Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda
Beragam cara dan bentuk filantropi selama masa resesi ekonomi di Hindia Belanda.
Didi Kempot, seniman campursari kesohor, telah berpulang pada 5 Mei 2020 setelah mengalami kelelahan manggung di mana-mana. Dia sempat menggelar konser amal untuk penanganan pandemi Covid-19. Hasilnya Rp7,8 miliar terkumpul dan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Praktik filantropi pada masa krisis semacam ini seringkali tersua dalam sejarah Indonesia.
Resesi ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930-an. Saat itu harga barang ekspor Hindia Belanda turun drastis. Tapi tak ada negara mau membeli. Sebab mereka pun terbelit masalah serupa. Resesi ini bermula dari Amerika Serikat, lalu menyebar ke negara lainnya.
Barang-barang pun menumpuk. Pabrik dan perusahaan merugi. Banyak pekerja kehilangan pekerjaan (PHK) dan memilih pulang kampung. Sisanya mencari kerjaan lain. Tapi ada juga yang masih beruntung bisa bekerja meski upahnya menyusut.
Baca juga: Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi
Karena sektor swasta terdampak resesi, pemasukan pemerintah ikut berkurang. Rencana pembangunan mandeg. Untuk menghemat pengeluaran, pemerintah terpaksa memotong gaji pegawainya.
Akibat resesi ini, jumlah pengangguran dan gelandangan di kota besar meningkat. Di desa-desa petani juga kelimpungan. Mereka bukan hanya menghadapi resesi ekonomi, tapi juga kemarau panjang dan bencana alam lainnya. Penghasilan mereka berkurang.
Pemerintah kemudian bergerak mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meringankan masyarakat. Antara lain mengubah besaran pajak, membuka kursus keterampilan, dan menyalurkan bantuan langsung tunai.
Tapi bantuan pemerintah tidak cukup menjangkau semua masyarakat terdampak. Lebih banyak orang membutuhkan bantuan. Di sini peran swadaya masyarakat muncul. Mereka saling membantu meringankan beban sesama. Bantuan bisa dari perorangan atau lewat organisasi dan koperasi; bisa pula dari sesama pekerja kepada pekerja lain yang dirumahkan.
Baca juga: Bantuan Kolonial untuk Pengangguran
Di kampung, koperasi dan para pemilik warung atau toko kelontong memberikan kelonggaran kredit barang kepada penduduk yang dikenal baik. Sementara itu di kota, orang kaya kerap mendermakan sejumlah hartanya untuk para pengangguran.
“Sebenarnya, masyarakat Indonesia di perkotaan jauh lebih dermawan dalam mendukung para pengangguran, tetapi dukungan diberikan pada tingkat personal, atau komunal melalui organisasi sukarela yang tidak berhubungan dengan pemerintah,” catat John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat.
John Ingleson melanjutkan, organisasi pergerakan nasional dari berbagai paham ikut pula turun tangan menggalang dana untuk membantu masyarakat.
Amelia Fauzia, penulis buku Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia mencatat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah getol menggalang semangat filantropi pada masa krisis melalui penyaluran zakat.
Di Yogyakarta, organisasi berbasis Katolik dan Kristen Protestan sama getolnya menyediakan bantuan bagi kaum miskin dan penganggur terdampak. “Di antara mereka adalah Yayasan Bantuan Kemiskinan Yogyakarta (Vereniging Jogjasche Armenzong), Yayasan St. Elizabeth (St. Elizabethvereniging), Dewan Bantuan Kemiskinan Kristen Protestan (Diaconie der Protestansche Gemeente)…” ungkap Ben White dalam “Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an dan 1990-an”, termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Baca juga: Rokok Kretek Rumahan Eksis di Tengah Krisis
Organisasi tersebut bernaung dalam satu payung besar organisasi bernama Komite Umum Bantuan Kaum Miskin (Algemeene Armenscommissie) yang berdiri pada September 1935. Bantuan organisasi tersebut berupa uang tunai, pangan, dan tempat menginap gratis bagi orang-orang yang memenuhi syarat.
Serikat buruh tak ketinggalan pula ambil peran memupuk laku filantropi. Ini tampak dalam laku-lampah Perserikatan Pekerja Pegadaian Hindia (PPPH). Serikat ini memiliki jumlah anggota yang besar dan termasuk serikat buruh terbesar di Hindia Belanda. Mereka memiliki 3.000 anggota. Dari jumlah itu, hampir setengahnya mengalami pemecatan pada masa krisis.
Dalam masa krisis itu, PPPH meminta para anggota yang masih bekerja untuk menyisihkan uang bagi korban resesi. Dari penggalangan dana itu, PPPH menyalurkan bantuan sebesar 30 gulden kepada anggotanya yang di-PHK selama 1931.
Tapi jumlah bantuan merosot menjadi 7,5 gulden untuk tiap orang memasuki 1932. Penyebabnya penerimaan dana sumbangan dari anggota PPPH berkurang akibat resesi berkepanjangan. Resesi menyulitkan anggota lainnya untuk mengeluarkan dana sumbangan.
Baca juga: Krisis Ekonomi Masa Sukarno
Selain membantu para anggotanya sendiri, PPPH menjalin kerja sama dengan serikat buruh dan organisasi lainnya untuk memudahkan ekonomi orang-orang di luar PPPH. “Membuat undian kooperatif yang terorganisir dan mengadakan malam kebudayaan, serta pertandingan sepakbola untuk membantu para pengangguran,” tulis John Ingleson.
Di Bangka, para buruh Tambang Timah Bangka atau Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW) berkebangsaan Eropa dan Indo berbuat serupa PPPH. Mereka mengumpulkan bantuan keuangan dan material untuk sesama pekerja Eropa dan Indo yang di-PHK. Caranya dengan menggelar berbagai pertunjukan hiburan di kota-kota di Bangka.
“Upaya ini sangat berhasil sehingga bisa menggalang bantuan bagi orang Eropa yang menganggur di Batavia dan para korban bencana alam di Jawa,” catat Erwiza Erman dalam “Antara Lada dan Timah: Pengalaman Krisis di Bangka” termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Selain itu, para pekerja yang masih berpenghasilan mencoba bersama-sama menerapkan laku prihatin atau hidup sederhana sebagai bentuk solidaritas dalam masa sulit.
Baca juga: Krisis Barang pada Zaman Jepang
Hal berbeda ditempuh oleh Pekerja Serikat Seluruh Indonesia (PSSI) di Surabaya pada 1931. Mereka tidak menyalurkan dana bantuan secara langsung untuk para penganggur, melainkan menggunakan dana tersebut untuk membuka lapangan kerja baru.
“Para ketua perserikatan mengakui bahwa skema tersebut hanya dapat membantu sejumlah kecil pengangguran di perkotaan, namun merupakan bagian penting dalam kerja bantuan mereka,” sebut John Ingleson.
Resesi ekonomi di Hindia Belanda berangsur hilang sejak 1937. Tapi tak semua wilayah mengakhiri resesi pada waktu bersamaan. Di beberapa wilayah, praktik filantropi seperti pada masa resesi masih berlangsung dengan beragam cara dan bentuk hingga masa pendudukan Jepang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar