Seni dan Seksualitas
Keberagaman seksualitas hadir dalam seni pertunjukan, yang keberadaannya menjadi sesuatu yang lazim di tengah masyarakat.
SEKSUALITAS, juga keberagamannya, relatif hidup dalam budaya Nusantara. Ia terutama terlembaga dalam seni pertunjukan, yang melibatkan kelompok homoseksual, juga waria. Sebagian bentuk kesenian ini berhubungan dengan aspek mistik atau religiusitas.
Reog Ponorogo di Jawa Timur, misalnya, yang dikenal dengan warok dan gemblaknya. Tak puas dengan pemerintahan raja terakhir Majapahit Bhre Kertabumi, Ki Ageng Kutu, seorang bangsawan istana, menciptakan kesenian reog pada abad ke-13.
Sebagai penganut Budha Tantra, Ki Ageng Kutu percaya kesaktian tertinggi bisa dicapai hanya jika orang mampu mengekang diri dari hawa nafsu, termasuk bersentuhan dengan perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dan memantapkan kesaktian, warok memelihara gemblak, pemuda belasan yang biasanya memiliki fisik rupawan. Gemblak mengambil peran konvensional perempuan dan berlaku sebagaimana seorang “istri” tapi juga anak angkat bagi waroknya.
Seni pertunjukan ini menampilkan singabarong, topeng berbentuk singa, dengan merak bertengger di atasnya yang dipakai seorang warok. Sementara para gemblak menunggangi kuda lumping sebagai penari jaranan atau jathilan.
Dalam masyarakat Ponorogo, warok adalah figur yang dihormati sekaligus ditakuti. Seperti asal katanya, wewarah (pemberi petunjuk), kedekatannya dengan dunia gaib sering membuat warok dimintai nasehat untuk pegangan spiritual atau ketentraman hidup. Dia ditakuti karena memiliki kesaktian.
Baik gemblak maupun warok tetap ingin membuktikan diri sebagai lelaki sejati yang bisa punya anak. Hubungan keduanya mirip pola anak asuh. Ini mirip dengan apa yang disebut anak jawi di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Seperti disebutkan Tempo, 10 Oktober 1987, dalam kesenian yang disebut indang, dulu para penarinya remaja lelaki. Sipatuang sirah (manajer grup) begitu memanjakan mereka. Karena diperlukan tingkah laku mirip perempuan, mereka didandani agak mirip remaja putri. Celakanya, mereka pun sehari-hari diperlakukan lembut. Dan karena mereka tidur dalam satu ruangan, akhirnya terjadilah homoseksualitas: antara anak asuh dan manajer, antara anak asuh dan anak asuh.
Hal yang sama juga terjadi pada kesenian rateb sadati di Acheh yang diiringi puisi religius dengan tema homoerotisme. Seperti digambarkan Snouck Hurgronje dalam The Achehnese, kesenian ini umumnya diperagakan oleh 15-20 pria dewasa –disebut dalem atau aduen– dan menyertakan seorang anak lelaki tampan. Sang anak, disebut sadati, didandani mirip perempuan. Mereka umumnya berasal dari Aceh pegunungan atau Nias. Anak-anak ini direkrut melalui "transaksi" antara dalem dan orangtuanya. Orangtua berharap anak mereka dipelihara dalem supaya memperoleh hidup layak. Realitas itu muncul karena ketatnya norma yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan lajang.
Masih di Jawa Timur, ada kesenian ludruk, yang bentuknya sebagaimana dikenal sekarang diciptakan seorang seniman dari Jombang bernama Santrik pada 1907. Dalam kesenian ini, tandak (biasanya waria) mendapat tempat tersendiri dan menjadi magnet penonton karena kekenesan, kekonyolan, dan banyolan-banyolannya. Sesekali ludruk menyelipkan pesan-pesan politik untuk kepentingan perjuangan maupun pengukuhan status rezim yang berkuasa. Sebagai pembuka, ditampilkan tarian ngremo, yang dibawakan seorang lelaki atau waria. Setelah itu serimpi, tarian istana klasik versi ludruk yang dibawakan oleh tandak waria.
Menurut Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, peniru perempuan dalam ludruk tidak merupakan objek yang lucu, karena kebancian bagi orang Jawa hanya lucu dalam pengertian ganjil, bukan dalam pengertian menggelikan.
Bentuk kesenian lain adalah kledek, kadang juga disebut tandak; perempuan penari dan penyanyi jalanan yang bermain karena disewa maupun berjalan dari pintu ke pintu. Sama seperti kledek, ada tarian janggrung; hanya saja gadis penarinya adalah seorang wadam. Menurut Geertz, rombongan penari keliling –kadang disebut kelompok amen– hampir seluruhnya urusan abangan. Priyayi menganggapnya kasar dan cabul. Rombongan-rombongan itu tak berniat mendatangi desa-desa santri. Sekalipun dihubungkan dengan pengemisan, pelacuran, dan homoseksualitas seperti itu, mereka toh tetap populer di kalangan petani dan orang-orang kota kelas rendah.
Di Bali dan Banyuwangi, terdapat kesenian gandrung. Seperti ditulis Dede Oetomo dalam Memberi Suara pada Yang Bisu, Dr Julius Jacobs, pejabat kesehatan di Banyuwangi pada 1883 menyaksikan bocah lelaki berusia 10-12 tahun yang berpakaian perempuan. Dengan genitnya bocah-bocah itu menari, disambut oleh lelaki yang menontonnya yang ikut menari, menciuminya, memberinya uang kepeng. Menurut Jacobs, kebiasaan itu dianggap biasa oleh orang-orang Bali, tidak ditutup-tutupinya.
Helene Bouvier dalam Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, mengherani keterlibatan laki-laki dalam ritus, seni tanding dan pertunjukan di panggung, dan sejajar dengan itu menjauhkan perempuan dari ruang umum (kecuali sinden). Menurutnya, seandainya gejala itu hanya mencerminkan kriteria ritual dan atau simbolis yang menjadikan banci semacam perwujudan (sementara atau selamanya) dari ambiguitas kelamin atau dari kesatuan “prinsip maskulin dan feminin”, mengapa perempuan tak boleh membancikan diri menjadi laki-laki dengan tujuan dan hasil yang sama?
“Pembancian di satu pihak memungkinkan orang yang dilahirkan sebagai laki-laki, namun merasa tidak jenak berada di kelompoknya, untuk keluar dari kelompok tersebut tanpa diadili, dan memberikan mereka suatu fungsi sosial –yang terkadang merupakan mata pencaharian mereka– dan, di pihak lain memungkinkan untuk mengitari larangan bagi perempuan untuk memainkan peran di wilayah umum,” tulis Bouvier.
“Tatanan kekuasaan dan ekspresi di depan umum dibuat sedemikian rupa sehingga hanya laki-laki yang berpeluang untuk mengganti kelamin bawaan lahir atau, bila perlu, hidup sebagai homoseksual atau biseksual dalam kehidupan sehari-hari atau di atas pentas.”
Seiring zaman, beberapa bentuk kesenian itu mengalami pergeseran karena faktor sosial dan politik. Reog, misalnya, sempat menghilang, bahkan dibekukan oleh pemerintah Orde Baru, karena dikaitkan dengan gerakan kiri. Kekuatan politis warok dihilangkan, gemblak mulai digantikan oleh pemain perempuan. Tapi kesenian lainnya, yang mengakar di masyarakat kelas bawah, tetap bertahan dengan mengambil bentuk-bentuk lain.
Seksualitas dalam seni pertunjukan di Indonesia sudah semestinya tak dipandang secara hitam-putih. Sebab, sebagaimana ditulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas” yang dimuat di jurnal Prisma, Juli 1991, “Seksualitas tak hanya dipandang sebagai perwujudan suatu sistem nilai yang normatif dan abstrak, tapi juga memiliki kaitan erat dengan persoalan kekuasaan atau politik negara serta kepentingan ekonomi masyarakat.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar