Bung Hatta "Anak Boedoet"
Bung Hatta pernah sekolah di Jalan Budi Utomo. Sekolahnya tak sembarang orang bisa masuk.
PADA 1919, Mohamad Hatta alias Bung Hatta sudah lulus dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijz (MULO) –setara dengan SMP– di Padang. Di kala orang Indonesia masih sedikit yang bisa bersekolah kala itu, lulusan MULO jelas terhitung tinggi pendidikannya. Kendati lulusan MULO, Bung Hatta yang dari keluarga pedagang bertekad ingin belajar lebih tinggi lagi.
“Prins Hendrik School, Sekolah Dagang Menengah 5 tahun. Dasarnya 3 tahun HBS dan di atas itu ada 2 tahun jurusan dagang. Murid tamatan MULO diterima di kelas atau sering juga disebut kelas pertama bagian dagang,” jelas Bung Hatta dalam Mohammad Hatta Memoir.
Jadi, tiga kelas pertama Prins Hendrik School yang tidak dilalui Bung Hatta sejatinya mirip SMP dan dua kelas terakhirnya mirip Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) atau Sekolah Menengah Kejuruan rumpun ekonomi.
Prins Hendrik School (PHS) yang merupakan sekolah dagang itu berada Vrijmetselaarsweg (artinya Jalan Freemason atau Jalan Mason Bebas), kini Jalan Budi Utomo, Jakarta. Gedungnya bersebelahan dengan sekolah menengah teknik bernama Koningin Wilhelmina School (KWS). Kedua sekolah ini mulanya satu lembaga.
“Setelah Politik Etis 1901, beberapa Sekolah Teknik didirikan di Hindia Belanda. Yang tertua adalah Sekolah Koningin Wilhelmina di Batavia. Didirikan pada tahun 1901, sekolah ini memiliki dua konstituen: Departemen A menawarkan program tiga tahun pelatihan bidang perdagangan. Semenara bagian B menawarkan program pelatihan teknik dengan durasi sama dalam hal teknik bangunan, mekanik dan pertambangan,” catat David Hutama Setiadi dalam Building Practice in the Dutch East Indies.
Departemen A Koningin Wilhelmina School kemudian dipisahkan jadi sekolah tersendiri. Namanya Prins Hendrik School.
Dalam masa belajarnya di PHS yang tidak lama itu, Bung Hatta serius mendalami ekonomi. Ia bukan cuma ingin mendengar tentang teori dagang modern dari para gurunya di kelas, tapi juga belajar langsung dari para pelakunya. Antara lain para pedagang asal Minangkabau di seputaran Pasar Senen. Mereka kerap didatangi Bung Hatta.
Di masa sekolah itu, Bung Hatta juga sering mengunjungi Mak Etek Ayub Rais, salah seorang pedagang Minangkabau di Jakarta yang terhitung masih familinya. Sebagai pedagang, Ayub Rais tentu mengalami jatuh-bangun.
“Dalam waktu libur bulan September dan pada libur Natal yang lalu aku saban hari pergi ke kantor Ayub Rais melihat praktik dagang spekulasi, yang menjual-beli barang hutan, lada, dengan berjangka penyerahan 3 bulan,” aku Bung Hatta, yang jadi tahu seluk-beluk praktik perdagangan dari mengunjungi kantor Ayub Rais.
Ayub Rais sendiri peduli pada sekolah ekonomi Bung Hatta. Dalam Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, Zulkifli Suleman menyebut Ayub Rais membelikan Bung Hatta buku Staathuishoudkunde (Ekonomi Politik, dua jilid) karangan NG Poerson, De Socialisten (Kaum Sosialis, enam jilid) karya HP Quack, serta Het Jar 2000 (Tahun 2000) karangan Bellamy. Semua tahu Bung Hatta suka membaca dan koleksi bukunya luar biasa banyak untuk ukuran orang Indonesia. Jadi, semasa bersekolah di Vrijmetselaarsweg (Jalan Budi Utomo) Bung Hatta sudah membaca buku-buku yang tebal.
Belakangan, kawasan Jalan Budi Utomo tempat PHS punya beberapa sekolah menengah. Ada sekolah kejuruan teknik, ada yang bukan. PHS sendiri kemudian menjadi SMAN 1 Jakarta. Baik SMK maupun SMA di sana kemudian disebut Boedoet, singkatan Budi Utomo berdasarkan ejaan lama. Jadi, Bung Hatta sebenarnya generasi awal anak Boedoet, yang jauh setelahnya identik dengan tawuran.
Setelah lulus dari PHS, Bung Hatta memutuskan belajar ekonomi ke Negeri Belanda. Menurut Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, 1902-1980, sebagian besar ongkos sekolah Bung Hatta di lndonesia maupun di Belanda dibiayai Ayub Rais. Uang bulanan Bung Hatta sebanyak 75 gulden juga dibiayai oleh Ayub Rais.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar