Bukan Churchill Biasa
Kenegarawanan Churchill tercatat dalam sejarah. Namun, film ini menyuguhkan Churchill yang lain.
DENGAN tongkat di tangan, seorang kakek tua berjalan sendiri menyusuri pantai. Raut wajahnya muram, seolah menanggung beban berat. Matanya menerawang dan tampak gelisah.
Riak air laut datang. Winston Churchill (diperankan Brian Cox), perdana menteri Inggris, terpaku. Air laut itu berwarna merah. Dia membungkuk, nyaris terjatuh, untuk memastikan bahwa dia tak salah lihat. Topinya melayang dan jatuh ke air.
Istrinya, Clementine (Miranda Richardson), menghampiri dan mengajaknya pulang. Tapi Churchill masih terpaku. Dia teringat masa beberapa dekade silam tatkala memimpin pasukan gabungan Inggris-Prancis dalam operasi amfibi di Galipoli, Turki, selama Perang Dunia I. Pikirannya kian kacau. Bersamaan dengan itu, scene berubah menjadi hitam-putih.
Churchill pun melangkah pulang, melewati jasad-jasad tentara tak bernyawa yang berserakan.Scene gabungan ingatan masa lalu dan masa baru menutup bagian pembuka film.
Kegusaran
Adegan berganti. Kertas berserakan di ruang kerja Churchill, yang masih terlelap dalam tidurnya. Hari itu Perang Dunia II memasuki hari ke-1736. Para pemimpin negara Sekutu sepakat untuk membebaskan Prancis dengan jalan operasi amfibi berskala besar. Hal itulah yang menjadi beban pikiran Churchill.
Churchill tak setuju opsi itu. Pengalamannya dalam operasi serupa di Galipoli selama Perang Dunia I, di mana Inggris dan sekutunya kehilangan banyak prajurit, memikirkan cara lain. Bahkan Churchill berdebat sengit dalam pertemuan dengan tiga jenderal Sekutu yang menjadi otak operasi bersandi Overlord.
“Kita mesti hentikan operasi ini sebelum rencana operasi ini menjadi tragedi,” kata Churchill.
Jenderal-jenderal itu menolak usulan itu. Mereka akan tetap menjalan operasi. Sejurus kemudian Raja Inggris George VI (James Purefoy) tiba dan mengakhiri perdebatan.
Perdebatan demi perdebatan setelah itu menjadi scene utama film ini. Di kantor Ike, sapaan akrab untuk jenderal AS Eisenhower (John Slattery), Churchill kembali mencak-mencak begitu mendengar kabar operasi tinggal menunggu waktu.
“Operasi Overlord bukan satu-satunya jalan,” kata Churchill, “Aku tak ingin membuat kesalahan yang sama. Menginvasi Prancis adalah permainan mematikan, dan harus dihentikan!”
“Ini tugas mereka, bukan Anda,” sahut Ike.
Sebagai militer, Ike hanya ingin menjalankan tugas. “Pasukan tak bertugas membuat perencanaan (politik). Kau hanya butuh kami menjalankan tugas.”
Churchill makin gusar. Emosinya tak terkendali. Dia akhirnya menemui Raja George VI. Lagi-lagi, dia kecewa. Raja memutuskan operasi tetap berjalan. “Tugas saya bukan bertempur, bukan untuk mati. Saya harus tetap ada. Itu tugas saya,” kata sang raja.
Churchill pun pasrah. Meski Ike menunda operasi sehari dari yang direncanakan, pendaratan Normandy tetap berjalan. Dengan berat hati, Churchill melakukan pidato radio yang didengarkan orang-orang di penjuru negeri. “Ini adalah perang untuk kemerdekaan. Kita tak pernah berpikir menyerah, saya pun tak pernah berpikir menyerah,” katanya.
Asal Beda
Ibarat singa, Churchill seorang yang cerdas, pemberani, dan punya hati. Tapi, sutradara Teplitzky justru tak hendak menghadirkan Churchill sesuai citra umum itu dalam karya biopiknya.
Berkolaborasi dengan sejarawan Alex von Tunzelmann sebagai penulis naskah, Teplitzky justru menghadirkan Churchill sebagai seorang kakek berusia 70 tahun yang tak kuasa mengendalikan diri, yang terus dihantui kegagalan operasi amfibi di Galipoli. Churchill tak lebih dari seorang singa tua yang tak berdaya. Hanya bisa mengaum tanpa ada yang mempedulikan. Dia hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Posisi marjinal itulah yang ingin dihadirkan Teplitzky.
Sang sutradara membumbui film ini dengan berderet konflik, baik konflik batin Churchill maupun dia dengan orang lain. Kalimat-kalimat dari deretan konflik itu, yang disusun secara serius, menjadi kekuatan utama film ini.
Periodisasi singkat, hanya tiga hari sebelum D-Day berjalan, yang dipilih sutradara berandil besar mengoptimalkan drama. Meski tak variatif, adegan-adegan konflik tak bertele-tele. Peran apik Cox dan Miranda amat penting. Adegan-adegan juga menjadi lebih hidup dengan musicscoring apik dan pas di tiap scene.
Namun, dominasi peran Churchill membuat Teplitzky terpeleset. Figur-figur lain tak lebih dari sekadar pemanis. Celakanya lagi, figur dominan di film ini hanyalah singa tua gundah yang disibukkan oleh perasaannya sendiri; sisi kebesaran Churchill hampir dibuang seluruhnya. Kebesaran Churchill dengan segala sepakterjangnya sebelum itu mendadak tak berarti dalam film ini. Selain topi dan cerutu, yang memang menjadi ciri khas Churchill, di film ini dia hanya tampak sebagai sosok murung, tempramental, dan sentimentilnya saja. Hanya bagian penutup saja yang agak baik, sedikit menolong film ini dari hina.
Banyak kritikus film kecewa dan menilai miring film ini. Celakanya, keputusan untuk menampilkan sisi lain Churchill juga menabrak fakta. Dalam film, hingga Hari-H operasi amfibi, Churchill tak pernah tulus memberikan dukungan. Faktanya, Churchill memegang komitmen yang sudah diputuskan beberapa pemimpin negara Sekutu, termasuk dirinya. Operasi itu sendiri sudah dibicarakannya dengan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rosevelt sejak akhir 1942. Fakta bahwa dalam perjalanan waktu hampir dua tahun itu Churchill mendapat banyak masukan dan pengetahuan baru mengenai dunia militer sehingga mengoreksi pendiriannya sama sekali tak menjadi pertimbangan penulis naskah dan sutradara.
Alhasil, Churchill di film ini hanyalah pecundang yang terpaksa menerima permintaan pidato radio saat operasi berjalan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar