Sejarah Tertib Berlalu-Lintas
Perilaku berlalu-lintas para pengendara sudah awut-awutan sejak lama. Begitu pula dengan wibawa polisi.
KORPS Lalu Lintas Polisi Republik Indonesia (Korlantas Polri) hendak menerapkan sistem tilang elektronik bagi para pelanggar lalu-lintas pada Oktober 2018. Sistem ini mengandalkan bantuan teknologi kamera closed circuit television (CCTV), basis data, dan jaringan internet. Polisi mengatakan penilangan model begini bertujuan mengubah perilaku pengendara bermotor menjadi lebih beradab dan menghindari suap-menyuap dari pelanggar ke polisi.
Perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Perhatian itu berasal dari unsur pemerintah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, Pemerintah Kota, dan Kepolisian Lalu-Lintas. Mereka merivisi Undang-Undang Lalu-Lintas Jalan Tahun 1933 melalui penetapan Undang-Undang No. 7 Tahun 1951. Perubahan ini berkaitan dengan perkembangan angkutan jalan raya di Indonesia. Kendaraan bermotor mulai jamak hilir-mudik di jalanan.
UU Lalu-Lintas Tahun 1951 memuat pembagian lajur cepat dan lambat. Lajur cepat untuk kendaraan bermotor, lajur lambat untuk sepeda, gerobak, dan becak. Ada juga ketentuan mengenai surat izin mengemudi dan syarat perlengkapan keselamatan berkendara. Hukuman dan sanksi terhadap pelanggaran lalu-lintas termaktub pula di dalam UU tersebut.
Baca juga: Tudingan kotor anggota DPR terhadap aturan menyalakan lampu motor
Selain dari Kepolisian, perhatian terhadap perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor juga muncul dari warga biasa. Antara lain dari seorang penulis bernama S. Soemiati. Artikelnya termuat di Teruna, majalah remaja, 10 Oktober 1959.
S. Soemiati mengingatkan bagaimana seharusnya orang berperilaku dalam berlalu-lintas di kota besar. Sopan-santun mesti berlaku di jalan dengan cara berbeda. Tidak sebagaimana sopan-santun dalam pertemuan keseharian.
“Tak perlu kita setiap kali berjumpa dengan seseorang di jalan, lalu berkenalan atau berjabat tangan, mengangguk ramah tersenyum manis ataupun menyapa sopan. Mana mungkin pula, sebab demikian ramainya dan cepatnya lalu-lintas,” tulis Soemiati.
Soemiati mencontohkan sopan-santun berlalu-lintas. “Sopan ialah, jika di dalam kota kita tidak memakai lampu yang besar, sebab menyilaukan pengemudi kendaraan lain yang berlawanan arah,” lanjut Soemiati. Intinya, menurut Soemiati, sopan-santun berlalu lintas berada pada kesadaran kewajiban pengemudi dan penghormatan terhadap hak pengguna jalan. “Barulah dapat dikatakan, bahwa kita mempunyai peradaban batin yang tinggi, telah mencapai tingkat atas dari peradaban,” catat Soemiati.
Tapi anjuran Soemiati ini tak selalu hadir di lalu-lintas keseharian. Lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia, semisal Jakarta, penuh dengan kesemrawutan. Perilaku tidak tertib pengendara bermotor dan pengguna jalan menjadi pemandangan sehari-hari. Undang-undang, aturan, dan himbauan tentang tertib berlalu-lintas tak sampai di kepala mereka.
Baca juga: Oplet, dari alat perjuangan berakhir jadi barang pajangan
“Sering kita melihat oplet yang dengan satu isyarat jari dari seseorang yang ingin menumpang, segera membelokkan stirnya dengan tiada ambil pusing ada atau tidak ada kendaraan di kiri atau kanannya,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya.
Kelakuan pengguna jalan non-kendaraan bermotor hampir setali tiga uang dengan sopir oplet. “Becak-becak yang tiada mau kenal dengan aturan lalu-lintas dengan tanda-tandanya yang penting itu. Sepeda-sepeda yang tiada mau menuruti jalan yang telah disediakan untuknya… Sampai kepada orang-orang jalan kaki yang kurang memperhatikan suasana kelilingnya,” catat Kementerian Penerangan. Tak jarang perilaku serampangan ini menyebabkan kecelakaan lalu-lintas.
Baca juga: Becak hendak dihapuskan karena tak manusiawi dan biang kemacetan
Polisi lalu-lintas kesulitan menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Jumlah mereka belum mencukupi untuk menindak tiap pelanggaran lalu-lintas hari demi hari. “Cobalah kita ingat kalau hampir 40 sampai 50 pelanggaran yang harus diperbal (diproses, red.) setiap hari, berapa banyak tenaga-tenaga yang dibutuhkan khusus untuk memperbal kesalahan-kesalahan belaka,” lanjut Kementerian Penerangan.
Barisan Keamanan Lalu-Lintas
Menyadari keterbatasan jumlah, polisi lalu-lintas merekrut warga kota agar turut membantu menertibkan perilaku pengendara dan pengguna jalan. Mereka terdiri dari pandu dan anak-anak sekolah. Nama kelompok ini Badan Keamanan Lalu-Lintas (BKLL). Tugas mereka bukan menindak para pelanggar lalu-lintas, melainkan mencegah pelanggaran itu terjadi.
Pemilihan anggota BKLL dari kalangan pandu dan anak-anak sekolah berangkat dari gagasan bahwa tertib berlalu-lintas sudah harus membiasa sejak usia dini. Ketertiban lalu-lintas bukanlah urusan polisi semata, tetapi juga soal masyarakat.
Polisi berpikir jika pemahaman tentang tertib berlalu lintas membiasa sedari dini, kesemrawutan di jalan akan berkurang secara perlahan. Ujungnya ialah penurunan angka kecelakaan. “Menjadikan penduduk kota Jakarta traffic-minded, terutama anak-anak sekolah sebagai usaha untuk ikut mengurangi jumlah kecelakaan,” ungkap Kementerian Penerangan.
Baca juga: Kecelakaan lalu lintas seolah bencana alam
Polisi membekali calon anggota BKLL dengan pengetahuan tentang aturan berlalu-lintas. Pembekalan berlangsung pada sore hari sebanyak dua kali seminggu. Jadwal ini tak mengganggu kegiatan sekolah reguler pagi calon anggota BKLL. Setelah memperoleh 10 kali pembekalan, calon anggota BKLL akan menghadapi ujian di Kantor Besar Polisi Jakarta. Mereka akan memperoleh ijazah dari kepolisian jika berhasil lulus ujian.
Menjadi anggota BKLL berarti siap pula mengemban tugas sebagai pelopor disiplin berlalu-lintas. Karena itu, polisi memberi anggota BKLL latihan baris-berbaris saban ahad pagi. “Dengan maksud supaya disiplin dapat tertanam,” ungkap Kementerian Penerangan. Polisi percaya, disiplin baris-berbaris anggota BKLL akan berkembang ke disiplin berlalu-lintas.
Saat dirasa sudah siap dengan sikap disiplin berlalu-lintas, anggota BKLL mulai bertugas di jalan. Mereka berada di persimpangan-persimpangan ramai. Tapi kehadiran mereka tak cukup membantu menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Alasannya, jumlah anggota BKLL dengan pengendara bermotor dan pengguna jalan tidak seimbang. Selain itu, kehadiran anggota BKLL tidak terlalu menggugah kesadaran tertib berlalu-lintas pengendara bermotor dan pengguna jalan.
Perilaku Penegak Hukum
Keruwetan lalu-lintas di Jakarta kian sulit tertata pada 1960-an. Jalan-jalan terus penuh oleh kendaraan bermotor, sedangkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan makin jauh dari disiplin. Bahkan di jalan utama seperti M.H. Thamrin, pengendara bermotor dan pengguna jalan bertindak seenaknya.
Baca juga: Awal mula zebra cross di Indonesia
Pengendara bermotor melaju cepat, mengabaikan rambu penyeberang untuk pejalan kaki. “Masih banyak Bung-Bung Sopir dan Tuan-Tuan pengendara yang nampaknya belum begitu paham sopan-santun lalu-lintas. Mereka main serobot dan ngebut saja tanpa mempedulikan pejalan kaki yang sudah berjubel di zebra-cross hendak menyeberang,” tulis Kompas, 24 Juni 1967.
Baca juga: Jembatan Penyeberangan Orang pertama di Indonesia
Polisi lalu-lintas berupaya menindak para pelanggar batas kecepatan dan rambu. Mereka akan meniup peluit jika menemukan pelanggaran lalu-lintas. Pelanggar harus berhenti, menunjukkan rebewes atau surat izin mengemudi, dan menyodorkan surat bukti kendaraan. Polisi menjelaskan pelanggaran dan sanksinya sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1965.
Tapi ada segelintir polisi menerapkan “hukum” sendiri. Para pelanggar tak perlu repot membayar denda atau menjalani hukuman sesuai UU No. 3 Tahun 1965. “Hukum” di luar hukum ini disebut prit jigo. “Sekali pelanggaran kena semprit, harus memberi sogokan 25 rupiah,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an.
Tindakan korup polisi lalu-lintas tak hanya terjadi di kota Jakarta. Niels Murder, antropolog asal Belanda, menceritakan pengalamannya bertemu dengan polisi korup di Brebes, Jawa Tengah, pada November 1969. Dia sedang berkendara motor saat itu. Polisi menggelar razia di depan kantor dan memeriksa setiap pengendara bermotor.
Niels kena giliran diperiksa oleh polisi. Surat-suratnya lengkap. Dan dia yakin tak ada aturan berlalu-lintas yang dilanggar. Tetapi seorang polisi tak mengembalikan surat-suratnya. Polisi itu justru membawa surat-suratnya ke sebuah meja.
“Para polisi itu, seperti juga orang lainnya, mencari cara untuk mengais sedikit rupiah dari orang yang lewat,” tulis Niels dalam Petualangan Seorang Antropolog. Polisi mencari-cari kesalahan Niels.
Baca juga: Sejarah polisi zaman Kompeni
Nasib serupa menimpa pengendara bermotor lainnya. Polisi mengatakan bahwa mereka telah melanggar aturan lalu-lintas. Pasal sekian, ayat segini, dengan sanksi demikian.
Polisi menawarkan cara singkat agar surat-surat pengendara bermotor lekas kembali. Pengendara tak punya pilihan. “Orang yang bijaksana selalu menyisipkan uang seratus rupiah ke dalam SIM itu,” tulis Niels. Itulah harga untuk pengembalian surat-surat kendaraan atas pelanggaran yang tak pernah mereka lakukan.
Niels enggan membayar seratus rupiah. Dia mendatangi meja tempat suratnya ditahan. “Kutinggalkan motorku di tempatnya, berjalan menuju meja itu, merampas surat-suratku dari tangan si polisi, lalu pergi,” ungkap Niels.
Perilaku korup polisi mencoreng wibawa mereka. Banyak orang menjadi ragu dengan upaya penertiban perilaku berlalu-lintas para pengendara bermotor. Keadaan ini jadi alasan bagi mereka untuk terus melanggar aturan. Toh, polisinya juga sering melanggar hukum. Kemudian zaman bergerak cepat dan teknologi berkembang. Kamera CCTV kini terpasang di banyak sudut jalan. Ide penerapan tilang elektronik pun muncul untuk memperbaiki perilaku berkendara dan menghindari suap-menyuap.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar