Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta
Revolusi bukan hanya menjatuhkan banyak korban tapi juga mengangkat para garong sebagai raja lokal.
JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya. Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang saudaranya, Hendrick Tholense.
Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi tawanan para pemuda. “Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujar perempuan kelahiran Bandung, hampir 76 tahun lalu.
Kisah pilu Jeanette merupakan salah satu serpihan sejarah yang diceritakan kembali oleh Wenri Wanhar dalam buku ini. Berbekal wawancara dan dokumen Arsip Nasional, jurnalis muda tersebut seolah memanggil kembali masa lalu yang selama ini terpendam. Buku ini merupakan laporan jurnalistik, diperkaya dengan foto-foto masa lalu dan sekarang, yang mencoba mengungkap kompleksitas permasalahan semasa revolusi 1945-1949.
Selain keberadaan para budak salah satu pejabat VOC bernama Cornelis Chastelein tersebut, Gedoran Depok juga merekam sepakterjang beberapa milisi rakyat (laskar) dan kehidupan para jagoan Depok saat revolusi. Sebut saja nama Sengkud, Muhidin, Nail, Tole Iskandar, dan Margonda –nama terakhir disematkan pada jalan protokol di Depok saat ini.
Para preman tempo dulu, yang disebut sejarawan Robert Cribb sebagai “kaum revolusioner”, hidup bak raja lokal yang bisa menentukan hidup-mati seseorang. Sengkud dari Barisan Bamboe Roentjing (BBR) misalnya, dikenal sebagai penjahat kambuhan yang lihai berkelahi dan raja tega. Dia bahkan tega membunuh wakilnya, Muhidin, hanya karena soal kekuasaan dan perempuan.
Kebijakan Kabinet Hatta tentang Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara pada Februari 1948, untuk mengefesienkan angkatan perang, memaksa para tenaga milisi (laskar) kembali sebagai masyarakat biasa. Hatta menginginkan mereka bisa menjadi tenaga produktif di sektor-sektor selain pertahanan. Alih-alih disambut baik, kebijakan tersebut ditentang keras oleh para laskar, termasuk BBR. Bagi mereka, kembali menjadi petani, buruh, dan guru adalah sesuatu yang “hina”, sementara menjadi “kaum bersenjata” adalah puncak pengabdian.
Pada 11 Oktober 1949, BBR secara resmi menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah. Mereka memproklamasikan diri pisah dari Tentara Nasional Indonesia dan mengklaim organisasi mereka sebagai tentara rakyat. Terjadilah clash antara pasukan pemerintah (tentara dan polisi) melawan laskar. Tentu saja yang menjadi korban adalah rakyat biasa.
Sejak itu pula BBR berlaku bak gerombolan liar. Kerjaannya jika tidak memeras ya merampok harta “rakyat” –mereka yang dianggap propemerintah. Adung Sakam, salah satu pelaku sejarah di Depok, bahkan menyebut BBR sebagai gerombolan garong. “Gerombolan BBR itu kan tempat bersatunya preman, jawara, garong dengan kaum nasionalis revolusioner,” katanya.
Sebagai sebuah buku yang membahas sejarah lokal kota di selatan Jakarta tersebut, Gedoran Depok bisa dikatakan laik dibaca, terutama bagi penduduk Depok yang mungkin tak memiliki ikatan historis dengan kotanya. Penyajianya yang penuh detail dan dialog human interest menjadikan buku ini asyik untuk dinikmati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar