UU Anti-Alkohol dan Mabuk-mabukan di Amerika
Meski sampai mengeluarkan undang-undang, Amerika tetap gagal membatasi konsumsi alkohol.
Subdit Narkoba Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menyita minuman keras beberapa waktu lalu. Seorang anggota DPR RI memprotes keras lantaran minuman keras dari rumah bir miliknya ikut disita. Melalui telepon, anggota DPR itu mencaci-maki Kasubdit Narkoba Polda NTT, AKBP Albert Neno, yang memimpin operasi. Neno melaporkannya kepada Kapolda NTT Brigjen Pol Endang Sunjaya. Alih-alih mengusut laporan itu, Endang justru mengembalikan semua minuman keras milik anggota DPR RI itu. Selang beberapa hari kemudian, Endang kehilangan jabatannya.
Kisruh seputar miras mengingatkan kekisruhan serupa, meski tak sama, di negeri Paman Sam semasa UU Larangan Alkohol diberlakukan pada 16 Januari 1920. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang menentang.
Undang-undang itu melalui proses lumayan panjang sebelum disahkan. Para aktivis gerakan kesederhanaan, dimotori oleh kalangan Methodist, memelopori gerakan yang bermula pada 1840-an. Mereka aktif dalam kancah perpolitikan.
Baca juga: Komisi Anti-Alkohol Zaman Kolonial
Sempat tenggelam setelah 1850-an, gerakan itu kembali muncul pada era 1880-an bersamaan dengan meningkatnya gerakan pemurnian yang digalang Prohibition Party (berdiri pada 1869) dan para perempuan aktivis Christian Temperance Union (berdiri 1874). Kekuatan gerakan bertambah ketika Anti-Saloon League berdiri pada 1893. Ketiganya memperjuangkan undang-undang melarang alkohol. Menurut mereka, alkohol merusak bangsa Amerika.
Tuntutan mereka mulai menampakkan hasil pada awal abad ke-20. Hampir semua negara bagian dan kabupaten di Amerika Serikat mulai mengeluarkan aturan larangan alkohol. “Kebanyakan aturan hukum awal ini dikeluarkan di pedesaan selatan, ini berangkat dari keprihatinan terhadap perilaku budaya mabuk-mabukan penduduk yang terus bertumbuh di negeri, terutama imigran Eropa,” tulis Coolleen Graham dalam “The United States Prohibition of Alcohol 1920-1933”, dimuat di laman cocktails.about.com.
Perang Dunia I, yang menandai keterlibatan awal AS dalam politik internasional, meningkatkan kekuatan gerakan tersebut. Selain secara praktis larangan alkohol akan meningkatkan pasokan biji-bijian penting seperti barley, konsumsi alkohol secara religi bertentangan dengan kehendak Tuhan dan secara moral, orang yang bersenang-senang menikmati alkohol amat tidak bernurani karena banyak pemuda Amerika lain sedang mempertaruhkan jiwa mereka di medan perang.
Baca juga: Tak ada Roti Bir pun Jadi
Semantara itu, industri minuman keras sedang bergeliat waktu itu. Penemuan mesin pendingin pada akhir abad ke-19 menjadi pemantiknya. Dengan mesin itu, para produsen minuman keras bisa memperpendek jalur distribusi produknya dan memangkas ongkos produksi. Para produsen seperti Pabst, Annheuser, atau Busch, yang menangkap peluang bisnis itu, dengan gencar mendirikan banyak saloon (sejenis bar pada masa itu) di berbagai kota Amerika. Melalui saloon-saloon itu, bir atau whiskey tak hadir ke tangan konsumen lewat botol lagi, tapi langsung ke gelas dari tangki-tangki pendingin milik saloon.
Dibanjirinya kota-kota Amerika dengan saloon membuat kompetisi dalam bisnis tersebut semakin ketat. Para pemilik saloon menekan para pegawainya untuk menarik pelanggan sebanyak mungkin. Hal itu membuat para penjaga saloon melakukan berbagai upaya kreatif untuk memikat calon konsumen, seperti dengan menawarkan fasilitas judi, adu ayam, hingga prostitusi terutama kepada pelanggan yang lelaki muda.
Oleh para penentang alkohol, realitas itu dijadikan pembenar untuk menganggap bahwa alkohol sebagai pemicu lahirnya tindakan-tindakan amoral. Kampanye mereka membuat mood masyarakat berubah jadi membenci alkohol. Pada 16 Januari 1920, Kongres mengeluarkan The 18th Amendment, yang berisi larangan memproduksi, mendistribusikan, dan menjual minuman beralkohol.
Baca juga: Investasi Bir Pemprov DKI Jakarta
Konsumsi alkohol di AS menurun. Para pendukung legislasi itu optimis “eksperimen mulia” itu akan berhasil dengan baik. Pada awal 1920-an, angka penurunan mencapai 30 persen.
Namun, para penentang legislasi terus mencari “jalan tikus” untuk mendapatkan minuman keras. Penyuling minuman keras mulai bermunculan, yang menjual minuman keras mereka dalam skala kecil. Keuntungan besar dari penjualan minuman ilegal membuat rumah penyulingan minuman menjamur. Minuman ilegal menjadi ceruk bisnis yang amat menjanjikan.
“Jauh lebih menguntungkan dan hemat biaya membuat dan mendistribusikan alkohol sulingan (gin, vodka, whisky, dan rum) dibandingkan bir (pabrik, red.),” tulis Jefferson M. Fish dalam Drugs and Society: US Public Policy.
Pemberlakuan UU Alkohol juga menyuburkan penyelundupan. Kanada dan Meksiko, juga negara-negara Eropa, menjadi pemasok rutin minuman-minuman ilegal ke AS. Dengan adanya celah kecil dari pemberlakuannya, undang-undang tersebut juga memarakkan penyalahgunaan alkohol. “Alkohol dan wine diresepkan oleh dokter dan tersedia di apotek. Banyak orang bersertifikat pendeta dan rabi mendistribusikan ‘anggur sakramen’ dalam jumlah besar,” lanjut Fish.
Baca juga: Minuman Beralkohol Khas Nusantara
UU Alkohol pada gilirannya menyuburkan kriminal. Selain suap dan korupsi aparat dan pejabat, legislasi itu juga menjadi ajang persaingan para mafia dan gangster untuk menguasai distribusi minuman ilegal. Chicago menjadi pusat persaingan mereka. Al Capone, salah satu mafia terbesar yang berbasis di kota tersebut, menangguk keuntungan besar dari bisnis itu. Para penduduk memproduksi dan menjual untuk mencari tambahan penghasilan di masa sulit itu.
Minimnya jumlah aparat plus rendahnya gaji mereka serta korup membuat pengawasan terhadap jalannya legislasi memprihatinkan. Lepas dari tiga tahun pertama, konsumsi alkohol justru meningkat. “Larangan itu tak pernah benar-benar populer bagi orang Amerika. Orang Amerika suka minum dan bahkan ada kenaikan jumlah perempuan yang minum selama era berlakunya legislasi, dan ikut mengubah persepsi umum tentang arti menjadi ‘terhormat’ (istilah yang sering digunakan pendukung legislasi untuk merujuk kepada non-peminum),” tulis Graham.
Setelah melalui dua tahap pengurangan, pemerintahan F.D. Roosevelt, yang mulai berkuasa pada 1933, berhasil meyakinkan Kongres untuk mengeluarkan The21st Amendment. UU ini menghapuskan peraturan undang-undang larangan alkohol –menjadi satu-satunya UU yang menghapus UU. “Jauh setelah pencabutan, konsensus tetap menganggap bahwa larangan alkohol secara nasional merupakan kebijakan publik yang buruk. Larangan itu, bagaimanapun, menghasilkan efek samping negatif jauh lebih substansial,” tulis Fish.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar