Seksualitas
Wadam lain berusaha menjadi penghibur dengan ikut kontes Miss Wadam. Kontes ini memunculkan banyak wadam penghibur profesional. Mereka manggung di hotel dan klub malam secara perorangan atau kelompok.
Wadam penghibur cepat memperoleh popularitas. Bayaran mereka tinggi. Kebutuhan sehari-hari pun terpenuhi. Tapi mereka tak lupa diri. Mereka masih memikirkan nasib rekannya di jalan.
“Menurut para wadam sendiri, satu-satunya jalan untuk mengurangi berkeliarannya wadam-wadam tersebut ialah dengan menampungnya dalam satu wadah yang mempunyai aktivitas-aktivitas kreasi-kreasi sehat..,” tulis Vista No. 13, Februari 1970.
Tanpa menunggu uluran pihak lain, wadam mewujudkan sendiri kebutuhannya. Mereka membentuk Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) pada 1973. Ketuanya Maya Puspa. Dia wadam tersohor di Jakarta lantaran prestasi dan kepekaan sosialnya. Hiwad bertujuan memperjuangkan hidup layak bagi wadam. Antara lain dengan pelatihan salon, mendadani orang, menjahit, dan merancang busana.
Hiwad berubah nama jadi Himpunan Waria (Hiwaria) pada 1978. Ini berkaitan keberatan Alamsjah Ratu Prawiranegara pada istilah wadam. Sebab menyinggung nama Nabi Adam dan Hawa, istrinya. Presiden Soeharto pun setuju mengganti istilah wadam jadi waria.
Baca juga: Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta
Perubahan istilah tak mendatangkan perbaikan nasib bagi kebanyakan waria. Mereka tetap meringkuk di sudut kehidupan. Bahkan razia waria muncul lagi. Kian hari, kian gencar.
Waria berlarian. Beberapa melawan. Dan harganya sungguh mahal: nyawa. Dua waria, Susi dan Iin, tenggelam di kali dekat Taman Lawang pada 1979.
Kematian Susi dan Iin mengobarkan api perjuangan kaum waria lebih nyala. Mereka enggan mengemis pada pemerintah dan khalayak. Mereka memilih memperjuangkan sendiri hak-hak hidupnya. Dan perjuangan itu selalu memunculkan tokoh-tokoh penggerak. Dari Maya Puspa sampai Mami Yulie.
“Perjuangan kami belum selesai. Kami tak mengejar soal pernikahan waria. Kami hanya berjuang merebut hak-hak dasar kami. Itu saja,” kata Mami Yulie, aktivis pembela waria kepada Historia. Maka dia mendorong waria agar berpendidikan.
“Pendidikan alat perjuangan terbaik bagi kami untuk meraih tempat. Ini sudah terbukti,” tutur Mami. Khalayak mulai mengakui makna kehadiran Mami tanpa melihat gendernya. Satu harapan terang bagi waria lain.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar